Mistik Alquran dan orang Jawa
A
A
A
ALQURAN adalah sebuah kitab suci yang menyajikan dua dimensi sekaligus: dimensi rasional dan mistikal. Banyak ayat yang mengajak orang Islam untuk mengembangkan wawasan rasional (akal), tapi juga banyak ayat yang mengajak untuk mengembangkan wawasan mistikal (irasional).
Annemarie Schimmel, ahli mistisisme Islam, misalnya, menganggap bahwa sufisme yang mengacu pada mistik Islam demikian rumit dan kompleks karena penyebaran Islam ke tiga benua (Asia, Afrika, dan Eropa) mau tidak mau harus mengakomodasi budaya lokal berikut legenda-legenda, dongeng-dongeng dan mitos-mitosnya untuk dimasukkan dalam koridor Islam dan Alquran.
Schimmel menulis, orang yang mendalami mistik Islam bagaikan melihat suatu daerah perbukitan yang luas terbentang di depan mata dan semakin lama dia mencari jalan, maka semakin sulit mencapai tujuannya. Suatu ketika dia mungkin tinggal di taman mawar mistik Persia, tapi di waktu lain dia berada di puncak-puncak dingin renungan filosofi Yunani.
Kali lain dia mungkin tinggal di lembah pemujaan para wali, tapi di saat lain dia harus menaiki unta sepanjang padang pasir untuk mencari makna hidupnya. Mistik Islam, tulis Schimmel, adalah wilayah tak bertepi yang sulit dijangkau siapa pun, kecuali menggunakan perasaan dan perspektif yang telah ada dalam dirinya sendiri.
Mistisisme Islam Jawa
Melihat luasnya wilayah mistik Islam seperti disebutkan Schimmel di atas, dalam tulisan ini, saya ingin membatasi diri dengan hanya melihat praktik-praktik mistik Islam di Jawa yang berkaitan dengan ayat-ayat suci Alquran. Dalam penelitian untuk disertasi saya bidang sosiologi agama di Jawa (Creating Islamic Tradition in Rural Java, Monash University, 1991), saya mengamati perilaku mistis orang-orang Jawa yang tinggal di sebuah desa di lereng barat Gunung Merbabu, Jawa Tengah.
Misalnya bagaimana mereka memahami Alquran dan perilaku mistis yang terkait dengan bacaan-bacaan ayat suci Alquran. Orang Jawa tradisional yang umumnya —pinjam Geertz— berkarakter abangan, memang tidak banyak yang bisa membaca Alquran dengan fasih. Namun demikian, ada ayat-ayat Alquran yang hampir pasti mereka hafal seperti al-Fatihah, al-Nas, al-Falaq, Qulhu (al-Ikhlas), dan ayat Kursi. Ayat-ayat Alquran tersebut sangat familier di kalangan orang Jawa karena “kesaktiannya”.
Tidak hanya orang santri yang memanfaatkan kesaktian ayat-ayat di atas, tapi juga orang abangan dan dukun. Mereka bisa membaca al-Fatihah dan Qulhu bukan karena rajin salat, melainkan lebih karena efek mistis ayat-ayat tersebut. Kenapa demikian? Menurut Niels Mulder dalam Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java, kehidupan orang Jawa penuh dengan dunia mistis.
Bagi sebagian besar orang Jawa, mistisisme dan praktik-praktik magis-mistik selalu menjadi arus dasar terkuat kebudayaan mereka. Pada saat yang sama, ketika ditanya perihal agama, mayoritas orang Jawa spontan menjawab agamanya Islam. Fenomena ini mungkin ganjil bagi kalangan Islam modernis, tapi tidak bagi kalangan Islam tradisional.
Kemampuan memetamorfosiskan ayat-ayat Alquran ke dalam mantra, rapalan, dan jimat adalah sesuatu yang istimewa, yang menjadi simbol ketinggian ilmu mistik seseorang atau kelinuwihan orang bersangkutan. Apalagi jika orang Jawa itu pandai membaca Alquran dan rajin salat lima waktu.
Geertz mencatat orang Jawa yang pintar membaca Alquran dan salat lima waktu, di masyarakat dipandang terhormat dan kesaktiannya dianggap lebih besar ketimbang para dukun. Pak Mukmin, salah seorang warga Desa “Tegalroso” yang pernah nyantri di Pesantren Pare, Kediri, misalnya, dianggap punya kesaktian hebat karena mampu mengusir Ki Sangu Banyu, roh penjaga sendang di desanya.
