Di balik banjir negeri Lima (Maluku)
A
A
A
BENDUNGAN alam yang indah Wai Ela di Negeri Lima (Desa Lima) Pulau Ambon, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah, Kamis (25/7) hancur luluh akibat hujan berkepanjangan.
Dampaknya luar biasa: sekitar 20 juta meter kubik air yang berasal dari danau Wai Ela tumpah dan menghantam 470 rumah warga yang ada di sekitarnya. Rumah-rumah penduduk rata dengan tanah. Tragedi Wai Ela di Maluku, Pulau Seribu Raja (Maluku berasal dari kata al-mulk, raja), mungkin hanya salah satu dari banyak tragedi yang menimpa kepulauan nan indah di Indonesia Timur itu.
Banyak pulau kecil di Maluku yang kini kondisinya merana, baik akibat bencana alam, perusakan oleh ”investor” dan kehancuran mangrove di pantainya. Padahal, jika pulau-pulau kecil itu diaktualkan potensinya—seperti ekowisata, perikanan tambak yang terintegrasi dengan hutan mangrove (silvofishery), dan industri kreatif (berbasis hasil laut), niscaya akan memberikan nilai tambah bagi masyarakat setempat.
Tak hanya itu. Jika Maluku dengan segudang potensi alamnya yang luar biasa– keindahan laut, geostrategi, kekayaan flora dan faunanya–dikembangkan, niscaya percepatan pembangunan Indonesia akan bertambah dan kemakmuran yang merata yang diidam-idamkan para founding fathers Indonesia akan segera tercapai.
Letak Maluku yang berdekatan dengan Papua–wilayah pulau Indonesia terluas dengan potensi kekayaan alam luar biasa yang belum teraktualisasi dan berada dekat kawasan pertumbuhan ekonomi dunia paling dinamis (Pacific Rim di mana China, Jepang dan Taiwan berada), menjadikan Maluku–pinjam kata-kata Bung Karno–adalah masa depan Indonesia. Apa yang dikatakan Bung Karno benar! Jika Indonesia dijuluki sebagai negeri kepulauan, maka esensinya adalah menggambarkan Indonesia bagian timur.
Dari 13.487 pulau yang ada di Nusantara, sebagian besar berada di Indonesia Timur. Karena di Indonesia Timur banyak sekali pulau, maka keanekaragaman jenis (biodiversitas) flora dan faunanya juga sangat kaya. Maklumlah, jenis tanah, iklim, curah hujan, dan lingkungan Indonesia Timur sangat variatif sehingga meniscayakan munculnya beraneka ragam flora dan fauna yang khas dan endemik. Bung Karno pernah mengungkapkan cita-citanya untuk menjadikan kawasan timur sebagai pusat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dalam rancangan Bung Karno, Indonesia Timur, dengan pusatnya di Maluku, merupakan center of excellence Indonesia sebagai negeri maritim. Di Maluku, kata Bung Karno, akan dibangun universitas maritim termodern di dunia. Nantinya, setiap orang yang ingin belajar ilmu kelautan dari seluruh dunia, akan datang ke Maluku. Untuk mengintegrasikan dunia pendidikan kelautan dan industri, maka di Maluku juga akan dibangun industri perkapalan, perikanan, dan industri lain yang terkait dengan kelautan!
Demi mendukung semua itu, ibu kota Indonesia pun akan dipindah ke bagian timur. Bung Karno memilih Palangkaraya di Kalimantan sebagai ibu kota Indonesia. Pilihan ibu kota baru ini, tentu saja setelah melalui pertimbangan matang dari seluruh aspek. Pertama, Kalimantan lebih dekat dengan wilayah Indonesia Timur. Tapi juga tidak jauh dari Indonesia bagian barat. Kedua, Kalimantan tidak berada di jalur ring of fire (cincin gunung api) sehingga aman dari gempa bumi.
Ketiga, Kalimantan luas sekali, empat kali Pulau Jawa sehingga pengembangan wilayahnya memungkinkan. Keempat, jika ibu kota berada di Kalimantan, pembangunan kawasan timur umumnya, dan pembangunan pulau-pulau kecil di timur akan lebih meningkat. Bila Bung Karno memilih Maluku sebagai pusat industri kelautan, pilihan itu mempunyai pertimbangan yang sangat perspektif, tak hanya berdasarkan pertimbangan fisik, tapi juga historis dan sosiologis.
