Pesan Mega di Hari Kelahiran Pancasila

Sabtu, 01 Juni 2013 - 13:52 WIB
Pesan Mega di Hari Kelahiran Pancasila
Pesan Mega di Hari Kelahiran Pancasila
A A A
Sindonews.com - Tanggal 1 Juni merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, sebab di tanggal ini lah ideologi Pancasila lahir sejak dirumuskan pada tahun 1945.

Memperingati hal itu, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengeluarkan beberapa pesan bagi masyarakat Indonesia khususnya kader partai yang besar dengan warna merah itu.

Menurutnya, kegagalan suatu bangsa dapat terjadi. Hal ini bermula ketika sebuah negara gagal mengelola kemajemukan, karena itu Ia pun mengingatkan agar Indonesia terus menjaganya.

Ia juga berpesan agar Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat, namun juga dalam politik.

Berikuti sepenggal pesan Megawati di Hari Kelahiran Pancasila yang dibacakannya di Tugu Proklamasi, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (1/6/2013):

Seperti diungkapkan lewat sejarah banyak bangsa, kegagalan dalam mengelola kemajemukan dapat berakibat pada kebangkrutan politik berupa bubarnya negara, dan hancurnya kemanusiaan yang merupakan nilai etis tertinggi yang harus dicapai semua peradaban.

Karenanya, penggalian Pancasila oleh Bung Karno merupakan prestasi sejarah maha besar yang membebaskan negeri ini dari kemungkinan terjadi sengketa ideologis yang dari pengalaman banyak bangsa baru telah memakan korban anak-anaknya sendiri.

Tetapi bukan sebatas itu. Pancasila telah menjadi fondasi. Di atas Pancasila rumah besar bagi setiap anak negeri telah dibangun. Di atas Pancasila, kewarganegaraan sebagai prinsip dalam pengelolaan politik kenegaraan ditegakkan.

Nilai-nilai Pancasila sekaligus telah menjadi bintang penuntun arah berbangsa dan bingkai pengatur perilaku bangsa, institusi, kebijakan, dan setiap anak negeri.

Lebih dari itu Pancasila telah menjadi sumbangan besar bangsa ini bagi dunia. Dalam pidato pada pembukaan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 Bung Karno mengingatkan para pemimpin Asia-Afrika dengan mengatakan, ”mungkin sekarang ini, lebih daripada di saat-saat sejarah dunia yang lampau, hidup kemasyarakatan, pemerintahan dan ketatanegaraan perlu didasarkan pada kode moraliteit dan ethika yang tertinggi”. Kode etik moralitas politik yang tertinggi dalam pemahaman Bung Karno adalah “subordinasi, ketundukan segala sesuatu kepada keselamatan umat manusia”.

Inilah menurut hemat saya fondasi bagi setiap dialog antar peradaban yang disumbangkan oleh Pancasila bagi dunia. Sesuatu yang terus menerus perlu kita rawat dari waktu ke waktu.

Hal di atas penting diperhatikan karena dalam perkembangan sejarah, untuk beberapa dekade Pancasila telah dipisahkan dari Bung Karno sebagai penggalinya, dikaburkan pengertian-pengertiannya, diselewengkan, dan akhirnya secara halus dan pelan-pelan telah ditinggalkan dalam prakteknya.

Kondisi ini menyebabkan Pancasila menjadi barang asing di hadapan anak-anak sendiri. Pancasila menjadi sesuatu yang dilihat sebagai beban yang harus dihindari. Sebagian bahkan merasa trauma dengan Pancasila.

Berbagai pelanggaran dan tindakan represeif atas nama Pancasila di masa lalu telah menjauhkannya dari gambaran idealnya sebagai ideologi bersama. Pancasila telah berubah menjadi pedang yang siap diayunkan dengan penuh kemarahan pada setiap anak negeri yang berbeda pandangan dengan pemerintah.

Hal ini membawa bangsa ini ke dalam risiko maha besar. Pengalaman berbagai bangsa menunjukkan, tidak ada bangsa besar yang tidak bertumpu pada ideologi yang mengakar dalam masyarakatnya. Lihat saja Jepang, Jerman, Amerika, Inggris, Cina dan masih banyak negara lainnya. Kesemuanya menemukan kekokohannya pada fondasi ideologi yang memiliki akar dalam nurani, dunia psikis dan dunia imajinasi dan nalar rakyatnya.

Ideologilah yang menjadi alasan dan sekaligus penuntun arah sebuah bangsa dalam meraih kebesaran masing-masing. Ideologilah yang menjadi motif dan sekaligus penjaga harapan bagi rakyatnya.

Bagi Indonesia, memudarnya Pancasila di mata dan hati rakyat sendiri telah berakibat jelas: Indonesia kehilangan orientasi yang berujung pada keterpurukan bangsa secara kolektif.

Indonesia kehilangan penuntun, kehilangan motif, dan bahkan kehilangan harapan. Dan tanpa harapan, tidak akan pernah ada masyarakat yang bisa menjadi besar, tidak akan pernah ada bangsa yang menjadi besar.

Harapan adalah salah satu kekuatan maha besar yang mampu memelihara daya hidup individu dan kolketif. Harapan adalah energi induk bagi semua kemajuan. Dan harapan yang disediakan sebuah ideologi adalah berlipat-lipat kekuatannya.

Ingatlah wejangan Bung Karno dalam pidato Lahirnya Pancasila, “De Mensch“, manusia harus memperjuangkan Pancasila supaya menjadi kenyataan.

Beliau dengan lantang berujar, “Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman – janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan...”.
(lal)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7313 seconds (0.1#10.140)