Pak Mukmin bercerita kepada saya, bahwa selama ini orang-orang setempat menyucikan sendang Banyu Biru. Orang setempat hanya berani mengambil air sendang dengan gayung dan mandi di pinggir sendang. Maka ketika Pak Mukmin menceburkan diri ke sendang dan berenang di sendang itu, semua orang cemas. “Pak Mukmin akan celaka, Pak Mukmin akan celaka,” teriak mereka.
Benar juga kecemasan orang desa itu. Malamnya, cerita Pak Mukmin, dia bermimpi didatangi sosok raksasa menakutkan. Raksasa itu menunggangi punggungnya. “Tapi saya berhasil melawannya dan raksasa itu lepas dari punggung saya,” katanya. Malam itu juga Pak Mukmin mendatangi sendang sambil membawa lampu petromaks untuk membaca Alquran. “Saya membaca Alquran keras-keras di sendang itu,” ujarnya.
Apa yang terjadi? Tiba-tiba ada suara petir dari sendang diiringi dengan gejolak air. Entah dari mana, lalu muncul seekor makhluk yang mirip paman saya. Makhluk itu menyatakan seluruh anaknya mati karena bacaan ayat Alquran tadi. Ia pun minta saya agar menghentikan bacaan Alquran tersebut. “Paman” juga minta saya agar memerintahkan warga desa untuk memotong ayam putih setiap Selasa Kliwon.
Kata makhluk itu, ayam putih tersebut untuk mendukung keberhasilan panen sawah warga di sekitar sendang. Pak Mukmin tidak langsung percaya begitu saja. Untuk membuktikan kebenaran suara roh penunggu sendang, dia pulang menemui pamannya. Ternyata sang paman sedang tidur nyenyak. Jadi jelas, sosok yang ditemui di sendang tadi bukan pamannya. Malam itu juga Pak Mukmin mengundang warga desa ke mesjid dan memberi tahu agar tidak lagi memberikan sesajen ke sendang.
“Jika ada sesuatu yang terjadi, saya bertanggung jawab,” kata Pak Mukmin. Malam berikutnya, Pak Mukmin mimpi bertemu lagi dengan raksasa penunggu sendang dan ia menyatakan akan pergi, tapi akan minta tumbal. Semula saya cemas. Tapi kemudian setiap malam, saya salat tahajud memohon pertolongan Allah untuk menolak tumbal yang diinginkan raksasa itu. Alhamdulillah, sampai hari ini tidak ada korban, ungkap Pak Mukmin.
Kisah di atas menggambarkan bagaimana “kesaktian” ayat-ayat Alquran untuk mengusir roh penunggu sendang di desa tadi. Sejak saat itu, berkat bacaan Quran, sendang tersebut bersih, aman, dan tidak dikotori dengan sesajen. Pak Mukmin pun makin dihormati masyarakat karena kemampuannya memanfaatkan kekuatan magis ayat Alquran untuk mengusir raksasa yang dijuluki Ki Sangu Banyu itu.
Di kalangan masyarakat Jawa tradisional, efek magis ayat-ayat Alquran jauh lebih dikenal ketimbang efek “petunjuk jalan yang benar” dari ayat-ayat itu. Karena itu, penghormatan terhadap kiai pun tidak hanya berdasarkan pengetahuan agamanya yang luas, tapi juga pada keunggulan karomahnya. Karomah, yang menurut Gilsenan merupakan tindakan atau peristiwa ajaib yang menyertai para wali, hanya bisa muncul pada orang-orang yang saleh, yang rajin salat, dan baca Alquran.
Itulah sebabnya, bagi orang Jawa, Alquran itu suci dan sakti, yang karenanya, tidak boleh ditaruh sembarangan. Bagi orang Jawa, Alquran harus dihormati, baik isinya maupun fisiknya. Sebab dalam Alquran terkandung ayat-ayat yang punya magis dan kekuatan yang luar biasa. Karena itu, melalui media tertentu, ayat-ayat Alquran bisa dipakai untuk obat (medis), obat psikologis (penenteram hati), obat antihama (pestisida), dan obat-obat yang lain.
Pandangan tersebut di kalangan Islam modernis mungkin dianggap salah dan kuno. Namun, itulah cara orang Jawa menghargai Alquran, sedemikian rupa sehingga mereka tidak berani melanggar pesan-pesan Alquran. Bagi orang Jawa, kulminasi hidup dan kesempurnaan hidup akan dicapai jika jiwa raga seseorang telah menyatu dengan Alquran. Nabi Muhammad, kata Siti Aisyah, adalah contoh Alquran yang hidup.
Bagi orang Jawa, Alquran yang hidup itu terlihat dari perilaku para wali dan kiai yang memiliki karomah dan kekuatan magis yang hebat. Kehebatan Wali Songo, bagi orang Jawa, karena kemampuan mistik dan karomahnya yang luar biasa, yang bersumber dari Alquran.
