Harga BBM dan orang miskin
A
A
A
Tinggal menghitung hari, barangkali itulah kata yang tepat terhadap kenaikan harga BBM. Sebagaimana sering disampaikan menko perekonomian dan menteri keuangan, pada minggu ketiga bulan ini, pemerintah akan menaikkan harga BBM dari Rp4.500 menjadi Rp6.500 per liter untuk premium dan dari Rp4.500 menjadi Rp5.500 per liter untuk solar.
Rencana kenaikan harga BBM ini sebenarnya sudah sangat lama, terkesan kalau pemerintah terlalu berhati-hati dalam mengambil keputusan. Padahal, sebagaimana diberitakan KORAN SINDO, Senin 10 Juni 2013, beban fiskal pemerintah sudah sangat berat di mana realisasi belanja subsidi energi hingga Mei 2013 sudah mencapai Rp94,9 triliun dengan subsidi BBM sebesar Rp61,3 triliun. Kondisi ini memaksa pemerintah untuk mengoreksi besaran rencana subsidi BBM yang pada APBN 2013 direncanakan sebesar Rp193,8 triliun menjadi Rp209,9 triliun pada APBN-P 2013. Subsidi BBM yang sangat besar itu tentu menyulitkan APBN, dan karena itu sebenarnya kenaikan harga BBM tidak boleh ditunda lagi.
Dampak Negatif Subsidi BBM
Di samping mengganggu beban fiskal, subsidi BBM yang relatif besar juga telah menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian, seperti menciptakan disinsentif bagi perkembangan produksi energi terbarukan, meningkatkan defisit neraca perdagangan sebagai akibat tekanan neraca migas, meningkatkan praktik penyeludupan BBM ke negara tetangga yang memiliki harga BBM jauh lebih tinggi, dan mendorong masyarakat melakukan alih konsumsi yang menyebabkan volume BBM bersubsidi terus meningkat sehingga menyebabkan inefisiensi BBM bersubsidi, mempersempit ruang gerak fiskal (fiscal space) yang semestinya dapat dialokasikan untuk belanja modal maupun bantuan sosial, serta memperburuk kualitas belanja.
Dalam APBN 2013, alokasi subsidi BBM bahkan menghabiskan hampir 12% belanja negara, lebih besar dibandingkan alokasi belanja infrastruktur perhubungan, perumahan, irigasi, dan energi yang hanya mencapai 9,37% dari keseluruhan belanja negara. Postur APBN yang demikian tentu saja mempersulit pemerintah mewujudkan target pertumbuhan ekonomi (6,8%) sesuai asumsi makro APBN 2013.
Dampak negatif lain yang paling mengkhawatirkan dari besarnya subsidi BBM tersebut, adalah fakta bahwa subsidi BBM ternyata tidak tepat sasaran karena sebagian besar justru dinikmati oleh kelompok masyarakat nonmiskin. Hasil pengolahan data Susenas 2012 yang dipublikasikan Bank Dunia menunjukkan 25% penduduk berpenghasilan terendah ternyata hanya menikmati sekitar 15% subsidi BBM, sebaliknya 25% penduduk berpenghasilan tertinggi justru menikmati sekitar 77%.
Potret nyata kebijakan anggaran yang sangat tidak adil bagi penduduk miskin. Tidak heran jika distribusi pendapatan kita terus memburuk, di mana tahun 2012 sekitar 40% penduduk dengan pendapatan terendah hanya menerima kurang dari 17% pendapatan nasional dan besaran Indeks Gini yang sudah melebihi 0,4.
Selamatkan Orang Miskin
Jika kenaikan harga BBM betul-betul dilakukan pemerintah, sebenarnya bukan berarti pemerintah tidak lagi memberikan subsidi BBM, tetapi hanya sekadar mengurangi besaran subsidinya. Karena rencana harga premium sebesar Rp6.500 per liter tetap masih jauh di bawah harga keekonomian, sebagaimana tampak dari harga premium di berbagai negara.
