Menjaga keselamatan pemudik

Rabu, 07 Agustus 2013 - 13:57 WIB
Menjaga keselamatan...
Menjaga keselamatan pemudik
A A A
SETIAP menjelang Hari Raya Idul Fitri, fenomena khas “mudik Lebaran” ke kampung halaman selalu mewarnai. Mudik Lebaran tidak lagi sekadar pulang kampung, melainkan juga sudah jadi prosesi ritual yang melambangkan suatu sikap dan keterikatan hidup manusia atas komunitas dan sejarahnya.

Pemudik tahun ini pun diprediksi akan terus meningkat, sehingga perlu persiapan untuk mengantisipasi perjalanan mudik terjebak dalam zona tidak aman dan tidak nyaman. Salah satu risiko yang selalu menghantui pemudik adalah susah mendapatkan tiket perjalanan dan ancaman kecelakaan. Tetapi itu semua tidak akan menyurutkan niat untuk mudik, karena selain melepaskan rindu yang dibalut aspek religius, juga berupaya meninggalkan rutinitas, rasionalitas, dan pertimbangan ekonomis.

Kenikmatan yang melingkupinya tidak hanya akan dijadikan tradisi, melainkan sudah terakomodasi dalam gerak kehidupan itu sendiri. Tradisi mudik dapat membudaya dan kian mapan karena disirami oleh nilai-nilai religius. Rupanya penilaian JJ Rousseau terbukti kebenarannya, bahwa sebuah tradisi yang ditopang oleh ajaran agama akan sanggup bertahan dan mengakar kuat dalam mozaik kehidupan masyarakat.

Perspektif HAM
Aktivitas mudik tahun ini merupakan peristiwa kultural tahunan yang penuh dinamika dan kompleksitas permasalahan. Potensi pelanggaran hak-hak publik (HAM) menjadi sangat besar, terutama untuk memfasilitasi mobilitas puluhan juta manusia dalam waktu hampir bersamaan, tentu bukan perkara gampang. Terlebih saat infrastruktur transportasi yang ada belum teruji keandalannya, baik dari sisi kapasitas maupun kualitas. Itulah yang terjadi secara rutin setiap tahun yang mestinya sudah bisa diantisipasi.

Menurut estimasi Kementerian Perhubungan (Koran SINDO, 24/7/2013), jumlah pemudik tahun ini mencapai 18,1 juta manusia. Angka ini lebih tinggi 4,46 persen dibandingkan mudik lebaran 2012 (17,33 juta pemudik). Tingginya jumlah pemudik ditambah belum maksimalnya infrastruktur dan moda transportasi, berpotensi terjadinya pelanggaran hak-hak publik sebagai pengguna jasa transportasi. Keamanan, kenyamanan, dan jaminan keselamatan merupakan aspek pemenuhan HAM yang sangat mendasar. Butuh koordinasi yang andal antarinstansi pemerintah dan aparat kepolisian, agar pergerakan arus lalu lintas yang masif itu berjalan lancar.

Pemudik juga harus menyadari kemungkinan menjadi korban kecelakaan dan kejahatan seperti copet dan penipuan tiket perjalanan. Harus siap menerima kondisi apa pun, termasuk memahami konteks ekonomi-sosial bahwa mudik Lebaran butuh pengorbanan. Boleh jadi kendaraan pribadi akan menjadi salah satu sarana, tetapi hal itu tidak mencukupi. Angkutan umum seperti bus, kereta api, kapal penyeberangan, atau pesawat terbang harus betul-betul terjamin kelaikannya.

Pemilik perusahaan angkutan umum harus bertanggung jawab atas kelayakan armada mereka. Dalam perspektif HAM, keleluasaan bergerak dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu bentuk hak-hak fundamental warga negara. Karena berlebaran di kampung halaman telah menjadi tradisi di Hari Fitri, sehingga hak untuk berada pada zona aman dan nyaman dalam perjalanan, termasuk keamanan atas rumah yang ditinggalkan di kota, harus dijamin oleh negara.

Siapa pun butuh rasa aman dan bebas dari rasa takut sebagai wujud dari kemajuan peradaban sebuah bangsa. Negara, melalui aparatnya, punya kewajiban memenuhi rasa aman pemudik. Mereka diberi mandat oleh rakyat untuk menjalankan fungsi di bidang keamanan dan pelayanan publik. Itulah konsekuensi dari ketulusan rakyat membayar pajak kepada negara untuk menggaji aparat pemerintah dan kepolisian, sehingga rasa aman pemudik di perjalanan merupakan keniscayaan.

Bangun silaturahmi
Mudik yang mencerminkan fitrah kemanusiaan, bukan perjalanan ugal-ugalan. Ia harus mencerminkan ketaatan pada aturan hukum, karena dengan ketaatan itulah ciri kemanusiaan dan fitrah akan hadir. Menaati peraturan lalu lintas adalah cermin budaya bangsa. Lebaran tahun ini harus tetap bernuansa religius di tengah kesulitan hidup yang terus melonjak akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Idul Fitri yang melahirkan tradisi mudik yang sarat makna simbolis menuju kehidupan baru, akan selalu dijalani, meskipun berisiko.

Perjuangan yang dilakoni pemudik lebih cenderung direfleksikan sebagai untaian cerita menarik dan membanggakan dalam kehidupannya. Di situlah akan terbangun persaudaraan (silaturahmi) yang saat ini sedang dilanda kemerosotan. Gerbang kebajikan terbuka sebagai titik kulminasi pencarian jati diri terhadap sifat-sifat kemanusiaan. Maka itu, perjalanan mudik harus dijadikan gerbang menuju kehidupan bermasyarakat yang beretika dan penuh santun.

Pemudik akan menyambut Idul Fitri dan dirayakan sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta, karena telah mampu melewati masa ujian sebulan penuh berpuasa. Kita tidak ingin mudik Lebaran dimaknai hanya sekadar saling memberi maaf, tetapi juga memberikan pesan moral untuk merdeka dari kenistaan. Sebab setiap manusia pada dasarnya memiliki kemerdekaan dan hak yang sama untuk memilih kehidupannya, sehingga Idul Fitri juga mesti dimaknai sebagai momentum untuk melepaskan diri dari belenggu pembodohan dan keterbelakangan.

Setidaknya memancarkan cinta kasih (mahabbah) sebagai landasan pemuliaan kemanusiaan. Cinta kasih dalam bingkai religius sebagai dasar pengembangan tradisi mudik Lebaran, akan lebih memperkuat Silaturahmi antarmanusia. Keselamatan pemudik akan memperkuat ikatan batin dengan sanak keluarga di kampung. Di dalamnya butuh perasaan kebersamaan dan kekeluargaan dalam satu kesatuan bangsa.

MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45 Makassar
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1734 seconds (0.1#10.140)