M BAMBANG PRANOWO
Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten
Guru Besar UIN Ciputat
Annemarie Schimmel, ahli mistisisme Islam, misalnya, menganggap bahwa sufisme yang mengacu pada mistik Islam demikian rumit dan kompleks karena penyebaran Islam ke tiga benua (Asia, Afrika, dan Eropa) mau tidak mau harus mengakomodasi budaya lokal berikut legenda-legenda, dongeng-dongeng dan mitos-mitosnya untuk dimasukkan dalam koridor Islam dan Alquran.
Schimmel menulis, orang yang mendalami mistik Islam bagaikan melihat suatu daerah perbukitan yang luas terbentang di depan mata dan semakin lama dia mencari jalan, maka semakin sulit mencapai tujuannya. Suatu ketika dia mungkin tinggal di taman mawar mistik Persia, tapi di waktu lain dia berada di puncak-puncak dingin renungan filosofi Yunani.
Kali lain dia mungkin tinggal di lembah pemujaan para wali, tapi di saat lain dia harus menaiki unta sepanjang padang pasir untuk mencari makna hidupnya. Mistik Islam, tulis Schimmel, adalah wilayah tak bertepi yang sulit dijangkau siapa pun, kecuali menggunakan perasaan dan perspektif yang telah ada dalam dirinya sendiri.
Mistisisme Islam Jawa
Melihat luasnya wilayah mistik Islam seperti disebutkan Schimmel di atas, dalam tulisan ini, saya ingin membatasi diri dengan hanya melihat praktik-praktik mistik Islam di Jawa yang berkaitan dengan ayat-ayat suci Alquran. Dalam penelitian untuk disertasi saya bidang sosiologi agama di Jawa (Creating Islamic Tradition in Rural Java, Monash University, 1991), saya mengamati perilaku mistis orang-orang Jawa yang tinggal di sebuah desa di lereng barat Gunung Merbabu, Jawa Tengah.
Misalnya bagaimana mereka memahami Alquran dan perilaku mistis yang terkait dengan bacaan-bacaan ayat suci Alquran. Orang Jawa tradisional yang umumnya —pinjam Geertz— berkarakter abangan, memang tidak banyak yang bisa membaca Alquran dengan fasih. Namun demikian, ada ayat-ayat Alquran yang hampir pasti mereka hafal seperti al-Fatihah, al-Nas, al-Falaq, Qulhu (al-Ikhlas), dan ayat Kursi. Ayat-ayat Alquran tersebut sangat familier di kalangan orang Jawa karena “kesaktiannya”.
Tidak hanya orang santri yang memanfaatkan kesaktian ayat-ayat di atas, tapi juga orang abangan dan dukun. Mereka bisa membaca al-Fatihah dan Qulhu bukan karena rajin salat, melainkan lebih karena efek mistis ayat-ayat tersebut. Kenapa demikian? Menurut Niels Mulder dalam Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java, kehidupan orang Jawa penuh dengan dunia mistis.
Bagi sebagian besar orang Jawa, mistisisme dan praktik-praktik magis-mistik selalu menjadi arus dasar terkuat kebudayaan mereka. Pada saat yang sama, ketika ditanya perihal agama, mayoritas orang Jawa spontan menjawab agamanya Islam. Fenomena ini mungkin ganjil bagi kalangan Islam modernis, tapi tidak bagi kalangan Islam tradisional.
Kemampuan memetamorfosiskan ayat-ayat Alquran ke dalam mantra, rapalan, dan jimat adalah sesuatu yang istimewa, yang menjadi simbol ketinggian ilmu mistik seseorang atau kelinuwihan orang bersangkutan. Apalagi jika orang Jawa itu pandai membaca Alquran dan rajin salat lima waktu.
Geertz mencatat orang Jawa yang pintar membaca Alquran dan salat lima waktu, di masyarakat dipandang terhormat dan kesaktiannya dianggap lebih besar ketimbang para dukun. Pak Mukmin, salah seorang warga Desa “Tegalroso” yang pernah nyantri di Pesantren Pare, Kediri, misalnya, dianggap punya kesaktian hebat karena mampu mengusir Ki Sangu Banyu, roh penjaga sendang di desanya.
Pak Mukmin bercerita kepada saya, bahwa selama ini orang-orang setempat menyucikan sendang Banyu Biru. Orang setempat hanya berani mengambil air sendang dengan gayung dan mandi di pinggir sendang. Maka ketika Pak Mukmin menceburkan diri ke sendang dan berenang di sendang itu, semua orang cemas. “Pak Mukmin akan celaka, Pak Mukmin akan celaka,” teriak mereka.
