Kejahatan pengelolaan SDA
A
A
A
INILAH rentetan persoalan serius yang selama ini berputar di sekeliling bisnis migas: UU Migas yang menggerogoti kedaulatan negara, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membubarkan BP Migas, penolakan sebagian pihak terhadap kenaikan harga BBM, dan terbongkarnya kasus suap Total SA dalam konsesi lapangan migas di Iran.
Terakhir, dengan tertangkapnya Kepala SKK Migas oleh KPK dua hari lalu mengonfirmasi seluruh sisi gelap tata kelola migas di Indonesia. Penangkapan ini tentu masih harus dilihat konstruksi persoalannya, tapi sekurangnya sekarang sudah dapat dilihat ada perkara serius menyangkut gurita masalah migas nasional. Di luar itu tentu masih banyak problem yang bisa didata dan dikuliti satu per satu, misalnya penguasaan asing dalam bisnis eksplorasi migas, keengganan para eksplorator untuk membuat pengilangan/ pengolahan, beban cost recoveryyang tak masuk akal, tata kelola impor yang gelap, dan seterusnya.
Cengkeraman asing
Pada saat pemerintah hendak menaikkan harga BBM, banyak pihak menentang langkah itu, karena pokok soalnya bukanlah pembengkakan subsidi yang bisa melumpuhkan APBN. Itu hanyalah hilir masalah yang tidak akan terjadi bila seluruh tata kelola migas dibuat terang benderang. Sulit dipercaya, sejak 1960 bisnis migas ini terus dikuasai oleh asing tanpa ada kenaikan proporsi pemain domestik, baik BUMN maupun swasta. Argumennya selalu sama: tidak punya modal, teknologi, dan SDM.
Tentu saja alasan itu sumir karena dengan mudah dipatahkan. Modal dengan mudah dicari, baik dari pasar domestik maupun luar negeri. Teknologi bisa dibeli dengan cepat dan SDM banyak bertebaran, bahkan di antara ahli-ahli terbaik migas Indonesia sekarang diburu oleh luar negeri dengan iming-iming gaji yang fantastis. Dengan deskripsi itu, tentu tak masuk akal apabila BUMN tidak memiliki kemampuan mengeksplorasi sebagian besar bisnis migas di Tanah Air, seperti yang diamanatkan konstitusi.
Lebih ironis lagi, pada saat kontrak Blok Mahakam akan habis dalam waktu dekat ini, justru Kementerian ESDM menghalangi Pertamina atau BUMN baru yang dibentuk untuk mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam tersebut. Aneka argumen dimuntahkan, seolah memang pelaku dalam negeri (BUMN) tak bakal mampu mengelolanya. Alasan itu bukan sekadar melecehkan akal sehat, tapi juga menabrak perintah konstitusi.
Beragam dugaan bersemayam dalam pikiran kita masing-masing, mengapa pemerintah tega mengerdilkan kemampuan anak bangsa sendiri. Sampai kemudian kasus di Iran menyeruak. Intinya, Total SA didenda sekitar Rp4 triliun di pengadilan AS karena terbukti menyuap oknum pejabat Iran guna mendapatkan konsesi lapangan migas. Pada saat institusi dan penegakan hukum begitu lemah di Indonesia, maka praktik yang dilakukan oleh Total SA bukan mustahil dijalankan juga di sini.
Persoalannya, bagaimana hal itu mesti dibuktikan? Kasus penangkapan kepala SKK Migas inilah yang sekarang memiliki arti strategis sebagai ikhtiar membongkar seluruh lorong gelap tata kelola migas di Tanah Air. Kernel Oil, yang diduga melakukan penyuapan terhadap oknum petinggi SKK Migas, hanyalah noktah kecil dari pigura besar bisnis migas di Indonesia.
Pada aras ini ada tiga hal penting yang harus ditelusuri. Pertama, bagaimana proses dan tata kelola pemberian izin konsesi lapangan migas sehingga pelaku ekonomi asing sedemikian leluasa dan kuat sekali mencengkeram bisnis migas di Indonesia. Kedua, mempelajari secara seksama bagaimana sesungguhnya perhitungan cost recovery sehingga jumlahnya sangat fantastis, meski produksi minyak terus turun tiap tahun.
Pikiran awam bisa menduga, mungkinkah cost recovery sengaja digelembungkan sehingga sebagian bisa ”dikembalikan” kepada oknum pejabat? Ketiga, menelisik tata niaga impor minyak karena di sinilah sumber silang sengketa jumlah subsidi yang mesti dibayar pemerintah bermula.
Menyusun cetak biru
Menyikapi kasus penangkapan ini, langkah-langkah berikut dapat dipertimbangkan untuk dikerjakan pemerintah secepatnya. Pertama, membekukan SKK Migas dari semua aktivitas dan pengambilan keputusan sampai penuntasan kasus ini. Lembaga ini sebetulnya bermasalah karena bertentangan dengan semangat keputusan MK yang membubarkan BP Migas. SKK Migas secara substantif tidak berbeda dengan BP Migas, hanya ganti baju.
