Gagalnya pengawasan JP Morgan
A
A
A
KERUGIAN sebesar USD100 juta yang baru lalu diderita JP Morgan dalam perdagangan baru-baru ini merupakan bukti bahwa sertifikasi manajemen risiko masih belum ampuh menangkal malapraktik di dunia perbankan.
Sertifikasi manajemen di Amerika Serikat bahkan tergolong paling canggih dalam menerapkan metodologi manajemen risiko yang berbasis model matematika yang paling canggih. Bernanke pada 18 Juli 2013 menyebutkan: “the Fed show the latest results of stress tests carried out on 18 large banks and the U.S. banking industry as a whole has a strong anti-risk ability to hypothetical adverse economic environment, the total loss of the 18 large banks compared to the stress test decreased by 7%.
Large banks capital adequacy ratio is a substantial increase in the 18 banks go to the end of the average total Tier 1 common capital adequacy ratio was 11.3% at the end of 2008 twice, about USD400 billion increase in funding.” Melihat kondisi tersebut, tentu kita bertanya pada diri sendiri mengenai bagaimana prospek kualitas sertifikasi manajemen risiko di Indonesia? Ketika terjadi krisis perbankan pada 1997, kondisi mikro perbankan nasional mengalami kerentanan terhadap gejolak ekonomi.
Kondisi ini disebabkan antara lain oleh pengabaian prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasional, tingginya risiko kemacetan kredit, kemampuan manajerial bank yang lemah sehingga mengakibatkan penurunan kualitas aktiva produktif serta semakin meningkatkan risiko yang dihadapi bank. Krisis tersebut menunjukkan bahwa industri perbankan nasional belum memiliki kelembagaan perbankan yang kokoh dan didukung dengan infrastruktur perbankan yang baik untuk dapat mengatasi gejolak internal maupun eksternal.
Sebagai salah satu upaya menyehatkan kembali industri perbankan yang kuat, sehat, dan efisien, Bank Indonesia pada 9 Januari 2004 meluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Untuk menerapkan good corporate governance di sektor perbankan Indonesia dan meningkatkan kualitas manajemen risiko, diperlukan tersedianya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang manajemen risiko serta memiliki standar profesi dan kode etik yang baik. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Bank Indonesia kemudian meluncurkan Program Sertifikasi Manajemen Risiko.
Jelas bahwa program ini tidak memiliki sistem pengawasan yang melekat dari regulator sektor perbankan karena ide dasarnya berasal dari krisis ekonomi pada 1997 dan bukan krisis ekonomi pada 2008, termasuk gagalnya pengawasan perbankan di Amerika Serikat untuk memantau kerugian JP Morgan yang baru lalu membuat Kongres Amerika Serikat memanggil manajemen JP Morgan.
Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR) bertugas untuk menyelenggarakan sertifikasi manajemen risiko yang mengacu pada international best practices, menerbitkan sertifikat manajemen risiko, mencabut sertifikat apabila pemegang sertifikat terbukti bersalah melakukan pelanggaran di bidang perbankan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau pelanggaran kode etik profesi, serta melaporkan kegiatan yang berhubungan dengan sertifikasi secara berkala pada Bank Indonesia.
Demi menjaga kualitas sertifikasi manajemen risiko perbankan di Indonesia mengikuti standar kualitas internasional, BSMR bekerja sama dengan Global Association of Risk Professional (GARP) dalam bentuk penyusunan silabus, buku kerja, materi, dan soal ujian Program Sertifikasi Manajemen Risiko. GARP adalah sebuah asosiasi profesi manajemen risiko yang memiliki reputasi internasional sebagai penyelenggara sertifikasi Financial Risk Manager( FRM) yang khususnya ditujukan bagi para pelaku industri jasa keuangan.
Kita belum melihat program ini mengalami perbaikan setelah munculnya kasus kerugian JP Morgan sehingga risiko munculnya kasus JP Morgan masih sangat potensial terjadi di Indonesia. Untuk itu, pengawasan perbankan nasional juga harus mengevaluasi program ini secara sistemik. Manajemen risiko di Indonesia masih terbatas pada manajemen risiko tradisional.