Benar juga kecemasan orang desa itu. Malamnya, cerita Pak Mukmin, dia bermimpi didatangi sosok raksasa menakutkan. Raksasa itu menunggangi punggungnya. “Tapi saya berhasil melawannya dan raksasa itu lepas dari punggung saya,” katanya. Malam itu juga Pak Mukmin mendatangi sendang sambil membawa lampu petromaks untuk membaca Alquran. “Saya membaca Alquran keras-keras di sendang itu,” ujarnya.
Apa yang terjadi? Tiba-tiba ada suara petir dari sendang diiringi dengan gejolak air. Entah dari mana, lalu muncul seekor makhluk yang mirip paman saya. Makhluk itu menyatakan seluruh anaknya mati karena bacaan ayat Alquran tadi. Ia pun minta saya agar menghentikan bacaan Alquran tersebut. “Paman” juga minta saya agar memerintahkan warga desa untuk memotong ayam putih setiap Selasa Kliwon.
Kata makhluk itu, ayam putih tersebut untuk mendukung keberhasilan panen sawah warga di sekitar sendang. Pak Mukmin tidak langsung percaya begitu saja. Untuk membuktikan kebenaran suara roh penunggu sendang, dia pulang menemui pamannya. Ternyata sang paman sedang tidur nyenyak. Jadi jelas, sosok yang ditemui di sendang tadi bukan pamannya. Malam itu juga Pak Mukmin mengundang warga desa ke mesjid dan memberi tahu agar tidak lagi memberikan sesajen ke sendang.
“Jika ada sesuatu yang terjadi, saya bertanggung jawab,” kata Pak Mukmin. Malam berikutnya, Pak Mukmin mimpi bertemu lagi dengan raksasa penunggu sendang dan ia menyatakan akan pergi, tapi akan minta tumbal. Semula saya cemas. Tapi kemudian setiap malam, saya salat tahajud memohon pertolongan Allah untuk menolak tumbal yang diinginkan raksasa itu. Alhamdulillah, sampai hari ini tidak ada korban, ungkap Pak Mukmin.
Kisah di atas menggambarkan bagaimana “kesaktian” ayat-ayat Alquran untuk mengusir roh penunggu sendang di desa tadi. Sejak saat itu, berkat bacaan Quran, sendang tersebut bersih, aman, dan tidak dikotori dengan sesajen. Pak Mukmin pun makin dihormati masyarakat karena kemampuannya memanfaatkan kekuatan magis ayat Alquran untuk mengusir raksasa yang dijuluki Ki Sangu Banyu itu.
Di kalangan masyarakat Jawa tradisional, efek magis ayat-ayat Alquran jauh lebih dikenal ketimbang efek “petunjuk jalan yang benar” dari ayat-ayat itu. Karena itu, penghormatan terhadap kiai pun tidak hanya berdasarkan pengetahuan agamanya yang luas, tapi juga pada keunggulan karomahnya. Karomah, yang menurut Gilsenan merupakan tindakan atau peristiwa ajaib yang menyertai para wali, hanya bisa muncul pada orang-orang yang saleh, yang rajin salat, dan baca Alquran.
Itulah sebabnya, bagi orang Jawa, Alquran itu suci dan sakti, yang karenanya, tidak boleh ditaruh sembarangan. Bagi orang Jawa, Alquran harus dihormati, baik isinya maupun fisiknya. Sebab dalam Alquran terkandung ayat-ayat yang punya magis dan kekuatan yang luar biasa. Karena itu, melalui media tertentu, ayat-ayat Alquran bisa dipakai untuk obat (medis), obat psikologis (penenteram hati), obat antihama (pestisida), dan obat-obat yang lain.
Pandangan tersebut di kalangan Islam modernis mungkin dianggap salah dan kuno. Namun, itulah cara orang Jawa menghargai Alquran, sedemikian rupa sehingga mereka tidak berani melanggar pesan-pesan Alquran. Bagi orang Jawa, kulminasi hidup dan kesempurnaan hidup akan dicapai jika jiwa raga seseorang telah menyatu dengan Alquran. Nabi Muhammad, kata Siti Aisyah, adalah contoh Alquran yang hidup.
Bagi orang Jawa, Alquran yang hidup itu terlihat dari perilaku para wali dan kiai yang memiliki karomah dan kekuatan magis yang hebat. Kehebatan Wali Songo, bagi orang Jawa, karena kemampuan mistik dan karomahnya yang luar biasa, yang bersumber dari Alquran.
M BAMBANG PRANOWO
Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten
Guru Besar UIN Ciputat
(hyk)