Berikutnya, SKK Migas bermasalah karena kredibilitasnya sedang dalam pertaruhan akibat kasus penangkapan ini. Jika yang ditangkap hanya staf atau level di bawah kepala, mungkin masih bisa dijaga kredibilitasnya. Namun jika pucuk pimpinannya yang tertangkap maka sulit untuk membelanya. Oleh karena itu, membekukan seluruh aktivitasnya, khususnya tidak boleh mengambil kebijakan strategis, merupakan jalan keluar paling rasional untuk mengungkap keseluruhan malapraktik di dalamnya.
Kedua, seluruh lembaga penegak hukum dan pengawas keuangan negara diturunkan untuk melacak penyimpangan dalam soal prosedur pemberian izin konsesi, penghitungan cost recovery, dan tata kelola impor. Seluruhnya itu merupakan megabisnis bernilai ratusan/ribuan triliun yang seharusnya dipertanggungjawabkan secara layak kepada publik. KPK, BPK, kejaksaan, dan lain-lain harus bergandengan tangan membuka tabir seluruh kekusutan tersebut untuk menyelamatkan aset negara.
Pemerintah sungguh tidak layak mengurangi subsidi yang hanya bernilai puluhan triliun (dengan tumbal inflasi), sementara membiarkan ratusan triliun lenyap digerogoti oleh sekelompok kecil pelaku ekonomi akibat tata kelola migas yang buruk. Tentu saja upaya ini akan mendapatkan rintangan yang keras, namun ini harga yang harus ditanggung demi menyelamatkan masa depan negara.
Sudah puluhan tahun praktik seperti ini dibiarkan berjalan, saatnya sekarang untuk mengakhiri. Terakhir, pemerintah sejak sekarang mesti menyiapkan desain baru tata kelola migas (dan SDA lainnya) untuk menyongsong kedaulatan ekonomi nasional. Hal yang utama, pesan konstitusi mengamanatkan agar SDA dikuasai negara lewat BUMN. Perintah konstitusi ini hendaknya menjadi cetak biru pengelolaan SDA di masa depan.
Kontrak karya, konsesi, atau apa pun namanya yang sudah habis masanya harus diberikan kepada negara dan dikelola oleh BUMN. Berikutnya, pemerintah perlu mendesain institusi pengganti SKK Migas yang terpisah dari pemerintah/negara (sehingga tak memiliki implikasi terhadap negara tiap kali ada persoalan hukum/ keuangan) dan berpihak kepada kedaulatan ekonomi.
Perintah ini sebetulnya secara implisit menjadi pesan keputusan MK saat pembubaran BP Migas. Jadi, butir-butir inilah yang saat ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk memastikan kejahatan pengelolaan SDA tidak menjadi abadi di negeri ini.
AHMAD ERANI YUSTIKA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Direktur Eksekutif Indef
Terakhir, dengan tertangkapnya Kepala SKK Migas oleh KPK dua hari lalu mengonfirmasi seluruh sisi gelap tata kelola migas di Indonesia. Penangkapan ini tentu masih harus dilihat konstruksi persoalannya, tapi sekurangnya sekarang sudah dapat dilihat ada perkara serius menyangkut gurita masalah migas nasional. Di luar itu tentu masih banyak problem yang bisa didata dan dikuliti satu per satu, misalnya penguasaan asing dalam bisnis eksplorasi migas, keengganan para eksplorator untuk membuat pengilangan/ pengolahan, beban cost recoveryyang tak masuk akal, tata kelola impor yang gelap, dan seterusnya.
Cengkeraman asing
Pada saat pemerintah hendak menaikkan harga BBM, banyak pihak menentang langkah itu, karena pokok soalnya bukanlah pembengkakan subsidi yang bisa melumpuhkan APBN. Itu hanyalah hilir masalah yang tidak akan terjadi bila seluruh tata kelola migas dibuat terang benderang. Sulit dipercaya, sejak 1960 bisnis migas ini terus dikuasai oleh asing tanpa ada kenaikan proporsi pemain domestik, baik BUMN maupun swasta. Argumennya selalu sama: tidak punya modal, teknologi, dan SDM.
Tentu saja alasan itu sumir karena dengan mudah dipatahkan. Modal dengan mudah dicari, baik dari pasar domestik maupun luar negeri. Teknologi bisa dibeli dengan cepat dan SDM banyak bertebaran, bahkan di antara ahli-ahli terbaik migas Indonesia sekarang diburu oleh luar negeri dengan iming-iming gaji yang fantastis. Dengan deskripsi itu, tentu tak masuk akal apabila BUMN tidak memiliki kemampuan mengeksplorasi sebagian besar bisnis migas di Tanah Air, seperti yang diamanatkan konstitusi.
Lebih ironis lagi, pada saat kontrak Blok Mahakam akan habis dalam waktu dekat ini, justru Kementerian ESDM menghalangi Pertamina atau BUMN baru yang dibentuk untuk mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam tersebut. Aneka argumen dimuntahkan, seolah memang pelaku dalam negeri (BUMN) tak bakal mampu mengelolanya. Alasan itu bukan sekadar melecehkan akal sehat, tapi juga menabrak perintah konstitusi.
