Bom di ujung Ramadan
A
A
A
LAYANAN pesan pendek itu masuk pada hari Ahad tengah malam (4/8). Isinya mengejutkan, memaksa penulis menyalakan televisi: ada dua bom rakitan meledak di rumah ibadah umat Buddha, Wihara Ekayana yang terletak di Tanjung Duren, Jakarta Barat.
Tiga orang menderita luka-luka akibat ledakan yang menurut kepolisian berdaya ledak rendah tersebut. Sang pengirim pesan di tengah malam itu adalah Bikkhu Sri Pannyavaro Mahathera, tokoh senior umat Buddha-Sangha Theravada Indonesia yang sangat dihormati. Aksi teror terhadap Wihara Ekayana ini merupakan yang pertama kali terjadi menimpa fasilitas umat Buddha sejak target terorisme menyasar kedutaan asing, kepolisian, masjid, dan gereja di Indonesia.
Dalam olah TKP, pihak kepolisian menemukan tulisan di antara lempengan pecahan bom, ”Kami menjawab derita Rohingnya”. Meskipun polisi masih menyelidiki motif dan otak di balik aksi ini, muncul dugaan awal bahwa tindakan tersebut dipicu oleh kekerasan terhadap kelompok muslim Rohingnya di Myanmar. Sinyalemen lain adalah penangkapan dua orang terduga teroris yang akan mengebom Kedutaan Myanmar di Jakarta oleh Densus 88 pada awal Mei lalu.
Latar belakang sesungguhnya aksi tidak beradab tersebut akan terkuak seiring temuan kepolisian nanti, syukur jika pelakunya berhasil ditangkap dan diseret ke pengadilan. Namun, sulit dimungkiri bahwa kekerasan sektarian antara etnis Arakan dan etnis Rohingya yang meledak pada pertengahan 2012 telah menyedot perhatian mayoritas masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari besarnya pemberitaan dan traffic komentar di media sosial, terutama Facebook yang menampilkan ekspresi kecaman, kemarahan hingga solidaritas terhadap krisis kemanusiaan di Myanmar tersebut.
Kesimpangsiuran dan minimnya mekanisme cross and recheck atas informasi yang berkembang masif di media sosial telah memicu tumbuhnya kesalahpahaman, provokasi bahkan kebencian di beberapa kelompok masyarakat. Kala itu, tersebar secara masif foto-foto sangat provokatif melalui Facebook dan Blackberry Messenger yang akurasinya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Belakangan diketahui bahwa sebagian besar foto tersebut berasal dari peristiwa bencana gempa di negara lain, bukan dari kekerasan di Myanmar.
Gejala di atas sudah dicemaskan Bikkhu Panyyavaro saat mengirimkan layanan pesan pendek kepada penulis pada Juni tahun lalu. Sang Bikkhu menyampaikan keprihatinan atas apa yang menimpa komunitas muslim di Arakan dan meminta umat beragama di Indonesia tidak terpancing.
Kepala Vihara Mendut ini tidak bisa memahami dan membenarkan apa yang dilakukan umat Buddha di Arakan terhadap komunitas muslim mengingat Sang Buddha sendiri mengajarkan kasih kepada manusia bahkan alam semesta. Tampaknya sang bikkhu sudah mewaspadai kemungkinan eskalasi kebencian sektarian itu akan melampaui batas geografis Myanmar, utamanya negara-negara di mana ditemukan juga umat Islam dan Buddha seperti Indonesia dan Sri Lanka.
Ekstremisme
The Face of Buddhist Terror, judul liputan utama majalah TIME Edisi 1 Juli 2013 telah memicu kontroversi di negaranegara yang mayoritas berpenduduk beragama Buddha, khususnya Myanmar dan Sri Lanka. Pemerintah kedua negara ini melarang peredaran majalah ini karena dianggap akan menimbulkan kemarahan, provokasi, bahkan ketidakstabilan politik dalam negerinya.