Sebagai perbandingan, per Maret 2013 harga premium di Australia sebesar Rp14.964, Pakistan Rp9.989, Vietnam Rp11.261, Korea Rp17.400, Jepang Rp16.114, India Rp12.202, China Rp11.461, Thailand Rp15.205, Filipina Rp12.923, dan Singapura Rp16.612. Akan tetapi, meskipun harga BBM Indonesia pasca kenaikan masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, kecuali dengan Malaysia (per Maret 2013 harga premium per liter sebesar Rp5.939 ) , kenaikan harga ini tetap membawa dampak negatif yang perlu diantisipasi.
Kenaikan harga BBM akan mendorong peningkatan laju inflasi kelompok pengeluaran transportasi sebagai pengguna BBM bersubsidi. Dengan kenaikan BBM premium sebesar Rp2.000 dan BBM solar sebesar Rp1.000, pemerintah memperkirakan tingkat inflasi akan mencapai 7,2%. Di beberapa daerah dengan ketersediaan infrastruktur sangat tertinggal seperti di sebagian besar kawasan timur Indonesia, tingkat inflasinya tentu akan lebih tinggi lagi.
Kenaikan tarif angkutan secara tidak langsung akan mendorong kenaikan ongkos angkut komoditas bahan pangan, sehingga berdampak terhadap harga komoditas bahan pangan. Pengalaman pada saat kenaikan harga BBM pada Maret dan Oktober 2005 serta Mei 2008 membuktikan hal itu. Kenaikan harga komoditas bahan pangan berimplikasi pada dua hal. Pertama akan meningkatkan garis kemiskinan yang secara langsung menyebabkan bertambahnya jumlah orang miskin, dan kedua akan menurunkan daya beli masyarakat yang menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Kedua implikasi ini paling terasa pada kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin. Oleh karena itu, penghematan anggaran akibat pengurangan subsidi BBM yang besarnya diperkirakan sekitar Rp42 triliun harus dioptimalkan untuk menyelamatkan kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin tersebut. Untuk itu, dalam waktu sangat pendek, pemerintah perlu menjalankan program cepat tapi akurat dengan delapan fokus utama untuk. Pertama, menjaga daya beli masyarakat miskin dan hampir miskin dengan memberikan kompensasi berupa dana cash.
Kedua, menjamin ketersediaan komoditas bahan pangan, khususnya beras dan hortikultura antara lain dengan meningkatkan alokasi beras miskin. Ketiga, menahan laju kenaikan biaya transportasi dengan memberikan subsidi biaya transportasi secara selektif, terutama bagi angkutan yang terkait dengan bahan pangan. Keempat, menjaga stabilitas harga komoditas pangan, dengan menggerakkan dan mengordinasikan secara sistematis keterlibatan pemerintah daerah, BUMD, BUMN, dan perusahaan swasta dalam operasi pasar Kelima, menjamin kelancaran arus distribusi terutama di daerah tertinggal yang sulit terjangkau, dengan mempercepat perbaikan dan atau penyediaan sarana-prasarana transportasi.
Keenam, memudahkan distribusi bahan pangan dan menjaga ketersediaannya, melalui penyederhanaan peraturan dan perizinan, termasuk bahan pangan yang bersumber dari luar negeri. Ketujuh, meningkatkan program padat karya untuk menampung angkatan kerja yang belum bekerja, yang bekerja tidak penuh waktu, dan yang rentan terhadap pemutusan hubungan kerja. Kedelapan, mengurangi beban hidup masyarakat miskin dan hampir miskin dengan memberikan tambahan alokasi Jamkesmas dan Jamkesda untuk layanan kesehatan dan tambahan alokasi dana beasiswa pendidikan.
Untuk menjalankan keseluruhan program itu, pemerintah harus sudah memiliki data akurat yang menggambarkan jumlah orang miskin dan hampir miskin dengan nama dan alamat lengkap untuk tiap desa di seluruh Indonesia. Tanpa itu, program ini sangat mungkin kembali akan salah sasaran sebagaimana subsidi BBM yang sebagian besar mengalir ke masyarakat nonmiskin.
Jika data akurat beserta anggaran untuk menjalankan kompensasi sudah tersedia, sebaiknya pemerintah segera mengambil keputusan. Terus-menerus menundanya hanya akan memperpanjang ketidakpastian (uncertainty) yang dapat menimbulkan masalah-masalah ekonomi baru.
