Pelajaran ketupat Lebaran

Rabu, 07 Agustus 2013 - 13:06 WIB
Pelajaran ketupat Lebaran
Pelajaran ketupat Lebaran
A A A
SEPIRING ketupat sayur dengan sepotong semur daging kerbau bukan sekadar makanan khas Hari Raya Lebaran. Ketupat dan semur di meja makan adalah lorong waktu yang panjang asal-usul juga tradisi besar Indonesia sebagai bangsa agraris.

Ketupat hampir dapat ditemukan di seluruh wilayah Indonesia dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda. Ada ketupat kentus, ketupat kodok, ketupat bawangan, ketupat cibek, ketupat jago, ketupat bata, ketupat tumpeng, dst. Semua ketupat itu hadir dalam perayaan-perayaan dengan pelbagai ritual yang sesungguhnya memperingatkan setiap yang makan agar sadar sejarah panjang nenek moyang adalah petani padi.

Peter Bellwood, pakar utama masa prasejarah Indo-Malaysia, menyatakan bangsa Austronesia yang mendiami dataran China bagian selatan bermigrasi ke Kepulauan Nusantara antara 3000-1000 SM dan menjadi leluhur bangsa Indonesia bikin perubahan besar secara biologis, linguistik dan budaya. Kemampuan bertani disebut Bellwood jadi penggerak awal dan utama perubahan besar itu yang akhirnya bangsa Austronesia dicatat melakukan proses kolonisasi paling mengesankan, cepat, sukses dan menjangkau paling luas dalam sejarah umat manusia.

Kehadiran padi membuat bahan-bahan makanan pokok lain seperti talas, ubi, sagu dan sejenis gandum yang sudah lebih dulu ada tergeser. Bahkan dalam beberapa sumber sejarah masyarakat Nusantara yang memakan nasi menganggap jenis-jenis makanan pokok yang lain rendah. Nasi adalah yang utama dan sebab itu banyak orang Indonesia haqqulyaqin akan ungkapan “belum makan kalau belum makan nasi”. Itu mungkin bukan ungkapan purba, tetapi jelas sekali merupakan manifestasi identitas bangsa Indonesia yang berleluhur petani.

Betapa merasuknya identitas masyarakat berbudaya agraris itu dalam relung jiwa bangsa Indonesia dengan pilihan ungkapan untuk menunjukkan aktivitas bekerja adalah “mencari sesuap nasi” atau “mencari segenggam beras”. Terlebih menariknya kata beras rupanya, menurut penelusuran ahli bahasa H Kern, pinjaman dari bahasa Austronesia. Bangsa Austronesia juga membawa teknologi pertanian. Sederhana dan menunjukkan tidak adanya penggunaan besi.

Terutama untuk persawahan, peralatan pentingnya luku dan garuk dari kayu. Keduanya diseret di belakang kerbau atau sapi. Dalam konteks itu sapi dan kerbau diternakkan, selain untuk membantu kerja di sawah juga sebagai hewan pengangkut dan diambil dagingnya. Meskipun peternakan berkembang, tetapi konsumsi daging masyarakat Nusantara rendah. Makan daging selalu saja dikaitkan dengan ritus dan hanya muncul saat pesta-pesta perjamuan kalangan atas.

Salah satunya teknik mengolah daging yang menarik diperhatikan terkait dengan ketupat sebagai simbol tradisi agraris dan memang pasangan makannya adalah semur. Si hitam manis ini, seperti ketupat, juga dikenal di banyak wilayah Nusantara. Sebagai makanan semur adalah produk pertemuan ragam budaya masa kolonial. Makanan ini jelas mendapat nama dari Belanda yaitu smoor, menjadi hitam manis dari kecap yang jelas produk masyarakat peranakan China, dan tak bisa ditampik kekayaan rempahnya di dalam bumbu adalah simbol khas Nusantara sebagai produsen rempah satu-satunya di dunia.

Menikmati semur akhirnya bukan saja merayakan kekayaan rasanya, tetapi juga makna keberagamannya yang indah. Di dalam semur terjadi pertemuan budaya secara mulus. Tiada benturan budaya, sesuatu yang saat ini rasanya semakin sering terjadi di Indonesia. Aha, suatu pelajaran penting dari lingkungan yang paling dekat dengan keseharian, yaitu makanan. Ketupat yang bersanding dengan semur mengingatkan betapa durhaka bangsa Indonesia melupakan jati diri sebagai bangsa agraris.

Bangsa-bangsa agraris, seperti India, membuat revolusi pertanian sejak 1950-an dan berhasil, Korea Selatan dan Jepang —menurut Ann Kumar belajar bertani dari Jawa— menggunakan kisah sejarah dan tradisi nenek moyangnya untuk menjalankan suatu politik budaya di dalam negeri dan diplomasi politik di tingkat internasional agar para petani mereka mendapat perlindungan. Tetapi, di Indonesia pemerintah terus sibuk kongkalikong memasukkan beras dan daging dari luar negeri.

Padahal, mereka cenderung menahan stok untuk mengantisipasi krisis pangan yang diprediksi sewaktu-waktu bisa terjadi. Hal ini membuat harga beras dan daging bertahan tinggi. Sementara peternakan kerbau, sapi diabaikan dan daerah-daerah pertanian utama di sejumlah wilayah di Indonesia rusak serta banyak masalah. Petani pun jadi paria, nasibnya tidak berubah sejak berabad lampau yang hidupnya dikiaskan antropolog James Scott: “Seperti orang terendam sebatas bibir, ada riak kecil saja sudah gelagapan.

"Dalam konteks itu, makan ketupat dan semur di Hari Raya Lebaran menggemakan kembali sajak tahun 1980-an Sitor Situmorang: Hidup ini bukan karena sesuap nasi / Hidup ini juga karena sesuap nasi / Marilah kerja, mari makan bersama / Agar hati manusia jangan jadi penjara / Tapi bebas mekar, sesuai ajaran manusia. Nah, bukankah makna Hari Raya Lebaran kembali kepada fitrah, kesucian asal sesama sebagai manusia.

Konsekuensinya, setiap manusia harus menghormati sesamanya seperti menghormati dirinya sendiri dan berusaha menegakkan pola hidup bersama yang dijiwai oleh saling percaya dengan baik (husnu al-zhan). Ironisnya, dari Lebaran ke Lebaran belakangan ini perayaannya memang kian besar, tetapi kian meredup maknanya mengingat banyak pengamat yang menyatakan persoalan Indonesia sekarang adalah pemerintah gagal membuat masyarakat tumbuh dengan tingkat saling percaya yang rendah (low trust society).

JJ RIZAL
Sejarawan
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1815 seconds (0.1#10.140)