Sementara itu, manajemen risiko adalah suatu pendekatan terstruktur/metodologi dalam mengelola ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman; suatu rangkaian aktivitas manusia, termasuk penilaian risiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya, dan mitigasi risiko dengan menggunakan pemberdayaan/ pengelolaan sumber daya. Strategi yang dapat diambil antara lain memindahkan risiko pada pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu.
Manajemen risiko tradisional terfokus pada risiko-risiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti bencana alam atau kebakaran, kematian, serta tuntutan hukum). Manajemen risiko keuangan, di sisi lain, terfokus pada risiko yang dapat dikelola dengan menggunakan instrumeninstrumen keuangan.
Kasus JP Morgan harus segera diantisipasi oleh pengawas perbankan dalam konteks perbaikan metode manajemen risiko di dunia, termasuk di Indonesia. Faktor paling penting adalah manusia. Sasaran dari pelaksanaan manajemen risiko adalah mengurangi risiko yang berbeda-beda yang berkaitan dengan bidang yang telah dipilih pada tingkat yang dapat diterima masyarakat. Ini dapat berupa berbagai jenis ancaman yang disebabkan oleh lingkungan, teknologi, manusia, organisasi, dan politik.
Di sisi lain, pelaksanaan manajemen risiko melibatkan segala cara yang tersedia bagi manusia, khususnya, bagi entitas manajemen risiko (manusia, staf, dan organisasi). Risiko berhubungan dengan ketidakpastian ini terjadi oleh karena kurang atau tidak tersedia cukup informasi tentang apa yang akan terjadi. Sesuatu yang tidak pasti (uncertain) dapat berakibat menguntungkan atau merugikan.
Bagaimana jika kemungkinan yang dihadapi dapat memberikan keuntungan yang sangat besar, sedangkan kalaupun rugi hanya kecil sekali? Misalnya membeli lotre. Jika beruntung, akan mendapat hadiah yang sangat besar. Tetapi, jika tidak beruntung, uang yang digunakan membeli lotre relatif kecil. Apakah ini juga tergolong risiko? Jawabannya, ini juga tergolong risiko. Selama mengalami kerugian walau sekecil apa pun itu dianggap risiko. Inilah yang diabaikan manajemen JP Morgan! Kerugian sebesar USD100 juta bukanlah nilai kerugian yang kecil.
Dengan kata lain, pengawasan manajemen risiko di Amerika Serikat sangat alpa dalam mendeteksi risiko yang bersifat spekulatif sekalipun model matematika manajemen risikonya sudah sangat canggih. Risiko spekulatif kadang-kadang dikenal pula dengan istilah risiko bisnis (business risk). Seseorang yang menginvestasikan dananya di suatu tempat menghadapi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama investasinya menguntungkan atau malah investasinya merugikan.
Risiko yang dihadapi seperti ini adalah risiko spekulatif. Risiko spekulatif adalah suatu keadaan yang dihadapi dapat memberikan keuntungan juga dapat menimbulkan kerugian. Inilah yang alpa dari model canggih manajemen risiko JP Morgan tersebut. Berdasarkan fit and proper test yang dilakukan oleh Kongres Amerika Serikat di mana juga ada Senator McCain yang dahulu menjadi lawan Obama dalam pemilihan presiden Amerika Serikat terungkap bahwa model canggih manajemen risiko yang dikembangkan JP Morgan ternyata juga alpa dalam membedakan mana risiko murni dan mana yang merupakan risiko spekulatif.
Risiko murni (pure risk) adalah sesuatu yang hanya dapat berakibat merugikan atau tidak terjadi apa-apa dan tidak mungkin menguntungkan. Salah satu contoh adalah kebakaran, apabila perusahaan menderita kebakaran, perusahaan tersebut akan menderita kerugian. Kemungkinan yang lain tidak terjadi kebakaran. Dengan demikian, kebakaran hanya menimbulkan kerugian, bukan menimbulkan keuntungan, kecuali ada kesengajaan untuk membakar dengan maksud-maksud tertentu. Perbedaan utama antara risiko spekulatif dan risiko murni adalah kemungkinan untung ada atau tidak.
Untuk risiko spekulatif masih terdapat kemungkinan untung, sedangkan untuk risiko murni tidak terdapat kemungkinan untung. Belajar dari kesalahan JP Morgan, pengawasan manajemen risiko harus memperhatikan faktor-faktor tersebut dan tidak silau oleh kerumitan model matematika yang diterapkan. Pengawas perbankan tidak boleh melupakan esensi dari manajemen risiko itu sendiri.