EDDY SURATMAN
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura/ Anggota Dewan Pakar DPP Perindo
Rencana kenaikan harga BBM ini sebenarnya sudah sangat lama, terkesan kalau pemerintah terlalu berhati-hati dalam mengambil keputusan. Padahal, sebagaimana diberitakan KORAN SINDO, Senin 10 Juni 2013, beban fiskal pemerintah sudah sangat berat di mana realisasi belanja subsidi energi hingga Mei 2013 sudah mencapai Rp94,9 triliun dengan subsidi BBM sebesar Rp61,3 triliun. Kondisi ini memaksa pemerintah untuk mengoreksi besaran rencana subsidi BBM yang pada APBN 2013 direncanakan sebesar Rp193,8 triliun menjadi Rp209,9 triliun pada APBN-P 2013. Subsidi BBM yang sangat besar itu tentu menyulitkan APBN, dan karena itu sebenarnya kenaikan harga BBM tidak boleh ditunda lagi.
Dampak Negatif Subsidi BBM
Di samping mengganggu beban fiskal, subsidi BBM yang relatif besar juga telah menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian, seperti menciptakan disinsentif bagi perkembangan produksi energi terbarukan, meningkatkan defisit neraca perdagangan sebagai akibat tekanan neraca migas, meningkatkan praktik penyeludupan BBM ke negara tetangga yang memiliki harga BBM jauh lebih tinggi, dan mendorong masyarakat melakukan alih konsumsi yang menyebabkan volume BBM bersubsidi terus meningkat sehingga menyebabkan inefisiensi BBM bersubsidi, mempersempit ruang gerak fiskal (fiscal space) yang semestinya dapat dialokasikan untuk belanja modal maupun bantuan sosial, serta memperburuk kualitas belanja.
Dalam APBN 2013, alokasi subsidi BBM bahkan menghabiskan hampir 12% belanja negara, lebih besar dibandingkan alokasi belanja infrastruktur perhubungan, perumahan, irigasi, dan energi yang hanya mencapai 9,37% dari keseluruhan belanja negara. Postur APBN yang demikian tentu saja mempersulit pemerintah mewujudkan target pertumbuhan ekonomi (6,8%) sesuai asumsi makro APBN 2013.
Dampak negatif lain yang paling mengkhawatirkan dari besarnya subsidi BBM tersebut, adalah fakta bahwa subsidi BBM ternyata tidak tepat sasaran karena sebagian besar justru dinikmati oleh kelompok masyarakat nonmiskin. Hasil pengolahan data Susenas 2012 yang dipublikasikan Bank Dunia menunjukkan 25% penduduk berpenghasilan terendah ternyata hanya menikmati sekitar 15% subsidi BBM, sebaliknya 25% penduduk berpenghasilan tertinggi justru menikmati sekitar 77%.
Potret nyata kebijakan anggaran yang sangat tidak adil bagi penduduk miskin. Tidak heran jika distribusi pendapatan kita terus memburuk, di mana tahun 2012 sekitar 40% penduduk dengan pendapatan terendah hanya menerima kurang dari 17% pendapatan nasional dan besaran Indeks Gini yang sudah melebihi 0,4.
Selamatkan Orang Miskin
Jika kenaikan harga BBM betul-betul dilakukan pemerintah, sebenarnya bukan berarti pemerintah tidak lagi memberikan subsidi BBM, tetapi hanya sekadar mengurangi besaran subsidinya. Karena rencana harga premium sebesar Rp6.500 per liter tetap masih jauh di bawah harga keekonomian, sebagaimana tampak dari harga premium di berbagai negara.
Sebagai perbandingan, per Maret 2013 harga premium di Australia sebesar Rp14.964, Pakistan Rp9.989, Vietnam Rp11.261, Korea Rp17.400, Jepang Rp16.114, India Rp12.202, China Rp11.461, Thailand Rp15.205, Filipina Rp12.923, dan Singapura Rp16.612. Akan tetapi, meskipun harga BBM Indonesia pasca kenaikan masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, kecuali dengan Malaysia (per Maret 2013 harga premium per liter sebesar Rp5.939 ) , kenaikan harga ini tetap membawa dampak negatif yang perlu diantisipasi.