Beragam dugaan bersemayam dalam pikiran kita masing-masing, mengapa pemerintah tega mengerdilkan kemampuan anak bangsa sendiri. Sampai kemudian kasus di Iran menyeruak. Intinya, Total SA didenda sekitar Rp4 triliun di pengadilan AS karena terbukti menyuap oknum pejabat Iran guna mendapatkan konsesi lapangan migas. Pada saat institusi dan penegakan hukum begitu lemah di Indonesia, maka praktik yang dilakukan oleh Total SA bukan mustahil dijalankan juga di sini.
Persoalannya, bagaimana hal itu mesti dibuktikan? Kasus penangkapan kepala SKK Migas inilah yang sekarang memiliki arti strategis sebagai ikhtiar membongkar seluruh lorong gelap tata kelola migas di Tanah Air. Kernel Oil, yang diduga melakukan penyuapan terhadap oknum petinggi SKK Migas, hanyalah noktah kecil dari pigura besar bisnis migas di Indonesia.
Pada aras ini ada tiga hal penting yang harus ditelusuri. Pertama, bagaimana proses dan tata kelola pemberian izin konsesi lapangan migas sehingga pelaku ekonomi asing sedemikian leluasa dan kuat sekali mencengkeram bisnis migas di Indonesia. Kedua, mempelajari secara seksama bagaimana sesungguhnya perhitungan cost recovery sehingga jumlahnya sangat fantastis, meski produksi minyak terus turun tiap tahun.
Pikiran awam bisa menduga, mungkinkah cost recovery sengaja digelembungkan sehingga sebagian bisa ”dikembalikan” kepada oknum pejabat? Ketiga, menelisik tata niaga impor minyak karena di sinilah sumber silang sengketa jumlah subsidi yang mesti dibayar pemerintah bermula.
Menyusun cetak biru
Menyikapi kasus penangkapan ini, langkah-langkah berikut dapat dipertimbangkan untuk dikerjakan pemerintah secepatnya. Pertama, membekukan SKK Migas dari semua aktivitas dan pengambilan keputusan sampai penuntasan kasus ini. Lembaga ini sebetulnya bermasalah karena bertentangan dengan semangat keputusan MK yang membubarkan BP Migas. SKK Migas secara substantif tidak berbeda dengan BP Migas, hanya ganti baju.
Berikutnya, SKK Migas bermasalah karena kredibilitasnya sedang dalam pertaruhan akibat kasus penangkapan ini. Jika yang ditangkap hanya staf atau level di bawah kepala, mungkin masih bisa dijaga kredibilitasnya. Namun jika pucuk pimpinannya yang tertangkap maka sulit untuk membelanya. Oleh karena itu, membekukan seluruh aktivitasnya, khususnya tidak boleh mengambil kebijakan strategis, merupakan jalan keluar paling rasional untuk mengungkap keseluruhan malapraktik di dalamnya.
Kedua, seluruh lembaga penegak hukum dan pengawas keuangan negara diturunkan untuk melacak penyimpangan dalam soal prosedur pemberian izin konsesi, penghitungan cost recovery, dan tata kelola impor. Seluruhnya itu merupakan megabisnis bernilai ratusan/ribuan triliun yang seharusnya dipertanggungjawabkan secara layak kepada publik. KPK, BPK, kejaksaan, dan lain-lain harus bergandengan tangan membuka tabir seluruh kekusutan tersebut untuk menyelamatkan aset negara.
Pemerintah sungguh tidak layak mengurangi subsidi yang hanya bernilai puluhan triliun (dengan tumbal inflasi), sementara membiarkan ratusan triliun lenyap digerogoti oleh sekelompok kecil pelaku ekonomi akibat tata kelola migas yang buruk. Tentu saja upaya ini akan mendapatkan rintangan yang keras, namun ini harga yang harus ditanggung demi menyelamatkan masa depan negara.
Sudah puluhan tahun praktik seperti ini dibiarkan berjalan, saatnya sekarang untuk mengakhiri. Terakhir, pemerintah sejak sekarang mesti menyiapkan desain baru tata kelola migas (dan SDA lainnya) untuk menyongsong kedaulatan ekonomi nasional. Hal yang utama, pesan konstitusi mengamanatkan agar SDA dikuasai negara lewat BUMN. Perintah konstitusi ini hendaknya menjadi cetak biru pengelolaan SDA di masa depan.
Kontrak karya, konsesi, atau apa pun namanya yang sudah habis masanya harus diberikan kepada negara dan dikelola oleh BUMN. Berikutnya, pemerintah perlu mendesain institusi pengganti SKK Migas yang terpisah dari pemerintah/negara (sehingga tak memiliki implikasi terhadap negara tiap kali ada persoalan hukum/ keuangan) dan berpihak kepada kedaulatan ekonomi.
Perintah ini sebetulnya secara implisit menjadi pesan keputusan MK saat pembubaran BP Migas. Jadi, butir-butir inilah yang saat ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk memastikan kejahatan pengelolaan SDA tidak menjadi abadi di negeri ini.
AHMAD ERANI YUSTIKA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Direktur Eksekutif Indef
(hyk)