Pelarangan ini berakar dari laporan mengenai seorang tokoh Buddha dan pemimpin dari gerakan radikal ”969” di Myanmar, yaitu Ashin Wirathu. Menurut investigasi TIME, Wirathu merupakan sosok sentral di balik masifnya ceramah keagamaan yang menyebarkan kebencian dan permusuhan terhadap muslim. Sebagaimana diberitakan New York Times, pemimpin gerakan “969” ini mengaku bangga disebut sebagai penganut Buddha radikal dan menyerukan pengikutnya untuk tidak memberikan ruang toleransi terhadap minoritas muslim.
Kenapa Sri Lanka ikut melarang TIME? Meskipun penduduk yang memeluk Islam hanya 9% dan sangat kontras dengan jumlah pengikut Buddha sebesar 75%, ketegangan sektarian Buddha dan Islam mengintai negeri ini. Kelompok minoritas muslim dibayang-bayangi ketakutan akibat permusuhan dari penganut Buddha radikal Sinhala yang beraliran politik ultranasionalis. Kelompok ini menyebarkan provokasi bahwa perkembangan kelompok muslim sedang mengancam eksistensi kelompok mayoritas Buddha, baik di ranah ekonomi, politik, dan sosial.
Politisi Azrad Sally harus ditangkap Pemerintah Sri Lanka dengan tuduhan Undang-undang Konflik Komunal akibat sikap vokalnya terhadap kelompok Sinhala. Modus semacam ini juga bekerja pada kasus Myanmar bahkan konflik-konflik komunal di Indonesia. Hubungan antarkomunitas agama dalam satu negara sering dirusak oleh ulah kelompok-kelompok ekstrem dari masingmasing pihak. Kalaupun terjadi friksi, bahkan benturan antarkomunitas dengan latar belakang agama yang berbeda, biasa hal tersebut oleh dipicu oleh pandangan ekstrem satu kelompok yang mengancam eksistensi kelompok lain.
Pada banyak kasus, sindrom mayoritas sering menyeret kelompok besar itu pada jebakan politisasi agama yang menimbulkan diskriminasi terhadap warga negara lain yang lemah secara politik dan ekonomi. Sering kali yang terjadi adalah benturan antarpaham ekstremisme yang dijustifikasi keyakinan tertentu, bukan konflik antaragama itu sendiri. Namun, tidak mudah menjelaskan persoalan ini secara jernih ketika isu konflik sektarian itu bereskalasi sedemikian cepat melintasi batasbatas geopolitik tertentu.
Pada satu diskusi di Lemhannas bulan lalu, penulis mengingatkan bahwa penanganan konflik sektarian dan ancaman terorisme di Indonesia harus berpijak pada dinamika konteks mikro dan jaringan aktor lokal seperti ditemukan Ashutosh Varsney (2002) dan Abu Nimer (2010). Namun hal tersebut tidak bisa lepas dari faktor makro geopolitik di level kawasan Asia, bahkan global. Revolusi media memaksa kita semua mengubah pola komunikasi dan pendekatan dalam menangani konflik dan ancaman teror.
Misalnya, eskalasi kekerasan sektarian di Myanmar terlihat dari meningkatnya ketegangan sektarian di Sri Lanka, terjadinya kerusuhan sektarian di Malaysia, seruan berperang ke Myanmar dari beberapa kelompok Islam di Indonesia, dan tidak tertutup kemungkinan aksi teror di Wihara Ekayana kemarin. Karena itu, dunia yang kian tidak berjarak menghendaki kita semua untuk terus belajar bersimpati, berempati, dan bersikap solidaritas ketimbang mengedepankan ego sektarian, sindrom mayoritas dan psikologi keterancaman dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda.
Kesadaran bahwa setiap agama memiliki celah justifikasi atas kekerasan hendaknya membuat pemeluknya tidak menutup mata betapa konstruksi agama rentan dieksploitasi untuk kepentingan yang bertolak belakang dengan pesan kemanusiaan agama itu sendiri. Bom di ujung Ramadan jelas tidak mungkin dilakukan oleh orang yang meyakini dan menghormati kesucian bulan penuh berkah ini. Semoga ini adalah yang terakhir.
