Mengevaluasi program deradikalisasi
A
A
A
Setelah sejumlah penyergapan dan penangkapan terduga teroris di Jawa Barat dan Jawa Tengah, aksi bom bunuh diri di Mapolres Poso, Sulawesi Tengah, menjadi penegas bahwa keberadaan jaringan terorisme di Indonesia masih kuat dan tetap menjalankan aksi terornya.
Pasca kematian Dr Azahari dan Noordin M Top serta penangkapan Ustaz Abubakar Baasyir, aktivitas terorisme di Indonesia tidak serta-merta menghilang dan redup. Bahkan pasca tewasnya Osama bin Laden sekalipun, aktivitas terorisme hanya terinterupsi sesaat, tetapi kemudian terjadi diaspora semu yang membangun sel dan jaringan baru yang lebih radikal dan sulit dideteksi.
Salah satu kesulitan pendeteksian tersebut adalah karena gerakan terorisme di Indonesia telah berkembang dengan banyak motif dan alasan, tidak sekadar alasan agama dan kesewenang-wenangan Barat sebagaimana gerakan terorisme pasca-911. Masih maraknya aksi terorisme di Indonesia disinyalir karena belum sinergisnya kepentingan negara yang menginginkan agar organisasi terorisme di Indonesia dibasmi hingga akarnya dengan harapan publik yang belum sepenuhnya memahami esensi kepentingan negara untuk memberantas terorisme di Indonesia.
Sebagian kecil publik merasa bahwa kebijakan negara untuk memberantas terorisme dilatarbelakangi agenda global untuk memerangi terorisme. Publik juga memahami bahwa agenda global memerangi terorisme itu secara tersurat memosisikan pegiat agama tertentu sebagai target dari pemberantasan terorisme. Tak mengherankan apabila agenda dan program pemberantasan terorisme banyak diinisiasi pemerintah daripada inisiatif publik secara luas.
Program deradikalisasi yang digagas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dianggap banyak pihak belum mampu mengurangi aksi teror dan pergerakan kelompok terorisme. Program yang digagas 10 tahun lalu melalui Detasemen Khusus 88 Antiteror (AT) dan kemudian dikelola BNPT saat lembaga tersebut didirikan 2010 lalu dinilai tidak memiliki orientasi yang jelas. Indikasi yang menguatkan adalah aksi terorisme terus melakukan regenerasi dan cenderung memiliki banyak motif.
Ada lima alasan mengapa program deradikalisasi tersebut belum mampu menghentikan aksi teror dan penyebaran gerakan terorisme di Indonesia. Pertama, program deradikalisasi memiliki asumsi bahwa program ini ditujukan hanya kepada pelaku teror dan keluarganya serta jaringannya.
Padahal paham yang dibangun lebih mengarah pada pembangunan kebencian atas praktikpraktik negara dalam pemberantasan terorisme di Indonesia yang dianggap sebagai kepanjangan tangan dari Barat semata. Artinya dengan hanya menyasar para pelaku teror dan jaringannya, program tersebut membatasi pengungkapan menguatnya paham radikal dan terorisme di Indonesia.
Kedua, program ini dikelola secara elitis dan tidak sepenuhnya diaplikasikan dalam media dan sasaran yang lebih luas. Keelitisan dari program ini salah satunya lebih memanfaatkan para mantan pelaku teror yang telah “tobat”, kemudian memilih jalan beriringan dengan aparat keamanan dalam pemberantasan terorisme.
Bruce Hoffman (2004) telah mengingatkan banyak pihak bahwa memanfaatkan para mantan teroris dalam pemberantasan terorisme haruslah bersifat sementara, bukan permanen. Hoffman mensinyalir bahwa memanfaatkan para mantan teroris secara permanen adalah bentuk kemalasan dari aparat keamanan untuk memperluas cakrawala pembongkaran jaringan terorisme. Tak mengherankan apabila kemudian setelah lebih dari satu dekade, gerakan terorisme di Indonesia secara faktual masih kuat.
Ketiga, karena dikelola secara elitis, program deradikalisasi tidak mengikutsertakan secara aktif pemangku kepentingan lain. Justru yang terjadi, bentuk keterlibatan pemangku kepentingan hanya menjadi subordinasi dari program tersebut. Kondisi ini awalnya dimaklumi saat Densus 88 AT yang mengelolanya, secara organisasi lebih berkarakter sebagai kombatan.
