Kisruh data terulang lagi
A
A
A
Indonesia adalah negara besar. Semua negara mengakui itu. Besar wilayahnya, besar penduduknya (nomor 4 terbesar di dunia dengan jumlah 230 juta), berlimpah kekayaan alamnya, dan telah melahirkan tokoh-tokoh besar yang peran dan kontribusinya pada perkembangan dunia tidak bisa disepelekan.
Namun, Indonesia juga memiliki problem besar dan pekerjaan rumah besar yang hingga kini belum selesai. Tanpa menyepelekan problem-problem besar lain, salah satu yang paling membuat kita jengah adalah masalah pengelolaan data. Sejak reformasi bergulir, masalah data hampir selalu menjadi sumber keributan ketika negara ini sedang menggelar berbagai perhelatan besar seperti pemilu, pembagian bantuan langsung tunai baik BLT maupun BLSM, sensus penduduk, sensus ekonomi, pembuatan e-KTP, dan hampir semua hal yang memerlukan data.
Contoh termutakhir adalah kekacauan penyaluran BLSM di sejumlah daerah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi. Banyak masyarakat miskin dan tidak mampu yang seharusnya pantas menerima ternyata tidak masuk daftar. Tidak sedikit pula nama-nama penduduk yang sudah meninggal dunia ataupun pindah domisili yang masuk daftar penerima BLSM. Bahkan, ada golongan masyarakat mampu justru masuk prioritas penerima BLSM. Jadi, harapan subsidi BBM yang banyak dinikmati orang kaya bisa dialihkan untuk orang miskin nyatanya tinggal harapan.
Kekhawatiran sejumlah pihak sebelum pemerintah memutuskan kenaikan BBM bersubsidi pun terbukti. Kekacauan pembagian BLSM di sejumlah daerah menunjukkan hal itu. Ada kesan pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah tidak siap dan sigap dalam menyiapkan program BLSM ini. Tidak ada verifikasi data yang valid sehingga banyak terjadi kesalahan. Ketidakvalidan data penerima BLSM ini berpotensi besar menimbulkan keributan dan kekacauan di masyarakat.
Terlebih jika ada kepentingan-kepentingan politik yang terus memanaskan situasi. Keributan massal akan sulit dihindarkan. Pertanyaan kita adalah mengapa kasus seperti ini terus berulang? Dulu di BLT kasus seperti ini juga mengemuka. Lagi-lagi kita bertanya apa yang terjadi dengan manajemen data kita. Bukankah sudah ada lembaga khusus, kementerian terkait yang ditugasi untuk mengelola data kependudukan dengan berbagai variabelnya? Apakah sistem pengelolaan data penduduk kita keliru ataukah aparat dan pejabatnya yang tidak mampu.
Apakah ada kesengajaan untuk menyesatkan data itu dengan tujuan tertentu ataukah ada sebab lain? Pemerintah harus bertanggung jawab akan masalah ini. Uang rakyat triliunan rupiah telah digelontorkan untuk keperluan sensus penduduk, sensus ekonomi, pembuatan e-KTP, pemutakhiran data, dan sebagainya secara rutin. Lalu apa hasilnya? Jika bentuknya hanya semacam laporan angka-angka yang dibuat hanya untuk memuaskan beberapa pihak, pasti biaya besar itu mubazir.
Di lapangan, kisruh data selalu berulang dan berulang. Kita ingat menjelang Pemilu 2009 digelar. Tensi politik nasional memanas gara-gara kisruh soal daftar pemilih tetap (DPT). Lagi-lagi data yang menjadi sumber keributan, hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan warga yang memiliki KTP boleh mencoblos meskipun tidak masuk DPT. Akankah Pemilu 2014 akan menghadapi masalah yang sama, kisruh DPT lagi? Kalau itu terulang kembali alangkah mendasarnya problem bangsa yang harus kita hadapi.
Pembuatan e-KTP adalah megaproyek yang digadang-gadang bisa menjawab problem dasar tentang data kependudukan yang superpenting itu. Tapi mengapa untuk BLSM masih perlu kartu baru lagi. Bukankah ini pemborosan anggaran? Bukankah e-KTP yang katanya canggih itu sudah bisa merekam semua data-data penting penduduk yang bersangkutan? Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan sangat lemah, minim koordinasi, dan tidak sistemik. Pasti akan banyak penyelewengan dan kebocoran dalam situasi itu. Pasti rakyat lagi yang menjadi korban.