FAJAR RIZA UL HAQ
Direktur Eksekutif MAARIF
Institute for Culture and Humanity
Tiga orang menderita luka-luka akibat ledakan yang menurut kepolisian berdaya ledak rendah tersebut. Sang pengirim pesan di tengah malam itu adalah Bikkhu Sri Pannyavaro Mahathera, tokoh senior umat Buddha-Sangha Theravada Indonesia yang sangat dihormati. Aksi teror terhadap Wihara Ekayana ini merupakan yang pertama kali terjadi menimpa fasilitas umat Buddha sejak target terorisme menyasar kedutaan asing, kepolisian, masjid, dan gereja di Indonesia.
Dalam olah TKP, pihak kepolisian menemukan tulisan di antara lempengan pecahan bom, ”Kami menjawab derita Rohingnya”. Meskipun polisi masih menyelidiki motif dan otak di balik aksi ini, muncul dugaan awal bahwa tindakan tersebut dipicu oleh kekerasan terhadap kelompok muslim Rohingnya di Myanmar. Sinyalemen lain adalah penangkapan dua orang terduga teroris yang akan mengebom Kedutaan Myanmar di Jakarta oleh Densus 88 pada awal Mei lalu.
Latar belakang sesungguhnya aksi tidak beradab tersebut akan terkuak seiring temuan kepolisian nanti, syukur jika pelakunya berhasil ditangkap dan diseret ke pengadilan. Namun, sulit dimungkiri bahwa kekerasan sektarian antara etnis Arakan dan etnis Rohingya yang meledak pada pertengahan 2012 telah menyedot perhatian mayoritas masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari besarnya pemberitaan dan traffic komentar di media sosial, terutama Facebook yang menampilkan ekspresi kecaman, kemarahan hingga solidaritas terhadap krisis kemanusiaan di Myanmar tersebut.
Kesimpangsiuran dan minimnya mekanisme cross and recheck atas informasi yang berkembang masif di media sosial telah memicu tumbuhnya kesalahpahaman, provokasi bahkan kebencian di beberapa kelompok masyarakat. Kala itu, tersebar secara masif foto-foto sangat provokatif melalui Facebook dan Blackberry Messenger yang akurasinya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Belakangan diketahui bahwa sebagian besar foto tersebut berasal dari peristiwa bencana gempa di negara lain, bukan dari kekerasan di Myanmar.
Gejala di atas sudah dicemaskan Bikkhu Panyyavaro saat mengirimkan layanan pesan pendek kepada penulis pada Juni tahun lalu. Sang Bikkhu menyampaikan keprihatinan atas apa yang menimpa komunitas muslim di Arakan dan meminta umat beragama di Indonesia tidak terpancing.
Kepala Vihara Mendut ini tidak bisa memahami dan membenarkan apa yang dilakukan umat Buddha di Arakan terhadap komunitas muslim mengingat Sang Buddha sendiri mengajarkan kasih kepada manusia bahkan alam semesta. Tampaknya sang bikkhu sudah mewaspadai kemungkinan eskalasi kebencian sektarian itu akan melampaui batas geografis Myanmar, utamanya negara-negara di mana ditemukan juga umat Islam dan Buddha seperti Indonesia dan Sri Lanka.
Ekstremisme
The Face of Buddhist Terror, judul liputan utama majalah TIME Edisi 1 Juli 2013 telah memicu kontroversi di negaranegara yang mayoritas berpenduduk beragama Buddha, khususnya Myanmar dan Sri Lanka. Pemerintah kedua negara ini melarang peredaran majalah ini karena dianggap akan menimbulkan kemarahan, provokasi, bahkan ketidakstabilan politik dalam negerinya.