Namun setelah tiga tahun dikelola BNPT, harusnya program ini mengikutsertakan secara aktif Kementerian Dalam Negeri yang merupakan atasan dari pemerintah daerah (pemda) serta pemangku kepentingan lain, misalnya TNI dan BIN. Betul para pemangku kepentingan tersebut dilibatkan dalam program deradikalisasi, tetapi seberapa dalam keikutsertaan para pemangku kepentingan tersebut? Dalam pengamatan penulis, keterlibatan para pemangku kepentingan tidak lebih sebagai acara seremonial semata.
Keempat, program deradikalisasi tidak serta-merta memanfaatkan apa yang telah dilakukan institusi lain semisal Polri dengan Babinkamtibmas dan perpolisian masyarakat ataupun TNI dengan Babinsanya serta pemda dengan jaringan tokoh masyarakatnya. Seolah-olah program tersebut cukup dapat dijalankan dengan dasar informasi dan jaringan para mantan teroris tersebut. Tak aneh apabila keberadaan program tersebut justru seolah jalan sendiri karena institusi yang telah memiliki jaringan luas di masyarakat tidak dimanfaatkan secara optimal.
Kelima, program deradikalisasi juga minim partisipasi publik. Ada ambiguitas dalam implementasi program ini, antara keinginan melibatkan publik secara luas dengan program penyamaran dan pengintaian terduga jaringan terorisme. Karena ambiguitas tersebut, secara praktis publik hampir tidak dilibatkan secara aktif. Bahkan ada ketakutan bahwa program deradikalisasi yang dilakukan justru akan membongkar penyamaran dan pengintaian yang tengah dilakukan.
Tak mengherankan apabila kemudian program tersebut membatasi sasaran hanya pada kelompok atau institusi yang telah dipetakan memiliki kemungkinan untuk mengaplikasikan paham radikal dan terorisme. Dari lima alasan tersebut, perlu kiranya BNPT dan Polri yang menjadi atasan Densus 88 AT meninjau kembali pelaksanaan program deradikalisasi.
Hal ini penting dilakukan mengingat aksi teror dan gerakan radikalisme tersebut telah bergeser sasarannya pada objek vital negara, khususnya kantor kepolisian. Dalam konteks yang lebih strategis, program deradikalisasi harus juga dianggap sebagai bagian dari penguatan partisipasi publik dan pemangku kepentingan yang lain.
Tanpa pelibatan publik dan pemangku kepentingan lain, upaya pemberantasan terorisme di Indonesia melalui program deradikalisasi hanya menjadi formalitas atas respons dari ancaman teror dan gerakan radikal semata.
Muradi
Dosen Sarjana dan Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dan Penulis Buku Densus 88 AT: Konflik, Teror, dan Politik
Pasca kematian Dr Azahari dan Noordin M Top serta penangkapan Ustaz Abubakar Baasyir, aktivitas terorisme di Indonesia tidak serta-merta menghilang dan redup. Bahkan pasca tewasnya Osama bin Laden sekalipun, aktivitas terorisme hanya terinterupsi sesaat, tetapi kemudian terjadi diaspora semu yang membangun sel dan jaringan baru yang lebih radikal dan sulit dideteksi.
Salah satu kesulitan pendeteksian tersebut adalah karena gerakan terorisme di Indonesia telah berkembang dengan banyak motif dan alasan, tidak sekadar alasan agama dan kesewenang-wenangan Barat sebagaimana gerakan terorisme pasca-911. Masih maraknya aksi terorisme di Indonesia disinyalir karena belum sinergisnya kepentingan negara yang menginginkan agar organisasi terorisme di Indonesia dibasmi hingga akarnya dengan harapan publik yang belum sepenuhnya memahami esensi kepentingan negara untuk memberantas terorisme di Indonesia.
Sebagian kecil publik merasa bahwa kebijakan negara untuk memberantas terorisme dilatarbelakangi agenda global untuk memerangi terorisme. Publik juga memahami bahwa agenda global memerangi terorisme itu secara tersurat memosisikan pegiat agama tertentu sebagai target dari pemberantasan terorisme. Tak mengherankan apabila agenda dan program pemberantasan terorisme banyak diinisiasi pemerintah daripada inisiatif publik secara luas.
Program deradikalisasi yang digagas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dianggap banyak pihak belum mampu mengurangi aksi teror dan pergerakan kelompok terorisme. Program yang digagas 10 tahun lalu melalui Detasemen Khusus 88 Antiteror (AT) dan kemudian dikelola BNPT saat lembaga tersebut didirikan 2010 lalu dinilai tidak memiliki orientasi yang jelas. Indikasi yang menguatkan adalah aksi terorisme terus melakukan regenerasi dan cenderung memiliki banyak motif.
