Penegakan hukum sebagai jalan hidup
A
A
A
Penegakan hukum adalah proses yang dilakukan sebagai upaya untuk tegaknya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.
Begitu juga berdasarkan penjelasan UUD 1945 dikatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan. Hal ini tentunya sejalan dengan Pancasila yang merupakan dasar pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis. Seluruh tatanan hidup bernegara yang bertentangan dengan Pancasila tidak berlaku.
Dengan demikian, penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah negara berarti bahwa moral bangsa telah menjadi moral negara. Hal ini berarti bahwa moral Pancasila telah menjadi sumber tertib negara dan sumber tertib hukumnya, serta jiwa seluruh kegiatan negara dalam segala bidang kehidupan. Jelaslah hal ini membawa konsekuensi bahwa negara termasuk di dalamnya lembaga-lembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
Karena itu, setiap tindakan harus berdasarkan hukum yang “bermoral Pancasila”, sehingga konsekuensinya hukum harus menjadi panglima demi terciptanya masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan dan hak yang sama di hadapan hukum. Supremasi hukum harus ditegakkan sebagai otoritas tertinggi, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan untuk semua orang, di mana keadilan tidak memihak pada kepentingan, tetapi keadilan yang benar-benar sesuai dengan hati nurani dan rasa keadilanitu sendiri.
Namun pada kenyataannya, hukum di Indonesia yang bisa kita lihat saat ini merupakan hukum yang karut-marut, karena begitu banyaknya kejadian di sekitar kita ditambah lagi pemberitaan mengenai tindak pidana di media baik elektronik maupun cetak yang menodai rasa keadilan. Banyak sekali kejadian yang menggambarkannya, mulai dari tindak pidana pencurian buah kakao, sandal hingga maling uang rakyat.
Sebenarnya permasalahan hukum di Indonesia disebabkan oleh dua hal yang paling dominan, yaitu inkonsistensi penegakan hukum oleh aparatnya dan intervensi kekuasaan di belakang layar. Inkonsistensi penegakan hukum terus menerus selama puluhan tahun akan berdampak pada sikap masyarakat yang apatis bila mereka tidak tersangkut paut langsung dengan masalah yang terjadi. Namun bilamana mereka sendiri yang tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang mereka akan memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum tersebut.
Oleh sebab itu, penegakan hukum di Indonesia sampai dengan saat ini selalu mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama yang mendapat sorotan dibandingkan dengan bidang hukum lainnya.
Hukum pidana tidak hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyidikan yang dilakukan pihak kepolisian, lalu penuntutan oleh jaksa dan berpuncak pada penjatuhan pidana oleh hakim, selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan.
Semua proses pidana itulah yang paling banyak mendapat sorotan dari masyarakat, karena menyangkut perampasan kemerdekaan seseorang. Kita ketahui bersama betapa banyaknya ketidakadilan hukum di negeri ini yang dipertontonkan oleh aparat penegak hukum, sehingga penegakan hukum yang berkeadilan hanyalah semboyan belaka.
Haruslah disadari oleh seluruh aparat penegak hukum, bahwa penegakan hukum merupakan suatu kegiatan yang tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat, sehingga proses penegakan hukum yang tidak berpihak pada kebenaran secara langsung akan melukai hati masyarakat. Seandainya setiap penegak hukum mampu berperilaku sesuai dengan apa yang mereka yakini sebagai tugas dan panggilannya, maka keadilan dan kebenaran akan tetap tegak di bumi Indonesia.
Selain itu, masyarakat akan tetap menjadikan hukum sebagai suatu tindakan etis dalam berperilaku yang baik dalam berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, penyimpangan hukum dengan melibatkan aparat penegak hukum akan berkurang, dan masyarakat pun tidak akan berani mainmain atau memutar balikan hukum yang ada. Sebaliknya jika penegak hukum sudah kehilangan hati nurani dalam menegakan hukum, maka masyarakat pun akan mencari celah sebagai peluang untuk melakukan pelanggaran hukum dengan melibatkan penegak hukum.
Hukum yang menjadi panglima dalam kehidupan bernegara akan dikesampingkan oleh oknum-oknum penegak hukum. Sumpah jabatan akan terjual pada nafsu pemenuhan kebutuhan kepentingan pribadinya. Institusi tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengontrol dan mengawasi anggotanya, akibatnya legitimasi institusi hanya akan menjadi tunggangan dalam melakukan tindakan pelanggaran hukum.
