Indonesia lebih fitri Indonesia antikorupsi

Selasa, 06 Agustus 2013 - 08:03 WIB
Indonesia lebih fitri...
Indonesia lebih fitri Indonesia antikorupsi
A A A
INSYA ALLAH, Kamis lusa, 8 Agustus, adalah Hari Raya Idul Fitri. Dalam kesempatan yang baik ini izinkan saya mengucapkan selamat. Semoga semua kita dalam limpahan rahmat- Nya dan betul-betul kembali menjadi fitri, menjadi suci.

Saya juga meminta maaf, khususnya kepada sidang pembaca kolom Novum, dan kepada semua rakyat Indonesia, karena tentu saja, sebagai manusia saya tidak luput dari kekurangan. Tugas pembenahan yang kami lakukan di Kementerian Hukum & HAM, kami sadari masih jauh dari harapan ideal. Meskipun dari waktu ke waktu kami terus berikhtiar tanpa henti.

Dalam kurun waktu 1 tahun 10 bulan, serta dalam waktu 1 tahun yang tersisa, hingga 20 Oktober 2014, kami akan terus melakukan pembenahan, apa pun risikonya. Melakukan pembenahan atas sistem yang bermasalah, apalagi akar persoalannya telah tertanam dalam, pastilah tidak mudah. Pembenahan tidak selalu disambut dengan sukacita, tetapi tidak jarang juga dijemput dengan duka-murka.

Bagi yang merasa perbaikan adalah keniscayaan, maka dukungan mengalir, meskipun sering tidak muncul di permukaan. Bagi yang lain, pembenahan justru dimaknai sebagai upaya yang mengganggu. Mengusik rasa nyaman, mengganggu zona nyaman (comfort zone). Maka resistensi muncul dengan berbagai bentuknya, dapat berupa ancaman dan gugatan hukum, ancaman fisik, hingga ancaman gangguan keamanan dan ketertiban.

Setahun lalu, ketika juga menjelang Hari Raya Idul Fitri, saya mengirimkan pesan Twitter, yang pada intinya berpendapat: Advokat koruptor adalah koruptor itu sendiri. Yaitu yang dalam melakukan pembelaan menghalalkan segala cara seperti menyuap para penegak hukum dan tanpa malu menerima uang hasil korupsi.

Atas pesan Twitter tersebut saya menghadapi dua ancaman gugatan perdata dan satu laporan pidana. Padahal, apa yang saya lakukan adalah menyampaikan realitas semata. Kenyataan buruk bahwa dunia hukum kita masih sarat dengan praktik mafia hukum, oleh semua oknum penegak hukum, tentu saja tidak hanya advokat.

Maka, ketika setahun kemudian, menjelang hari raya pula, ada berita oknum advokat ditangkap tangan oleh KPK karena diduga menyuap pegawai Mahkamah Agung, Twitter saya mendapatkan kiriman pesan seperti, “Kebenaran sering datang terlambat,” “Pernyataan advokat koruptor adalah koruptor itu sendiri, terbukti,” dan lain-lain. Atas kenyataan demikian, kita tentu saja tidak bahagia.

Kita malu dan wajib bekerja keras, untuk membersihkan dunia hukum dari praktik korupsi yang masih marak. Maka, dalam kewenangan yang kami pegang, ikhtiar untuk membersihkan Indonesia dari korupsi insya Allah tidak pernah berhenti dilakukan. Mengumpulkan para narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin adalah salah satunya. Agar pengawasan lebih mudah dilakukan, agar penyimpangan lebih bisa ditekan.

Demikian juga penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012 (”PP Asmaul Husna”), yang pada intinya mengetatkan pemberian hak-hak narapidana seperti remisi dan pembebasan bersyarat. Atas PP Asmaul Husna, gugatan uji materi dilakukan oleh beberapa narapidana korupsi ke MA. Tentu saja itu merupakan langkah hukum yang sah, serta dijamin dalam negara hukum Indonesia.

Di sisi lain, gugatan demikian makin mengukuhkan bahwa menciptakan Indonesia yang lebih antikorupsi memang tidak pernah mudah. Tantangannya datang dari berbagai penjuru mata angin, tidak terkecuali dari tantangan hukum yang absah. Jawaban atas gugatan itu telah kami sampaikan kepada MA. Sayangnya, sidang uji materi di MA tidak terbuka untuk umum, sebab memang demikianlah hukum acaranya.