Ada lima alasan mengapa program deradikalisasi tersebut belum mampu menghentikan aksi teror dan penyebaran gerakan terorisme di Indonesia. Pertama, program deradikalisasi memiliki asumsi bahwa program ini ditujukan hanya kepada pelaku teror dan keluarganya serta jaringannya.
Padahal paham yang dibangun lebih mengarah pada pembangunan kebencian atas praktikpraktik negara dalam pemberantasan terorisme di Indonesia yang dianggap sebagai kepanjangan tangan dari Barat semata. Artinya dengan hanya menyasar para pelaku teror dan jaringannya, program tersebut membatasi pengungkapan menguatnya paham radikal dan terorisme di Indonesia.
Kedua, program ini dikelola secara elitis dan tidak sepenuhnya diaplikasikan dalam media dan sasaran yang lebih luas. Keelitisan dari program ini salah satunya lebih memanfaatkan para mantan pelaku teror yang telah “tobat”, kemudian memilih jalan beriringan dengan aparat keamanan dalam pemberantasan terorisme.
Bruce Hoffman (2004) telah mengingatkan banyak pihak bahwa memanfaatkan para mantan teroris dalam pemberantasan terorisme haruslah bersifat sementara, bukan permanen. Hoffman mensinyalir bahwa memanfaatkan para mantan teroris secara permanen adalah bentuk kemalasan dari aparat keamanan untuk memperluas cakrawala pembongkaran jaringan terorisme. Tak mengherankan apabila kemudian setelah lebih dari satu dekade, gerakan terorisme di Indonesia secara faktual masih kuat.
Ketiga, karena dikelola secara elitis, program deradikalisasi tidak mengikutsertakan secara aktif pemangku kepentingan lain. Justru yang terjadi, bentuk keterlibatan pemangku kepentingan hanya menjadi subordinasi dari program tersebut. Kondisi ini awalnya dimaklumi saat Densus 88 AT yang mengelolanya, secara organisasi lebih berkarakter sebagai kombatan.
Namun setelah tiga tahun dikelola BNPT, harusnya program ini mengikutsertakan secara aktif Kementerian Dalam Negeri yang merupakan atasan dari pemerintah daerah (pemda) serta pemangku kepentingan lain, misalnya TNI dan BIN. Betul para pemangku kepentingan tersebut dilibatkan dalam program deradikalisasi, tetapi seberapa dalam keikutsertaan para pemangku kepentingan tersebut? Dalam pengamatan penulis, keterlibatan para pemangku kepentingan tidak lebih sebagai acara seremonial semata.
Keempat, program deradikalisasi tidak serta-merta memanfaatkan apa yang telah dilakukan institusi lain semisal Polri dengan Babinkamtibmas dan perpolisian masyarakat ataupun TNI dengan Babinsanya serta pemda dengan jaringan tokoh masyarakatnya. Seolah-olah program tersebut cukup dapat dijalankan dengan dasar informasi dan jaringan para mantan teroris tersebut. Tak aneh apabila keberadaan program tersebut justru seolah jalan sendiri karena institusi yang telah memiliki jaringan luas di masyarakat tidak dimanfaatkan secara optimal.
Kelima, program deradikalisasi juga minim partisipasi publik. Ada ambiguitas dalam implementasi program ini, antara keinginan melibatkan publik secara luas dengan program penyamaran dan pengintaian terduga jaringan terorisme. Karena ambiguitas tersebut, secara praktis publik hampir tidak dilibatkan secara aktif. Bahkan ada ketakutan bahwa program deradikalisasi yang dilakukan justru akan membongkar penyamaran dan pengintaian yang tengah dilakukan.
Tak mengherankan apabila kemudian program tersebut membatasi sasaran hanya pada kelompok atau institusi yang telah dipetakan memiliki kemungkinan untuk mengaplikasikan paham radikal dan terorisme. Dari lima alasan tersebut, perlu kiranya BNPT dan Polri yang menjadi atasan Densus 88 AT meninjau kembali pelaksanaan program deradikalisasi.
Hal ini penting dilakukan mengingat aksi teror dan gerakan radikalisme tersebut telah bergeser sasarannya pada objek vital negara, khususnya kantor kepolisian. Dalam konteks yang lebih strategis, program deradikalisasi harus juga dianggap sebagai bagian dari penguatan partisipasi publik dan pemangku kepentingan yang lain.
Tanpa pelibatan publik dan pemangku kepentingan lain, upaya pemberantasan terorisme di Indonesia melalui program deradikalisasi hanya menjadi formalitas atas respons dari ancaman teror dan gerakan radikal semata.
Muradi
Dosen Sarjana dan Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dan Penulis Buku Densus 88 AT: Konflik, Teror, dan Politik
(hyk)