Institusi tidak lagi memiliki kemampuan untuk memberdayakan para penegak hukumnya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penjamin tegaknya keadilan di tengah-tengah masyarakat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa penegakan hukum di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, bahkan anehnya oknum-oknum tertentu menjadi tidak jera untuk terus melanggar hukum dan secara tidak langsung akan membuat mereka menjadi sangat terlatih untuk menyiasati jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya.
Malah, sebagian besar anggota kini telah terlatih benar bagaimana cara mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukuman, sehingga tidaklah mengherankan jika masyarakat pun begitu banyak yang kita temukan tidak patuh pada hukum.
Sekarang ini hukum hanya tegas kepada mereka yang tidak berdaya. Begitu banyak orang yang dihukum bukan karena kesalahan yang dibuat, sementara mereka yang jelas-jelas bersalah bisa lenggang kangkung, sekali lagi asal punya backing para penguasa, baik petinggi pada tingkat institusi yang sedang memprosesnya, bahkan elite negeri ini pun sering kali berada di baliknya.
Semuanya itu pasti karena adanya stimulus materi walau dengan berbagai macam variasinya. Jadi, sebenarnya para petinggi-petinggi itulah yang telah mengoyak-ngoyak wibawa hukum di negeri kita. Secara terselubung, sebenarnya mereka telah melibatkan diri dengan memanfaatkan amanah yang diberikan rakyatnya dengan menjadi bagian dari mafia hukum itu sendiri.
Wibawa hukum hanya akan dapat dirasakan jika para penegak hukum negeri ini sungguhsungguh mempunyai komitmen yang kuat terhadap kebenaran (takut akan Tuhan), konsisten dan kontinu menegakkanhukum tanpa diskriminatif. Jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penegakan hukum tidak akan dipercaya lagi sebagai benteng terakhir untuk memperjuangkan hak dan keadilan.
Jangan salahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui jalur kekerasan atau terjadi hukum rimba. Dengan demikian, aparat penegak hukum telah berperan menjadi aktor yang merusak tatanan sistem hukum itu sendiri.
Seperti kita ketahui bersama bahwa tujuan akhir penegakan hukum itu adalah untuk mendapatkan keadilan di dalam masyarakat dalam bentuk kepastian, kemanfaatan, dan ketertiban yang harus benarbenar terselenggara secara transparan, akuntabel, dan responsible. Untuk mengatasi hal tersebut, keterbukaan atau transparansi mutlak harus selalu dilakukan, karena dengan demikian akan melahirkan objektivitas yang tinggi, sedangkan akuntabilitas akan berdampak pada kehidupan manusia yang memiliki parameter.
Adapun responsibilitas penting mengingat manusia sebagai makhluk yang bermartabat, pada akhirnya akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan pencipta-Nya. Jika saja setiap penegak hukum mampu berperilaku sesuai dengan apa yang mereka yakini sebagai tugas dan panggilan- Nya, keadilan dan kebenaran akan tetap tegak di bumi Indonesia, sehingga masyarakat akan tetap menjadikan hukum sebagai suatu tindakan etis dalam berperilaku yang baik dalam berbangsa dan bernegara.
Penyimpangan hukum dengan melibatkan aparat penegak hukum pun tidak akan terjadi lagi dan masyarakat tidak akan berani main-main atau memutarbalikkan hukum yang ada. Inilah realita penegakan hukum yang terjadi di negara tercinta kita, bagaikan hukum rimba...”siapa yang kuat dialah yang menang”, sedangkan menjadi penegak hukum itu tidak hanya sekedar mencari jabatan atau lapangan kerja, tetapi justru menjadikan “penegakan hukum sebagai jalan hidup”, karena menjalankan profesi sebagai penegak hukum adalah tugas yang sangat mulia, bukan saja dalam arti fisik, melainkan juga lebih sebagai ibadah.
Sikap seperti inilah yang harus dimiliki oleh para penegak hukum di Indonesia, agar dapat memberikan teladan kepada masyarakatnya dalam mematuhi hukum sebagai bagian dari penegakan keadilan. Semoga supremasi hukum yang menjadi cita-cita luhur penegakan hukum di negeri tercinta ini segera terwujud.
