Mendidik mental pengemis
A
A
A
Pemerintah akan menaikkan besaran bantuan tunai langsung untuk masyarakat miskin menjadi Rp150.000 dari Rp100.000 per keluarga. Bantuan ini diberikan sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi yang diberlakukan mulai bulan depan.
Orientasi kebijakan tersebut menunjukkan pemerintah seolah tidak pernah belajar dari pengalaman. Suatu cara berpikir kebijakan yang tidak bervisi dalam mengatasi kemiskinan sesungguhnya. Apa yang dilakukan justru hanya akan mendidik rakyat bermental pengemis, dan jauh dari menciptakan kemandirian.
Dapat ditebak dengan cepat bahwa kebijakan tersebut bersifat pragmatis hanya untuk mencari dukungan politik semata.
Orientasi penguasa sekedar mencari dukungan politik sesaat. Kemerdekaan rakyat tidak menjadi perhatian utama, alihalihjustrumenciptakanrakyat ke dalam jurang kesengsaraan.
Sudah terbukti di masa lalu bahwa kebijakan seperti itu gagal mengatasi kemiskinan. Angka kemiskinan justru semakin meningkat. Dengan bantuan langsung, rakyat tidak mampu menjadi manusia mandiri.
Kebijakan tersebut hanya akan mendorong rakyat bermental pengemis. Tanpa disadari bahwa hal tersebut akan semakin membuat rakyat berada dalam posisi tergantung pada penguasa. Pada akhirnya, penguasa denganmudahmerekayasakepentingan demi kekuasaan. Rakyat pun potensial kehilangan posisi tawar dalam berbagai pengambilan keputusan politik.
Rakyat mudah digiring dalam berbagai kemauan politik penguasa. Berbagai kecurigaan pun muncul bahwa ini semua dilakukan agar rakyat mudah dikendalikan menjadi alat kekuasaan.
Negara Sinterklas
Tak pelak kebijakan bantuan tunai seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) menuai banyak kritik tajam. Dalam upaya mengatasi kemiskinan, pemerintah lebih cenderung berusaha mengatasi rasa sakit jangka pendek. Rakyat akan terdidik bermental konsumtif. Pemerintah tidak serius dalam membongkar akar kemiskinan sesungguhnya selama ini.
Padahal dana besar yang disalurkan dalam bantuan tunai melalui PKH akan lebih efektif jika dimanfaatkan untuk program jangka panjang, misalnya dalam bentuk keterampilan dan modal. Kecuali dalam keadaan darurat, hampir tidak ada argumentasi apapun yang secara rasional masuk di akal sehat kebijakan membagi-bagi uang kepada masyarakat. Justru kebijakan tersebut dicurigai sarat dengan berbagai kepentingan politik dan pencitraan kekuasaan.
Kemiskinan Indonesia tidak akan bisa tuntas dengan model kebijakan seperti ini. Kita justru akan semakin sengsara bila mendasarkan kebijakan yang seolah-olah memihak rakyat, tapi nyatanya sama sekali tidak demikian.
Negara bukanlah sosok sinterklas yang hanya datang pada momen-momen tertentu untuk menghibur anak-anak. Negara bukan untuk menghibur, melainkan melindungi warganya dari penderitaan.
Hiburan itu sangat kecil maknanya dibandingkan dengan beban penderitaan yang akan ditanggung rakyat dari sebuah kebijakan yang dilakukan tanpa visi yang sehat. Negara harus benar-benar menyadari bahwa problem kemiskinan di negeri ini benarbenar pelik. Kita bahkan terlalu sering meributkan mengenai berapa banyak jumlah orang miskin di negeri ini. Penguasa selalu bermulut manis melaporkan angka kemiskinan yang terus berkurang. Faktanya, kita semua merasakan, tidaklah seperti demikian.
Tak bisa dimungkiri faktor politik merupakan penyebab kemiskinan di Indonesia, di masa lalu dan sampai sekarang. Pengalaman di era Orde Baru pertumbuhan ekonomi yang semakin bagus bagi sebagian besar orang justru merupakan bencana. Tak lain karena antara yang bertumbuh dan merana semakin dalam jurang pemisahnya. Banyak orang yang dibuat bangga dalam kubangan kemiskinan. Membanggakan angka pertumbuhan yang tidak berurat nadi pada kenyataan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.
Sesat pikir kebijakan
Sudah semenjak dulu kemiskinan hanya dijadikan alat atau isu belaka. Tidak pernah dicarikan jalan keluar secara serius untuk mengatasi kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan menjadi isu yang terbaik untuk mencari dukungan rakyat miskin.
Sungguh ironis karena tanpa elite menyadarinya, merekamereka terlalu sering menjual rakyat miskin atas nama kemiskinan mereka.
Sulit akal sehat bisa menerima fakta bahwa di negara yang terus-menerus melakukan pembangunan ekonomi dan memiliki konstitusi jelas meningkatkankesejahteraanrakyat, jumlah kaum miskin dan mereka yang kelaparan justru meningkat.