Jauh sebelum Indonesia Merdeka, orang-orang Maluku dengan berbagai kerajaannya yang tua, telah terbiasa berlayar dan berbisnis dengan dunia luar. Rempah-rempah Maluku yang di zaman dahulu harganya lebih mahal dari emas, menjadikan rakyat dan kerajaan Maluku sering melakukan transaksi bisnis dengan orang-orang Eropa dan China.
Dengan demikian, bila Maluku dijadikan sebagai pusat industri kelautan, secara historis dan sosiologis, sebetulnya hanya meneruskan tradisi nenek moyangnya. Sedangkan secara fisik, Maluku dikelilingi 805 pulau—dari yang besar seperti Pulau Halmahera, yang kecil Pulau Gorom, sampai pulau sangat kecil yang belum bernama. Jika kita membuka peta, akan terlihat ‘zamrud khatulistiwa’ yang sebenarnya memang berada di Maluku.
Lalu secara ilmiah, Maluku juga sangat terkenal karena ada jejak Wallace, ilmuwan besar sekaliber Darwin, penemu teori evolusi makhluk hidup. Dan jangan lupa, di dunia seniman, khususnya tarik suara, Maluku adalah gudangnya. Saya pernah mendengar bisik-bisik seniman asal Ambon, katanya, jika saja orang-orang Maluku ikut Indonesian Idol dan X-Factor di RCTI, niscaya peserta lain akan terdegradasi. Yang akan masuk final bisa-bisa orang Maluku semua. Kenapa? Orang Maluku, katanya, sejak jabang bayi sudah bisa menyanyi.
Cerita ini menggambarkan bahwa di dunia seni, potensi orang-orang Maluku memang luar biasa. Dalam urusan menyanyi dan menari, misalnya, kepiawaian orang-orang Amerika Latin pun kalah dari orangorang Ambon. Dan ini adalah potensi pasar pariwisata yang luar biasa untuk Maluku jika ”kisah” tersebut terdengar sampai Tokyo, London, dan New York. Dalam penjelajahannya di bumi Nusantara, Alfred Russel Walace (1823-1913), lagi-lagi menemukan keistimewaan Maluku.
Walace menemukan sebuah garis imajiner di Maluku yang membagi flora dan fauna di Nusantara menjadi dua bagian besar. Temuan yang kemudian terkenal dengan nama Garis Wallace itu menyatakan bahwa bentuk flora dan fauna di sebagian wilayah Maluku mempunyai hubungan erat dan punya ciri yang mirip dengan flora dan fauna dari Australia. Sedangkan di bagian lainnya, sangat mirip dengan flora dan fauna dari Asia.
Wallace juga terkenal dengan surat yang dikirimkannya untuk Charles Darwin yang menceritakan temuannya di Ternate. Letter from Ternate-nya Wallace yang berbentuk makalah ilmiah ini berjudul: On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitelty from the Original Type– mengungkapkan pemikirannya mengenai proses seleksi alam.
Dalam Letter from Ternate itu, Wallace mengungkapkan bahwa spesies yang mampu bertahan atau memiliki kemampuan untuk bertahan di habitatnya akan tetap hidup dan tidak akan punah. Apa yang ditulis Wallace ini merupakan landasan teori survival of the fittestatau seleksi alamnya Darwin. Banyak ilmuwan menduga, Letter from Ternate inilah yang menjadi dasar teori evolusinya Charles Darwin (1809– 1882) yang ditulis dalam bukunya yang monumental The Origin of Species tahun 1859, satu tahun setelah surat Wallace tadi.
Jadi, lengkap sudah Maluku sebagai center of excellence-nya Indonesia Timur. Persoalannya: sejauh mana pemerintah pusat fokus membangun Indonesia timur? Inilah yang harus diperhatikan. Maluku, misalnya, alih-alih akan menjadi center of excellence, yang terjadi sekarang pulau-pulau di sekitar Maluku kondisinya makin kritis. Perubahan iklim global yang makin panas (global warming) dan abrasi akibat rusaknya hutan mangrove menyebabkan sebagian pulau-pulau kecil nyaris tenggelam.