ACHMAD DENI DARURI
President Director Center for Banking Crisis
Sertifikasi manajemen di Amerika Serikat bahkan tergolong paling canggih dalam menerapkan metodologi manajemen risiko yang berbasis model matematika yang paling canggih. Bernanke pada 18 Juli 2013 menyebutkan: “the Fed show the latest results of stress tests carried out on 18 large banks and the U.S. banking industry as a whole has a strong anti-risk ability to hypothetical adverse economic environment, the total loss of the 18 large banks compared to the stress test decreased by 7%.
Large banks capital adequacy ratio is a substantial increase in the 18 banks go to the end of the average total Tier 1 common capital adequacy ratio was 11.3% at the end of 2008 twice, about USD400 billion increase in funding.” Melihat kondisi tersebut, tentu kita bertanya pada diri sendiri mengenai bagaimana prospek kualitas sertifikasi manajemen risiko di Indonesia? Ketika terjadi krisis perbankan pada 1997, kondisi mikro perbankan nasional mengalami kerentanan terhadap gejolak ekonomi.
Kondisi ini disebabkan antara lain oleh pengabaian prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasional, tingginya risiko kemacetan kredit, kemampuan manajerial bank yang lemah sehingga mengakibatkan penurunan kualitas aktiva produktif serta semakin meningkatkan risiko yang dihadapi bank. Krisis tersebut menunjukkan bahwa industri perbankan nasional belum memiliki kelembagaan perbankan yang kokoh dan didukung dengan infrastruktur perbankan yang baik untuk dapat mengatasi gejolak internal maupun eksternal.
Sebagai salah satu upaya menyehatkan kembali industri perbankan yang kuat, sehat, dan efisien, Bank Indonesia pada 9 Januari 2004 meluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Untuk menerapkan good corporate governance di sektor perbankan Indonesia dan meningkatkan kualitas manajemen risiko, diperlukan tersedianya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang manajemen risiko serta memiliki standar profesi dan kode etik yang baik. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Bank Indonesia kemudian meluncurkan Program Sertifikasi Manajemen Risiko.
Jelas bahwa program ini tidak memiliki sistem pengawasan yang melekat dari regulator sektor perbankan karena ide dasarnya berasal dari krisis ekonomi pada 1997 dan bukan krisis ekonomi pada 2008, termasuk gagalnya pengawasan perbankan di Amerika Serikat untuk memantau kerugian JP Morgan yang baru lalu membuat Kongres Amerika Serikat memanggil manajemen JP Morgan.
Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR) bertugas untuk menyelenggarakan sertifikasi manajemen risiko yang mengacu pada international best practices, menerbitkan sertifikat manajemen risiko, mencabut sertifikat apabila pemegang sertifikat terbukti bersalah melakukan pelanggaran di bidang perbankan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau pelanggaran kode etik profesi, serta melaporkan kegiatan yang berhubungan dengan sertifikasi secara berkala pada Bank Indonesia.
Demi menjaga kualitas sertifikasi manajemen risiko perbankan di Indonesia mengikuti standar kualitas internasional, BSMR bekerja sama dengan Global Association of Risk Professional (GARP) dalam bentuk penyusunan silabus, buku kerja, materi, dan soal ujian Program Sertifikasi Manajemen Risiko. GARP adalah sebuah asosiasi profesi manajemen risiko yang memiliki reputasi internasional sebagai penyelenggara sertifikasi Financial Risk Manager( FRM) yang khususnya ditujukan bagi para pelaku industri jasa keuangan.
Kita belum melihat program ini mengalami perbaikan setelah munculnya kasus kerugian JP Morgan sehingga risiko munculnya kasus JP Morgan masih sangat potensial terjadi di Indonesia. Untuk itu, pengawasan perbankan nasional juga harus mengevaluasi program ini secara sistemik. Manajemen risiko di Indonesia masih terbatas pada manajemen risiko tradisional.
Sementara itu, manajemen risiko adalah suatu pendekatan terstruktur/metodologi dalam mengelola ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman; suatu rangkaian aktivitas manusia, termasuk penilaian risiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya, dan mitigasi risiko dengan menggunakan pemberdayaan/ pengelolaan sumber daya. Strategi yang dapat diambil antara lain memindahkan risiko pada pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu.