Namun, Indonesia juga memiliki problem besar dan pekerjaan rumah besar yang hingga kini belum selesai. Tanpa menyepelekan problem-problem besar lain, salah satu yang paling membuat kita jengah adalah masalah pengelolaan data. Sejak reformasi bergulir, masalah data hampir selalu menjadi sumber keributan ketika negara ini sedang menggelar berbagai perhelatan besar seperti pemilu, pembagian bantuan langsung tunai baik BLT maupun BLSM, sensus penduduk, sensus ekonomi, pembuatan e-KTP, dan hampir semua hal yang memerlukan data.
Contoh termutakhir adalah kekacauan penyaluran BLSM di sejumlah daerah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi. Banyak masyarakat miskin dan tidak mampu yang seharusnya pantas menerima ternyata tidak masuk daftar. Tidak sedikit pula nama-nama penduduk yang sudah meninggal dunia ataupun pindah domisili yang masuk daftar penerima BLSM. Bahkan, ada golongan masyarakat mampu justru masuk prioritas penerima BLSM. Jadi, harapan subsidi BBM yang banyak dinikmati orang kaya bisa dialihkan untuk orang miskin nyatanya tinggal harapan.
Kekhawatiran sejumlah pihak sebelum pemerintah memutuskan kenaikan BBM bersubsidi pun terbukti. Kekacauan pembagian BLSM di sejumlah daerah menunjukkan hal itu. Ada kesan pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah tidak siap dan sigap dalam menyiapkan program BLSM ini. Tidak ada verifikasi data yang valid sehingga banyak terjadi kesalahan. Ketidakvalidan data penerima BLSM ini berpotensi besar menimbulkan keributan dan kekacauan di masyarakat.
Terlebih jika ada kepentingan-kepentingan politik yang terus memanaskan situasi. Keributan massal akan sulit dihindarkan. Pertanyaan kita adalah mengapa kasus seperti ini terus berulang? Dulu di BLT kasus seperti ini juga mengemuka. Lagi-lagi kita bertanya apa yang terjadi dengan manajemen data kita. Bukankah sudah ada lembaga khusus, kementerian terkait yang ditugasi untuk mengelola data kependudukan dengan berbagai variabelnya? Apakah sistem pengelolaan data penduduk kita keliru ataukah aparat dan pejabatnya yang tidak mampu.
Apakah ada kesengajaan untuk menyesatkan data itu dengan tujuan tertentu ataukah ada sebab lain? Pemerintah harus bertanggung jawab akan masalah ini. Uang rakyat triliunan rupiah telah digelontorkan untuk keperluan sensus penduduk, sensus ekonomi, pembuatan e-KTP, pemutakhiran data, dan sebagainya secara rutin. Lalu apa hasilnya? Jika bentuknya hanya semacam laporan angka-angka yang dibuat hanya untuk memuaskan beberapa pihak, pasti biaya besar itu mubazir.
Di lapangan, kisruh data selalu berulang dan berulang. Kita ingat menjelang Pemilu 2009 digelar. Tensi politik nasional memanas gara-gara kisruh soal daftar pemilih tetap (DPT). Lagi-lagi data yang menjadi sumber keributan, hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan warga yang memiliki KTP boleh mencoblos meskipun tidak masuk DPT. Akankah Pemilu 2014 akan menghadapi masalah yang sama, kisruh DPT lagi? Kalau itu terulang kembali alangkah mendasarnya problem bangsa yang harus kita hadapi.
Pembuatan e-KTP adalah megaproyek yang digadang-gadang bisa menjawab problem dasar tentang data kependudukan yang superpenting itu. Tapi mengapa untuk BLSM masih perlu kartu baru lagi. Bukankah ini pemborosan anggaran? Bukankah e-KTP yang katanya canggih itu sudah bisa merekam semua data-data penting penduduk yang bersangkutan? Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan sangat lemah, minim koordinasi, dan tidak sistemik. Pasti akan banyak penyelewengan dan kebocoran dalam situasi itu. Pasti rakyat lagi yang menjadi korban.
(hyk)