Pelarangan ini berakar dari laporan mengenai seorang tokoh Buddha dan pemimpin dari gerakan radikal ”969” di Myanmar, yaitu Ashin Wirathu. Menurut investigasi TIME, Wirathu merupakan sosok sentral di balik masifnya ceramah keagamaan yang menyebarkan kebencian dan permusuhan terhadap muslim. Sebagaimana diberitakan New York Times, pemimpin gerakan “969” ini mengaku bangga disebut sebagai penganut Buddha radikal dan menyerukan pengikutnya untuk tidak memberikan ruang toleransi terhadap minoritas muslim.
Kenapa Sri Lanka ikut melarang TIME? Meskipun penduduk yang memeluk Islam hanya 9% dan sangat kontras dengan jumlah pengikut Buddha sebesar 75%, ketegangan sektarian Buddha dan Islam mengintai negeri ini. Kelompok minoritas muslim dibayang-bayangi ketakutan akibat permusuhan dari penganut Buddha radikal Sinhala yang beraliran politik ultranasionalis. Kelompok ini menyebarkan provokasi bahwa perkembangan kelompok muslim sedang mengancam eksistensi kelompok mayoritas Buddha, baik di ranah ekonomi, politik, dan sosial.
Politisi Azrad Sally harus ditangkap Pemerintah Sri Lanka dengan tuduhan Undang-undang Konflik Komunal akibat sikap vokalnya terhadap kelompok Sinhala. Modus semacam ini juga bekerja pada kasus Myanmar bahkan konflik-konflik komunal di Indonesia. Hubungan antarkomunitas agama dalam satu negara sering dirusak oleh ulah kelompok-kelompok ekstrem dari masingmasing pihak. Kalaupun terjadi friksi, bahkan benturan antarkomunitas dengan latar belakang agama yang berbeda, biasa hal tersebut oleh dipicu oleh pandangan ekstrem satu kelompok yang mengancam eksistensi kelompok lain.
Pada banyak kasus, sindrom mayoritas sering menyeret kelompok besar itu pada jebakan politisasi agama yang menimbulkan diskriminasi terhadap warga negara lain yang lemah secara politik dan ekonomi. Sering kali yang terjadi adalah benturan antarpaham ekstremisme yang dijustifikasi keyakinan tertentu, bukan konflik antaragama itu sendiri. Namun, tidak mudah menjelaskan persoalan ini secara jernih ketika isu konflik sektarian itu bereskalasi sedemikian cepat melintasi batasbatas geopolitik tertentu.
Pada satu diskusi di Lemhannas bulan lalu, penulis mengingatkan bahwa penanganan konflik sektarian dan ancaman terorisme di Indonesia harus berpijak pada dinamika konteks mikro dan jaringan aktor lokal seperti ditemukan Ashutosh Varsney (2002) dan Abu Nimer (2010). Namun hal tersebut tidak bisa lepas dari faktor makro geopolitik di level kawasan Asia, bahkan global. Revolusi media memaksa kita semua mengubah pola komunikasi dan pendekatan dalam menangani konflik dan ancaman teror.
Misalnya, eskalasi kekerasan sektarian di Myanmar terlihat dari meningkatnya ketegangan sektarian di Sri Lanka, terjadinya kerusuhan sektarian di Malaysia, seruan berperang ke Myanmar dari beberapa kelompok Islam di Indonesia, dan tidak tertutup kemungkinan aksi teror di Wihara Ekayana kemarin. Karena itu, dunia yang kian tidak berjarak menghendaki kita semua untuk terus belajar bersimpati, berempati, dan bersikap solidaritas ketimbang mengedepankan ego sektarian, sindrom mayoritas dan psikologi keterancaman dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda.
Kesadaran bahwa setiap agama memiliki celah justifikasi atas kekerasan hendaknya membuat pemeluknya tidak menutup mata betapa konstruksi agama rentan dieksploitasi untuk kepentingan yang bertolak belakang dengan pesan kemanusiaan agama itu sendiri. Bom di ujung Ramadan jelas tidak mungkin dilakukan oleh orang yang meyakini dan menghormati kesucian bulan penuh berkah ini. Semoga ini adalah yang terakhir.
FAJAR RIZA UL HAQ
Direktur Eksekutif MAARIF
Institute for Culture and Humanity
(nfl)