Diakui atau tidak, krisis ekonomi tidak selalu menjadi alasan yang baik untuk memberikan penjelasan soal ini. Ketidakjelasan orientasi kebijakan ekonomi serta kondisipolitikbangsainilahyang menyebabkan sulitnya Indonesia keluar dari krisis.
Sumber bencana utama negeri ini sangat mungkin terjadi karena selama ini kebijakan ekonomi tidak diarahkan atau berpihak pada penguatan masyarakat kecil. Kebijakan ekonomi terlalu mendongak ke atas, dan tak jarang menjadikan rakyat kecil sebagai “batu injakan” saja. Alih-alih memperkuat ekonomi rakyat dan memperjuangkan dengan sungguhsungguh nasib rakyat dari derita kemiskinan dan pengangguran, justru yang terjadi kesejahteraan rakyat kecil diabaikan.
Layak disadari oleh semua pihak bahwa akar kemiskinan di Indonesia lebih banyak disebabkan masalah-masalah struktural. Rakyat Indonesia bukan bangsa pemalas dan dengan demikian miskin karena sikap malasnya.
Umumnya kemiskinan Indonesia karena pemerintah dan kebijakannya abai dan sering menutup dan membatasi akses perekonomian rakyat. Banyak situasi yang menyebabkan masyarakat tidak bisa melakukan kegiatan produktifnya secara penuh.
Adanya kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran merupakan sebab struktural yang penyelesaiannya harus melalui tindakan struktural pula. Selain itu, selama ini pembangunan tidak memperhatikan aspek kehidupan dalam jangka pangan dan hanya berorientasi memenuhi kebutuhan material belaka. Pembangunanbukansaja telah gagal menyejahterakan manusia, melainkan juga merupakan biang dari masalah.
Selama ini pembangunan tidak menciptakan kemerdekaan dan kesejahteraan di tengah masyarakat. Pembangunan hanya sekedar alat bagi kapital untuk berkuasa. Kebiasaan mengabaikan pelajaran masa lalu sudah mendarah daging sebagai mental penguasa. Itu semua mengakibatkan kekuasaan bebal dan tidak mau mendengarkan jeritan penderitaan rakyat.
Kebijakan yang hanya berorientasi jangka pendek dan efektivitasnya diragukan sudah seharusnya mendapatkan evaluasi. Justru tantangan mengatasi kemiskinan di negeri ini semakin berat. Pemerintah perlu belajar banyak dari pengalaman mengelola problem kemiskinan yang terjadi. Itu semua perlu dipertimbangkan agar pemerintah terhindar dari tuduhan hanya mempermainkan orang miskin untuk kepentingan kekuasaan.
BENNY SUSETYO
Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI,
Pemerhati Sosial
Orientasi kebijakan tersebut menunjukkan pemerintah seolah tidak pernah belajar dari pengalaman. Suatu cara berpikir kebijakan yang tidak bervisi dalam mengatasi kemiskinan sesungguhnya. Apa yang dilakukan justru hanya akan mendidik rakyat bermental pengemis, dan jauh dari menciptakan kemandirian.
Dapat ditebak dengan cepat bahwa kebijakan tersebut bersifat pragmatis hanya untuk mencari dukungan politik semata.
Orientasi penguasa sekedar mencari dukungan politik sesaat. Kemerdekaan rakyat tidak menjadi perhatian utama, alihalihjustrumenciptakanrakyat ke dalam jurang kesengsaraan.
Sudah terbukti di masa lalu bahwa kebijakan seperti itu gagal mengatasi kemiskinan. Angka kemiskinan justru semakin meningkat. Dengan bantuan langsung, rakyat tidak mampu menjadi manusia mandiri.
Kebijakan tersebut hanya akan mendorong rakyat bermental pengemis. Tanpa disadari bahwa hal tersebut akan semakin membuat rakyat berada dalam posisi tergantung pada penguasa. Pada akhirnya, penguasa denganmudahmerekayasakepentingan demi kekuasaan. Rakyat pun potensial kehilangan posisi tawar dalam berbagai pengambilan keputusan politik.
Rakyat mudah digiring dalam berbagai kemauan politik penguasa. Berbagai kecurigaan pun muncul bahwa ini semua dilakukan agar rakyat mudah dikendalikan menjadi alat kekuasaan.
Negara Sinterklas
Tak pelak kebijakan bantuan tunai seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) menuai banyak kritik tajam. Dalam upaya mengatasi kemiskinan, pemerintah lebih cenderung berusaha mengatasi rasa sakit jangka pendek. Rakyat akan terdidik bermental konsumtif. Pemerintah tidak serius dalam membongkar akar kemiskinan sesungguhnya selama ini.
Padahal dana besar yang disalurkan dalam bantuan tunai melalui PKH akan lebih efektif jika dimanfaatkan untuk program jangka panjang, misalnya dalam bentuk keterampilan dan modal. Kecuali dalam keadaan darurat, hampir tidak ada argumentasi apapun yang secara rasional masuk di akal sehat kebijakan membagi-bagi uang kepada masyarakat. Justru kebijakan tersebut dicurigai sarat dengan berbagai kepentingan politik dan pencitraan kekuasaan.