DRS DHARMA PONGREKUN MM MH
Dosen Utama STIK-PTIK
Begitu juga berdasarkan penjelasan UUD 1945 dikatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan. Hal ini tentunya sejalan dengan Pancasila yang merupakan dasar pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis. Seluruh tatanan hidup bernegara yang bertentangan dengan Pancasila tidak berlaku.
Dengan demikian, penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah negara berarti bahwa moral bangsa telah menjadi moral negara. Hal ini berarti bahwa moral Pancasila telah menjadi sumber tertib negara dan sumber tertib hukumnya, serta jiwa seluruh kegiatan negara dalam segala bidang kehidupan. Jelaslah hal ini membawa konsekuensi bahwa negara termasuk di dalamnya lembaga-lembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
Karena itu, setiap tindakan harus berdasarkan hukum yang “bermoral Pancasila”, sehingga konsekuensinya hukum harus menjadi panglima demi terciptanya masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan dan hak yang sama di hadapan hukum. Supremasi hukum harus ditegakkan sebagai otoritas tertinggi, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan untuk semua orang, di mana keadilan tidak memihak pada kepentingan, tetapi keadilan yang benar-benar sesuai dengan hati nurani dan rasa keadilanitu sendiri.
Namun pada kenyataannya, hukum di Indonesia yang bisa kita lihat saat ini merupakan hukum yang karut-marut, karena begitu banyaknya kejadian di sekitar kita ditambah lagi pemberitaan mengenai tindak pidana di media baik elektronik maupun cetak yang menodai rasa keadilan. Banyak sekali kejadian yang menggambarkannya, mulai dari tindak pidana pencurian buah kakao, sandal hingga maling uang rakyat.
Sebenarnya permasalahan hukum di Indonesia disebabkan oleh dua hal yang paling dominan, yaitu inkonsistensi penegakan hukum oleh aparatnya dan intervensi kekuasaan di belakang layar. Inkonsistensi penegakan hukum terus menerus selama puluhan tahun akan berdampak pada sikap masyarakat yang apatis bila mereka tidak tersangkut paut langsung dengan masalah yang terjadi. Namun bilamana mereka sendiri yang tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang mereka akan memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum tersebut.
Oleh sebab itu, penegakan hukum di Indonesia sampai dengan saat ini selalu mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama yang mendapat sorotan dibandingkan dengan bidang hukum lainnya.
Hukum pidana tidak hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyidikan yang dilakukan pihak kepolisian, lalu penuntutan oleh jaksa dan berpuncak pada penjatuhan pidana oleh hakim, selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan.
Semua proses pidana itulah yang paling banyak mendapat sorotan dari masyarakat, karena menyangkut perampasan kemerdekaan seseorang. Kita ketahui bersama betapa banyaknya ketidakadilan hukum di negeri ini yang dipertontonkan oleh aparat penegak hukum, sehingga penegakan hukum yang berkeadilan hanyalah semboyan belaka.
Haruslah disadari oleh seluruh aparat penegak hukum, bahwa penegakan hukum merupakan suatu kegiatan yang tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat, sehingga proses penegakan hukum yang tidak berpihak pada kebenaran secara langsung akan melukai hati masyarakat. Seandainya setiap penegak hukum mampu berperilaku sesuai dengan apa yang mereka yakini sebagai tugas dan panggilannya, maka keadilan dan kebenaran akan tetap tegak di bumi Indonesia.
Selain itu, masyarakat akan tetap menjadikan hukum sebagai suatu tindakan etis dalam berperilaku yang baik dalam berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, penyimpangan hukum dengan melibatkan aparat penegak hukum akan berkurang, dan masyarakat pun tidak akan berani mainmain atau memutar balikan hukum yang ada. Sebaliknya jika penegak hukum sudah kehilangan hati nurani dalam menegakan hukum, maka masyarakat pun akan mencari celah sebagai peluang untuk melakukan pelanggaran hukum dengan melibatkan penegak hukum.
Hukum yang menjadi panglima dalam kehidupan bernegara akan dikesampingkan oleh oknum-oknum penegak hukum. Sumpah jabatan akan terjual pada nafsu pemenuhan kebutuhan kepentingan pribadinya. Institusi tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengontrol dan mengawasi anggotanya, akibatnya legitimasi institusi hanya akan menjadi tunggangan dalam melakukan tindakan pelanggaran hukum.