Karena itu, sebagai bentuk pertanggungjawaban publik, karena tidak diragukan lagi korupsi adalah salah satu isu utama publik, hari Kamis lalu kami mengadakan diskusi dengan rekan-rekan media. Hadir sebagai pembicara adalah Kepala BNN, Kepala PPATK, Juru Bicara KPK dan Gandjar Bondan—pakar pidana dari Universitas Indonesia.

Kesemua pembicara dengan lugas dan tegas menyatakan dukungan pada kebijakan antiobral remisi kepada narapidana korupsi, yang berarti sokongan kepada PP Asmaul Husna. Sebelum acara dimulai, sebenarnya ada kabar duka yang saya terima. Kamis pagi itu, hari ke-23 Ramadan, sebelum pukul 10, ayahanda Acep Hidayat telah berpulang ke rahmatullah.

Maka, meski agak tergesa-gesa, saya jelaskan beberapa argumentasi kenapa PP Asmaul Husna harus dipertahankan demi Indonesia yang lebih antikorupsi. Meski lebih singkat, saya tetap menyampaikan argumentasi antikorupsi tersebut, karena saya tahu persis, almarhum adalah salah satu pendukung utama kebijakan antikorupsi, khususnya kebijakan pengetatan remisi. Hal itu terbukti, dalam salah satu puisi almarhum berikut yang kami temukan di komputernya.

Syarat menjadi koruptor

Tindak pidana korupsi, memanglah perbuatan yang sangat sakti Untuk bisa korupsi perlu syarat yang sangat tinggi Kesatu, harus punya jabatan penting, caranya sabodo teuing Kedua harus setia, Setia memuja kebohongan Ketiga harus bermoral, Bermoral bejat dan hancur nurani Keempat bisa dipercaya untuk mengkhianati kepercayaan Kelima merakyat artinya pintar mengelabui rakyat Itu syarat minimal Bung.

Belum lagi akhir-akhir ini tersangka koruptor bahkan terpidana koruptor semakin banyak simpatisannya. Ketika ada pejabat yang akan memperketat remisi koruptor, malah dibantai di DPR. Melawan korupsi tentu tidak bisa hanya dengan puisi. Tetapi apa pun medianya, bagaimanapun caranya, ikhtiar antikorupsi harus terus dilakukan, termasuk lewat kata-kata penuh arti seperti puisi.

Pesan-pesan almarhum ayahanda akan terus kami jadikan penjaga semangat, utamanya di tengahtengah tantangan dan ancaman yang memang tidak pernah berhenti mengalir. Salah satu bentuk tantangan yang lain adalah ancaman instabilitas atau gangguan keamanan dan ketertiban di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan. Tragedi yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta, yang menewaskan lima orang, dan dinamika keamanan yang sekarang terjadi di beberapa lapas akhir-akhir ini sedikit banyak berkait erat dengan upaya penertiban yang tidak henti kami lakukan.

Banyaknya penyimpangan yang ada di lapas harus diakui ada pihakpihak yang menikmati, di antaranya adalah segelintir narapidana yang memiliki kemampuan finansial dan oknum lapas yang terkontaminasi. Bagi mereka, penertiban adalah ancaman, karena selama ini mereka menikmati sistem yang menyimpang tersebut. Karena itu, saya mengajak kepada mayoritas narapidana dan petugas pemasyarakatan yang masih berintegritas, mari kita jaga lapas dan rutan kita, rumah kita bersama, dari berbagai penyimpangan, utamanya HaLiNar: HApe, pungLI dan NARkoba.

Yakinlah dengan lapas dan rutan yang lebih bersih dari HaLiNar, kehidupan di lapas dan rutan akan lebih amandannyaman. Karena, tanpa dukungan dari semua pihak, tidak terkecuali para narapidana dan petugas, pembenahan di pemasyarakatan pasti akan jauh lebih sulit dilakukan. Meskipun, kalaupun dukungan itu tidak juga maksimal diberikan, maka tidak ada pilihan lain, penertiban tetap harus terus berjalan, harus terus dilakukan, apa pun risikonya. Untuk pemasyarakatan dan Kemenkumham yang lebih bersih, lebih antikorupsi. Demi Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang lebih fitri. Selamat Hari Raya Idul Fitri. Keep on fighting for the better Indonesia.

DENNY INDRAYANA
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7757 seconds (0.1#10.140)