Kemiskinan Indonesia tidak akan bisa tuntas dengan model kebijakan seperti ini. Kita justru akan semakin sengsara bila mendasarkan kebijakan yang seolah-olah memihak rakyat, tapi nyatanya sama sekali tidak demikian.
Negara bukanlah sosok sinterklas yang hanya datang pada momen-momen tertentu untuk menghibur anak-anak. Negara bukan untuk menghibur, melainkan melindungi warganya dari penderitaan.
Hiburan itu sangat kecil maknanya dibandingkan dengan beban penderitaan yang akan ditanggung rakyat dari sebuah kebijakan yang dilakukan tanpa visi yang sehat. Negara harus benar-benar menyadari bahwa problem kemiskinan di negeri ini benarbenar pelik. Kita bahkan terlalu sering meributkan mengenai berapa banyak jumlah orang miskin di negeri ini. Penguasa selalu bermulut manis melaporkan angka kemiskinan yang terus berkurang. Faktanya, kita semua merasakan, tidaklah seperti demikian.
Tak bisa dimungkiri faktor politik merupakan penyebab kemiskinan di Indonesia, di masa lalu dan sampai sekarang. Pengalaman di era Orde Baru pertumbuhan ekonomi yang semakin bagus bagi sebagian besar orang justru merupakan bencana. Tak lain karena antara yang bertumbuh dan merana semakin dalam jurang pemisahnya. Banyak orang yang dibuat bangga dalam kubangan kemiskinan. Membanggakan angka pertumbuhan yang tidak berurat nadi pada kenyataan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.
Sesat pikir kebijakan
Sudah semenjak dulu kemiskinan hanya dijadikan alat atau isu belaka. Tidak pernah dicarikan jalan keluar secara serius untuk mengatasi kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan menjadi isu yang terbaik untuk mencari dukungan rakyat miskin.
Sungguh ironis karena tanpa elite menyadarinya, merekamereka terlalu sering menjual rakyat miskin atas nama kemiskinan mereka.
Sulit akal sehat bisa menerima fakta bahwa di negara yang terus-menerus melakukan pembangunan ekonomi dan memiliki konstitusi jelas meningkatkankesejahteraanrakyat, jumlah kaum miskin dan mereka yang kelaparan justru meningkat.
Diakui atau tidak, krisis ekonomi tidak selalu menjadi alasan yang baik untuk memberikan penjelasan soal ini. Ketidakjelasan orientasi kebijakan ekonomi serta kondisipolitikbangsainilahyang menyebabkan sulitnya Indonesia keluar dari krisis.
Sumber bencana utama negeri ini sangat mungkin terjadi karena selama ini kebijakan ekonomi tidak diarahkan atau berpihak pada penguatan masyarakat kecil. Kebijakan ekonomi terlalu mendongak ke atas, dan tak jarang menjadikan rakyat kecil sebagai “batu injakan” saja. Alih-alih memperkuat ekonomi rakyat dan memperjuangkan dengan sungguhsungguh nasib rakyat dari derita kemiskinan dan pengangguran, justru yang terjadi kesejahteraan rakyat kecil diabaikan.
Layak disadari oleh semua pihak bahwa akar kemiskinan di Indonesia lebih banyak disebabkan masalah-masalah struktural. Rakyat Indonesia bukan bangsa pemalas dan dengan demikian miskin karena sikap malasnya.
Umumnya kemiskinan Indonesia karena pemerintah dan kebijakannya abai dan sering menutup dan membatasi akses perekonomian rakyat. Banyak situasi yang menyebabkan masyarakat tidak bisa melakukan kegiatan produktifnya secara penuh.
Adanya kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran merupakan sebab struktural yang penyelesaiannya harus melalui tindakan struktural pula. Selain itu, selama ini pembangunan tidak memperhatikan aspek kehidupan dalam jangka pangan dan hanya berorientasi memenuhi kebutuhan material belaka. Pembangunanbukansaja telah gagal menyejahterakan manusia, melainkan juga merupakan biang dari masalah.
Selama ini pembangunan tidak menciptakan kemerdekaan dan kesejahteraan di tengah masyarakat. Pembangunan hanya sekedar alat bagi kapital untuk berkuasa. Kebiasaan mengabaikan pelajaran masa lalu sudah mendarah daging sebagai mental penguasa. Itu semua mengakibatkan kekuasaan bebal dan tidak mau mendengarkan jeritan penderitaan rakyat.
Kebijakan yang hanya berorientasi jangka pendek dan efektivitasnya diragukan sudah seharusnya mendapatkan evaluasi. Justru tantangan mengatasi kemiskinan di negeri ini semakin berat. Pemerintah perlu belajar banyak dari pengalaman mengelola problem kemiskinan yang terjadi. Itu semua perlu dipertimbangkan agar pemerintah terhindar dari tuduhan hanya mempermainkan orang miskin untuk kepentingan kekuasaan.
BENNY SUSETYO
Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI,
Pemerhati Sosial
(lns)