Manuel Kaya, dosen Konservasi Sumberdaya Hutan Universitas Pattimura menyatakan empat masalah yang menghadang Maluku. Pertama, tingginya laju abrasi pantai dalam beberapa tahun terakhir telah menimpa hampir merata di semua pulau-pulau kecil sekitar Maluku. Kedua, intensitas banjir terus meningkat tiap tahun sebab air dari daratan tidak dapat mengalir ke laut karena permukaan air laut makin tinggi. Ketiga, kecepatan intrusi air laut makin meningkat karena berkurangnya air tanah dan tekanan muka air laut.
Keempat, banyaknya vila dan rumah tinggal di daerah perbukitan sehingga air hujan tidak terserap tanah dan sering terjadi longsor. Kondisi ini, jika tidak segera diperbaiki akan menjadikan Maluku yang indah dengan untaian pulau-pulau kecilnya, hanya akan jadi kenangan. Untuk mencegahnya, Manuel Kaya mengusulkan agar hutan mangrove di sepanjang pulaudilestarikan, penebanganhutan dilarang, pembukaan lahan perkebunan skala besar dihentikan, dan kehadiran industri ekstraktif( pertambangan) dipulaupulau kecil ditinjau ulang.
Namun, hal itu tidak berarti menutup kemungkinan investasi di pulau-pulau kecil. Masih banyak investasi yang bisa ditanam di pulau-pulau kecil seperti industri perikanan, pariwisata, perkebunan, peternakan terpadu. Tentu saja semuanya harus dilakukan dengan memperhatikan dampak lingkungannya. Itulah kondisi Maluku yang pernah dibayangkan Bung Karno sebagai pusat ilmu, teknologi, dan industri kelautan. Jika kondisinya sekarang merana, sering dilanda banjir, hal itu tidak berarti menutup peluang untuk merealisasikan gagasan Bung Karno tadi.
Untuk itulah, pemerintah pusat harus memfokuskan pembangunan di Maluku dengan konsentrasi pendidikan, industri, dan pariwisata yang berbasis kelautan. Jika Maluku maju seperti digambarkan Bung Karno, maka Indonesia Timur pun akan maju. Jika Indonesia Timur maju, maka Indonesia secara keseluruhan akan makin makmur dan jaya. Semoga!
ROKHMIN DAHURI
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB/Ketua Tim Akselerasi Investasi Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Dampaknya luar biasa: sekitar 20 juta meter kubik air yang berasal dari danau Wai Ela tumpah dan menghantam 470 rumah warga yang ada di sekitarnya. Rumah-rumah penduduk rata dengan tanah. Tragedi Wai Ela di Maluku, Pulau Seribu Raja (Maluku berasal dari kata al-mulk, raja), mungkin hanya salah satu dari banyak tragedi yang menimpa kepulauan nan indah di Indonesia Timur itu.
Banyak pulau kecil di Maluku yang kini kondisinya merana, baik akibat bencana alam, perusakan oleh ”investor” dan kehancuran mangrove di pantainya. Padahal, jika pulau-pulau kecil itu diaktualkan potensinya—seperti ekowisata, perikanan tambak yang terintegrasi dengan hutan mangrove (silvofishery), dan industri kreatif (berbasis hasil laut), niscaya akan memberikan nilai tambah bagi masyarakat setempat.
Tak hanya itu. Jika Maluku dengan segudang potensi alamnya yang luar biasa– keindahan laut, geostrategi, kekayaan flora dan faunanya–dikembangkan, niscaya percepatan pembangunan Indonesia akan bertambah dan kemakmuran yang merata yang diidam-idamkan para founding fathers Indonesia akan segera tercapai.
Letak Maluku yang berdekatan dengan Papua–wilayah pulau Indonesia terluas dengan potensi kekayaan alam luar biasa yang belum teraktualisasi dan berada dekat kawasan pertumbuhan ekonomi dunia paling dinamis (Pacific Rim di mana China, Jepang dan Taiwan berada), menjadikan Maluku–pinjam kata-kata Bung Karno–adalah masa depan Indonesia. Apa yang dikatakan Bung Karno benar! Jika Indonesia dijuluki sebagai negeri kepulauan, maka esensinya adalah menggambarkan Indonesia bagian timur.