Manajemen risiko tradisional terfokus pada risiko-risiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti bencana alam atau kebakaran, kematian, serta tuntutan hukum). Manajemen risiko keuangan, di sisi lain, terfokus pada risiko yang dapat dikelola dengan menggunakan instrumeninstrumen keuangan.
Kasus JP Morgan harus segera diantisipasi oleh pengawas perbankan dalam konteks perbaikan metode manajemen risiko di dunia, termasuk di Indonesia. Faktor paling penting adalah manusia. Sasaran dari pelaksanaan manajemen risiko adalah mengurangi risiko yang berbeda-beda yang berkaitan dengan bidang yang telah dipilih pada tingkat yang dapat diterima masyarakat. Ini dapat berupa berbagai jenis ancaman yang disebabkan oleh lingkungan, teknologi, manusia, organisasi, dan politik.
Di sisi lain, pelaksanaan manajemen risiko melibatkan segala cara yang tersedia bagi manusia, khususnya, bagi entitas manajemen risiko (manusia, staf, dan organisasi). Risiko berhubungan dengan ketidakpastian ini terjadi oleh karena kurang atau tidak tersedia cukup informasi tentang apa yang akan terjadi. Sesuatu yang tidak pasti (uncertain) dapat berakibat menguntungkan atau merugikan.
Bagaimana jika kemungkinan yang dihadapi dapat memberikan keuntungan yang sangat besar, sedangkan kalaupun rugi hanya kecil sekali? Misalnya membeli lotre. Jika beruntung, akan mendapat hadiah yang sangat besar. Tetapi, jika tidak beruntung, uang yang digunakan membeli lotre relatif kecil. Apakah ini juga tergolong risiko? Jawabannya, ini juga tergolong risiko. Selama mengalami kerugian walau sekecil apa pun itu dianggap risiko. Inilah yang diabaikan manajemen JP Morgan! Kerugian sebesar USD100 juta bukanlah nilai kerugian yang kecil.
Dengan kata lain, pengawasan manajemen risiko di Amerika Serikat sangat alpa dalam mendeteksi risiko yang bersifat spekulatif sekalipun model matematika manajemen risikonya sudah sangat canggih. Risiko spekulatif kadang-kadang dikenal pula dengan istilah risiko bisnis (business risk). Seseorang yang menginvestasikan dananya di suatu tempat menghadapi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama investasinya menguntungkan atau malah investasinya merugikan.
Risiko yang dihadapi seperti ini adalah risiko spekulatif. Risiko spekulatif adalah suatu keadaan yang dihadapi dapat memberikan keuntungan juga dapat menimbulkan kerugian. Inilah yang alpa dari model canggih manajemen risiko JP Morgan tersebut. Berdasarkan fit and proper test yang dilakukan oleh Kongres Amerika Serikat di mana juga ada Senator McCain yang dahulu menjadi lawan Obama dalam pemilihan presiden Amerika Serikat terungkap bahwa model canggih manajemen risiko yang dikembangkan JP Morgan ternyata juga alpa dalam membedakan mana risiko murni dan mana yang merupakan risiko spekulatif.
Risiko murni (pure risk) adalah sesuatu yang hanya dapat berakibat merugikan atau tidak terjadi apa-apa dan tidak mungkin menguntungkan. Salah satu contoh adalah kebakaran, apabila perusahaan menderita kebakaran, perusahaan tersebut akan menderita kerugian. Kemungkinan yang lain tidak terjadi kebakaran. Dengan demikian, kebakaran hanya menimbulkan kerugian, bukan menimbulkan keuntungan, kecuali ada kesengajaan untuk membakar dengan maksud-maksud tertentu. Perbedaan utama antara risiko spekulatif dan risiko murni adalah kemungkinan untung ada atau tidak.
Untuk risiko spekulatif masih terdapat kemungkinan untung, sedangkan untuk risiko murni tidak terdapat kemungkinan untung. Belajar dari kesalahan JP Morgan, pengawasan manajemen risiko harus memperhatikan faktor-faktor tersebut dan tidak silau oleh kerumitan model matematika yang diterapkan. Pengawas perbankan tidak boleh melupakan esensi dari manajemen risiko itu sendiri.
ACHMAD DENI DARURI
President Director Center for Banking Crisis
(nfl)