Capres 2014 harus mampu perbaiki kualitas demokrasi
A
A
A
Sindonews.com - Tokoh yang akan dicalonkan sebagai Presiden 2014 tak perlu dibedakan latar belakangnya. Entah itu berlatar belakang dari sipil, polisi maupun militer , yang terpenting mampu mewujudkan demokrasi lebih baik.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Syaifullah Tamliha mengatakan, tidak perlu dibedakan antara tokoh berlatar belakang militer atau sipil untuk dicapreskan.
"Yang penting figur itu mewujudkan demokrasi lebih baik," ujar Syaifullah saat dihubungi Sindonews, jumat(28/6/2013).
Anggota Komisi I DPR RI ini menegaskan baik militer, polisi atau sipil hanya persoalan sumber kader, di tengah kehidupan demokrasi yang semakin matang tidak perlu lagi mengelompokkan tokoh, terpenting selain bisa memperbaiki kehidupan demokrasi juga memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.
"Meliter, akademsi atau politisi itu hanya sumber kader, tapi harus mempunyai kadar kemampuan dalam memimpin, atau integritasnya tidak diragukan lagi," imbuhnya.
Menurut Syaifullah, pasangan presiden dan wakil presiden idealnya dari militer dan sipil, sehingga akan saling melengkapi dalam menjalankan roda pemerintahan.
"Konsep Dwi Tunggal harus dihidupkan kembali, jadi wakil presiden tidak hanya menuggu presiden berhalangan, sehingga saling melengkapi, idealnya begitu," tukas mantan aktivis PMII ini.
Seperti diketahui, Indonesia Research Centre (IRC) merilis sebanyak 28,8 persen masyarakat lebih memilih calon Presiden yang memiliki latar belakang militer dan polisi.
Sedangkan untuk kalangan intelektual, akademisi, guru, dan dosen hanya diminati oleh sekitar 17,2 persen masyarakat.
Survei dilakukan menggunakan metode penarikan sample multistage random sampling, dengan jumlah responden sebanyak 1800 orang dan margin of error (MoE) 2,3 persen, pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Selain itu, kejenuhan masyarakat terhadap politikus terlihat jelas dari hasil survei. Hanya sekitar 13,9 persen masyarakat yang memilih kalangan politikus untuk menjadi Presiden.
Selanjutnya, pengusaha berada di angka 12,9 persen, pejabat sipil atau birokrat sebesar 10,4 persen, tokoh agama 6,3 persen dan sisanya sebesar 5,0 persen tidak memberikan jawaban.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Syaifullah Tamliha mengatakan, tidak perlu dibedakan antara tokoh berlatar belakang militer atau sipil untuk dicapreskan.
"Yang penting figur itu mewujudkan demokrasi lebih baik," ujar Syaifullah saat dihubungi Sindonews, jumat(28/6/2013).
Anggota Komisi I DPR RI ini menegaskan baik militer, polisi atau sipil hanya persoalan sumber kader, di tengah kehidupan demokrasi yang semakin matang tidak perlu lagi mengelompokkan tokoh, terpenting selain bisa memperbaiki kehidupan demokrasi juga memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.
"Meliter, akademsi atau politisi itu hanya sumber kader, tapi harus mempunyai kadar kemampuan dalam memimpin, atau integritasnya tidak diragukan lagi," imbuhnya.
Menurut Syaifullah, pasangan presiden dan wakil presiden idealnya dari militer dan sipil, sehingga akan saling melengkapi dalam menjalankan roda pemerintahan.
"Konsep Dwi Tunggal harus dihidupkan kembali, jadi wakil presiden tidak hanya menuggu presiden berhalangan, sehingga saling melengkapi, idealnya begitu," tukas mantan aktivis PMII ini.
Seperti diketahui, Indonesia Research Centre (IRC) merilis sebanyak 28,8 persen masyarakat lebih memilih calon Presiden yang memiliki latar belakang militer dan polisi.
Sedangkan untuk kalangan intelektual, akademisi, guru, dan dosen hanya diminati oleh sekitar 17,2 persen masyarakat.
Survei dilakukan menggunakan metode penarikan sample multistage random sampling, dengan jumlah responden sebanyak 1800 orang dan margin of error (MoE) 2,3 persen, pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Selain itu, kejenuhan masyarakat terhadap politikus terlihat jelas dari hasil survei. Hanya sekitar 13,9 persen masyarakat yang memilih kalangan politikus untuk menjadi Presiden.
Selanjutnya, pengusaha berada di angka 12,9 persen, pejabat sipil atau birokrat sebesar 10,4 persen, tokoh agama 6,3 persen dan sisanya sebesar 5,0 persen tidak memberikan jawaban.
(lns)