Dari 13.487 pulau yang ada di Nusantara, sebagian besar berada di Indonesia Timur. Karena di Indonesia Timur banyak sekali pulau, maka keanekaragaman jenis (biodiversitas) flora dan faunanya juga sangat kaya. Maklumlah, jenis tanah, iklim, curah hujan, dan lingkungan Indonesia Timur sangat variatif sehingga meniscayakan munculnya beraneka ragam flora dan fauna yang khas dan endemik. Bung Karno pernah mengungkapkan cita-citanya untuk menjadikan kawasan timur sebagai pusat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dalam rancangan Bung Karno, Indonesia Timur, dengan pusatnya di Maluku, merupakan center of excellence Indonesia sebagai negeri maritim. Di Maluku, kata Bung Karno, akan dibangun universitas maritim termodern di dunia. Nantinya, setiap orang yang ingin belajar ilmu kelautan dari seluruh dunia, akan datang ke Maluku. Untuk mengintegrasikan dunia pendidikan kelautan dan industri, maka di Maluku juga akan dibangun industri perkapalan, perikanan, dan industri lain yang terkait dengan kelautan!
Demi mendukung semua itu, ibu kota Indonesia pun akan dipindah ke bagian timur. Bung Karno memilih Palangkaraya di Kalimantan sebagai ibu kota Indonesia. Pilihan ibu kota baru ini, tentu saja setelah melalui pertimbangan matang dari seluruh aspek. Pertama, Kalimantan lebih dekat dengan wilayah Indonesia Timur. Tapi juga tidak jauh dari Indonesia bagian barat. Kedua, Kalimantan tidak berada di jalur ring of fire (cincin gunung api) sehingga aman dari gempa bumi.
Ketiga, Kalimantan luas sekali, empat kali Pulau Jawa sehingga pengembangan wilayahnya memungkinkan. Keempat, jika ibu kota berada di Kalimantan, pembangunan kawasan timur umumnya, dan pembangunan pulau-pulau kecil di timur akan lebih meningkat. Bila Bung Karno memilih Maluku sebagai pusat industri kelautan, pilihan itu mempunyai pertimbangan yang sangat perspektif, tak hanya berdasarkan pertimbangan fisik, tapi juga historis dan sosiologis.
Jauh sebelum Indonesia Merdeka, orang-orang Maluku dengan berbagai kerajaannya yang tua, telah terbiasa berlayar dan berbisnis dengan dunia luar. Rempah-rempah Maluku yang di zaman dahulu harganya lebih mahal dari emas, menjadikan rakyat dan kerajaan Maluku sering melakukan transaksi bisnis dengan orang-orang Eropa dan China.
Dengan demikian, bila Maluku dijadikan sebagai pusat industri kelautan, secara historis dan sosiologis, sebetulnya hanya meneruskan tradisi nenek moyangnya. Sedangkan secara fisik, Maluku dikelilingi 805 pulau—dari yang besar seperti Pulau Halmahera, yang kecil Pulau Gorom, sampai pulau sangat kecil yang belum bernama. Jika kita membuka peta, akan terlihat ‘zamrud khatulistiwa’ yang sebenarnya memang berada di Maluku.
Lalu secara ilmiah, Maluku juga sangat terkenal karena ada jejak Wallace, ilmuwan besar sekaliber Darwin, penemu teori evolusi makhluk hidup. Dan jangan lupa, di dunia seniman, khususnya tarik suara, Maluku adalah gudangnya. Saya pernah mendengar bisik-bisik seniman asal Ambon, katanya, jika saja orang-orang Maluku ikut Indonesian Idol dan X-Factor di RCTI, niscaya peserta lain akan terdegradasi. Yang akan masuk final bisa-bisa orang Maluku semua. Kenapa? Orang Maluku, katanya, sejak jabang bayi sudah bisa menyanyi.
Cerita ini menggambarkan bahwa di dunia seni, potensi orang-orang Maluku memang luar biasa. Dalam urusan menyanyi dan menari, misalnya, kepiawaian orang-orang Amerika Latin pun kalah dari orangorang Ambon. Dan ini adalah potensi pasar pariwisata yang luar biasa untuk Maluku jika ”kisah” tersebut terdengar sampai Tokyo, London, dan New York. Dalam penjelajahannya di bumi Nusantara, Alfred Russel Walace (1823-1913), lagi-lagi menemukan keistimewaan Maluku.