Institusi tidak lagi memiliki kemampuan untuk memberdayakan para penegak hukumnya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penjamin tegaknya keadilan di tengah-tengah masyarakat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa penegakan hukum di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, bahkan anehnya oknum-oknum tertentu menjadi tidak jera untuk terus melanggar hukum dan secara tidak langsung akan membuat mereka menjadi sangat terlatih untuk menyiasati jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya.
Malah, sebagian besar anggota kini telah terlatih benar bagaimana cara mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukuman, sehingga tidaklah mengherankan jika masyarakat pun begitu banyak yang kita temukan tidak patuh pada hukum.
Sekarang ini hukum hanya tegas kepada mereka yang tidak berdaya. Begitu banyak orang yang dihukum bukan karena kesalahan yang dibuat, sementara mereka yang jelas-jelas bersalah bisa lenggang kangkung, sekali lagi asal punya backing para penguasa, baik petinggi pada tingkat institusi yang sedang memprosesnya, bahkan elite negeri ini pun sering kali berada di baliknya.
Semuanya itu pasti karena adanya stimulus materi walau dengan berbagai macam variasinya. Jadi, sebenarnya para petinggi-petinggi itulah yang telah mengoyak-ngoyak wibawa hukum di negeri kita. Secara terselubung, sebenarnya mereka telah melibatkan diri dengan memanfaatkan amanah yang diberikan rakyatnya dengan menjadi bagian dari mafia hukum itu sendiri.
Wibawa hukum hanya akan dapat dirasakan jika para penegak hukum negeri ini sungguhsungguh mempunyai komitmen yang kuat terhadap kebenaran (takut akan Tuhan), konsisten dan kontinu menegakkanhukum tanpa diskriminatif. Jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penegakan hukum tidak akan dipercaya lagi sebagai benteng terakhir untuk memperjuangkan hak dan keadilan.
Jangan salahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui jalur kekerasan atau terjadi hukum rimba. Dengan demikian, aparat penegak hukum telah berperan menjadi aktor yang merusak tatanan sistem hukum itu sendiri.
Seperti kita ketahui bersama bahwa tujuan akhir penegakan hukum itu adalah untuk mendapatkan keadilan di dalam masyarakat dalam bentuk kepastian, kemanfaatan, dan ketertiban yang harus benarbenar terselenggara secara transparan, akuntabel, dan responsible. Untuk mengatasi hal tersebut, keterbukaan atau transparansi mutlak harus selalu dilakukan, karena dengan demikian akan melahirkan objektivitas yang tinggi, sedangkan akuntabilitas akan berdampak pada kehidupan manusia yang memiliki parameter.
Adapun responsibilitas penting mengingat manusia sebagai makhluk yang bermartabat, pada akhirnya akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan pencipta-Nya. Jika saja setiap penegak hukum mampu berperilaku sesuai dengan apa yang mereka yakini sebagai tugas dan panggilan- Nya, keadilan dan kebenaran akan tetap tegak di bumi Indonesia, sehingga masyarakat akan tetap menjadikan hukum sebagai suatu tindakan etis dalam berperilaku yang baik dalam berbangsa dan bernegara.
Penyimpangan hukum dengan melibatkan aparat penegak hukum pun tidak akan terjadi lagi dan masyarakat tidak akan berani main-main atau memutarbalikkan hukum yang ada. Inilah realita penegakan hukum yang terjadi di negara tercinta kita, bagaikan hukum rimba...”siapa yang kuat dialah yang menang”, sedangkan menjadi penegak hukum itu tidak hanya sekedar mencari jabatan atau lapangan kerja, tetapi justru menjadikan “penegakan hukum sebagai jalan hidup”, karena menjalankan profesi sebagai penegak hukum adalah tugas yang sangat mulia, bukan saja dalam arti fisik, melainkan juga lebih sebagai ibadah.
Sikap seperti inilah yang harus dimiliki oleh para penegak hukum di Indonesia, agar dapat memberikan teladan kepada masyarakatnya dalam mematuhi hukum sebagai bagian dari penegakan keadilan. Semoga supremasi hukum yang menjadi cita-cita luhur penegakan hukum di negeri tercinta ini segera terwujud.
DRS DHARMA PONGREKUN MM MH
Dosen Utama STIK-PTIK
(nfl)