Kenaikan harga BBM akan mendorong peningkatan laju inflasi kelompok pengeluaran transportasi sebagai pengguna BBM bersubsidi. Dengan kenaikan BBM premium sebesar Rp2.000 dan BBM solar sebesar Rp1.000, pemerintah memperkirakan tingkat inflasi akan mencapai 7,2%. Di beberapa daerah dengan ketersediaan infrastruktur sangat tertinggal seperti di sebagian besar kawasan timur Indonesia, tingkat inflasinya tentu akan lebih tinggi lagi.
Kenaikan tarif angkutan secara tidak langsung akan mendorong kenaikan ongkos angkut komoditas bahan pangan, sehingga berdampak terhadap harga komoditas bahan pangan. Pengalaman pada saat kenaikan harga BBM pada Maret dan Oktober 2005 serta Mei 2008 membuktikan hal itu. Kenaikan harga komoditas bahan pangan berimplikasi pada dua hal. Pertama akan meningkatkan garis kemiskinan yang secara langsung menyebabkan bertambahnya jumlah orang miskin, dan kedua akan menurunkan daya beli masyarakat yang menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Kedua implikasi ini paling terasa pada kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin. Oleh karena itu, penghematan anggaran akibat pengurangan subsidi BBM yang besarnya diperkirakan sekitar Rp42 triliun harus dioptimalkan untuk menyelamatkan kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin tersebut. Untuk itu, dalam waktu sangat pendek, pemerintah perlu menjalankan program cepat tapi akurat dengan delapan fokus utama untuk. Pertama, menjaga daya beli masyarakat miskin dan hampir miskin dengan memberikan kompensasi berupa dana cash.
Kedua, menjamin ketersediaan komoditas bahan pangan, khususnya beras dan hortikultura antara lain dengan meningkatkan alokasi beras miskin. Ketiga, menahan laju kenaikan biaya transportasi dengan memberikan subsidi biaya transportasi secara selektif, terutama bagi angkutan yang terkait dengan bahan pangan. Keempat, menjaga stabilitas harga komoditas pangan, dengan menggerakkan dan mengordinasikan secara sistematis keterlibatan pemerintah daerah, BUMD, BUMN, dan perusahaan swasta dalam operasi pasar Kelima, menjamin kelancaran arus distribusi terutama di daerah tertinggal yang sulit terjangkau, dengan mempercepat perbaikan dan atau penyediaan sarana-prasarana transportasi.
Keenam, memudahkan distribusi bahan pangan dan menjaga ketersediaannya, melalui penyederhanaan peraturan dan perizinan, termasuk bahan pangan yang bersumber dari luar negeri. Ketujuh, meningkatkan program padat karya untuk menampung angkatan kerja yang belum bekerja, yang bekerja tidak penuh waktu, dan yang rentan terhadap pemutusan hubungan kerja. Kedelapan, mengurangi beban hidup masyarakat miskin dan hampir miskin dengan memberikan tambahan alokasi Jamkesmas dan Jamkesda untuk layanan kesehatan dan tambahan alokasi dana beasiswa pendidikan.
Untuk menjalankan keseluruhan program itu, pemerintah harus sudah memiliki data akurat yang menggambarkan jumlah orang miskin dan hampir miskin dengan nama dan alamat lengkap untuk tiap desa di seluruh Indonesia. Tanpa itu, program ini sangat mungkin kembali akan salah sasaran sebagaimana subsidi BBM yang sebagian besar mengalir ke masyarakat nonmiskin.
Jika data akurat beserta anggaran untuk menjalankan kompensasi sudah tersedia, sebaiknya pemerintah segera mengambil keputusan. Terus-menerus menundanya hanya akan memperpanjang ketidakpastian (uncertainty) yang dapat menimbulkan masalah-masalah ekonomi baru.
EDDY SURATMAN
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura/ Anggota Dewan Pakar DPP Perindo
(hyk)