Walace menemukan sebuah garis imajiner di Maluku yang membagi flora dan fauna di Nusantara menjadi dua bagian besar. Temuan yang kemudian terkenal dengan nama Garis Wallace itu menyatakan bahwa bentuk flora dan fauna di sebagian wilayah Maluku mempunyai hubungan erat dan punya ciri yang mirip dengan flora dan fauna dari Australia. Sedangkan di bagian lainnya, sangat mirip dengan flora dan fauna dari Asia.
Wallace juga terkenal dengan surat yang dikirimkannya untuk Charles Darwin yang menceritakan temuannya di Ternate. Letter from Ternate-nya Wallace yang berbentuk makalah ilmiah ini berjudul: On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitelty from the Original Type– mengungkapkan pemikirannya mengenai proses seleksi alam.
Dalam Letter from Ternate itu, Wallace mengungkapkan bahwa spesies yang mampu bertahan atau memiliki kemampuan untuk bertahan di habitatnya akan tetap hidup dan tidak akan punah. Apa yang ditulis Wallace ini merupakan landasan teori survival of the fittestatau seleksi alamnya Darwin. Banyak ilmuwan menduga, Letter from Ternate inilah yang menjadi dasar teori evolusinya Charles Darwin (1809– 1882) yang ditulis dalam bukunya yang monumental The Origin of Species tahun 1859, satu tahun setelah surat Wallace tadi.
Jadi, lengkap sudah Maluku sebagai center of excellence-nya Indonesia Timur. Persoalannya: sejauh mana pemerintah pusat fokus membangun Indonesia timur? Inilah yang harus diperhatikan. Maluku, misalnya, alih-alih akan menjadi center of excellence, yang terjadi sekarang pulau-pulau di sekitar Maluku kondisinya makin kritis. Perubahan iklim global yang makin panas (global warming) dan abrasi akibat rusaknya hutan mangrove menyebabkan sebagian pulau-pulau kecil nyaris tenggelam.
Manuel Kaya, dosen Konservasi Sumberdaya Hutan Universitas Pattimura menyatakan empat masalah yang menghadang Maluku. Pertama, tingginya laju abrasi pantai dalam beberapa tahun terakhir telah menimpa hampir merata di semua pulau-pulau kecil sekitar Maluku. Kedua, intensitas banjir terus meningkat tiap tahun sebab air dari daratan tidak dapat mengalir ke laut karena permukaan air laut makin tinggi. Ketiga, kecepatan intrusi air laut makin meningkat karena berkurangnya air tanah dan tekanan muka air laut.
Keempat, banyaknya vila dan rumah tinggal di daerah perbukitan sehingga air hujan tidak terserap tanah dan sering terjadi longsor. Kondisi ini, jika tidak segera diperbaiki akan menjadikan Maluku yang indah dengan untaian pulau-pulau kecilnya, hanya akan jadi kenangan. Untuk mencegahnya, Manuel Kaya mengusulkan agar hutan mangrove di sepanjang pulaudilestarikan, penebanganhutan dilarang, pembukaan lahan perkebunan skala besar dihentikan, dan kehadiran industri ekstraktif( pertambangan) dipulaupulau kecil ditinjau ulang.
Namun, hal itu tidak berarti menutup kemungkinan investasi di pulau-pulau kecil. Masih banyak investasi yang bisa ditanam di pulau-pulau kecil seperti industri perikanan, pariwisata, perkebunan, peternakan terpadu. Tentu saja semuanya harus dilakukan dengan memperhatikan dampak lingkungannya. Itulah kondisi Maluku yang pernah dibayangkan Bung Karno sebagai pusat ilmu, teknologi, dan industri kelautan. Jika kondisinya sekarang merana, sering dilanda banjir, hal itu tidak berarti menutup peluang untuk merealisasikan gagasan Bung Karno tadi.
Untuk itulah, pemerintah pusat harus memfokuskan pembangunan di Maluku dengan konsentrasi pendidikan, industri, dan pariwisata yang berbasis kelautan. Jika Maluku maju seperti digambarkan Bung Karno, maka Indonesia Timur pun akan maju. Jika Indonesia Timur maju, maka Indonesia secara keseluruhan akan makin makmur dan jaya. Semoga!
ROKHMIN DAHURI
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB/Ketua Tim Akselerasi Investasi Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
(nfl)