Pastika dan Bibit
A
A
A
Ada yang sama antara Made Mangku Pastika dan Bibit Waluyo. Keduanya adalah calon gubernur incumbent yang kembali bertarung untuk duduk sebagai gubernur.
Pastika dan Bibit pada periode pertama menjabat sebagai gubernur diusung oleh partai yang sama yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada pertarungan kembali mempertahankan kursi gubernur, keduanya tak lagi diusung oleh PDIP. Bali dan Jawa Tengah juga merupakan sumber suara atau massa PDIP. Hal yang membedakan keduanya adalah hasil yang diperoleh. KPU Bali sudah memastikan Pastika unggul, sedangkan Bibit kemungkinan besar harus merelakan kursi gubernur Jateng kepada lawannya.
Posisi Bibit kalah dengan Ganjar Pranowo berdasarkan hitung cepat beberapa lembaga survei. PDIP bisa tersenyum di Jawa Tengah, namun harus menggerutu di Bali. Kekalahan di Bali dianggap karena mesin partai PDIP tak berjalan sesuai yang diharapkan. Tujuh dari sembilan wilayah di Bali yang dikuasai PDIP seolah tak berdaya. Tujuh kepala daerah yang merupakan kader PDIP gagal memenangkan jagoannya, AA Puspayoga. Sedangkan di Jawa Tengah, kemenangan dianggap karena mesin partai PDIP berjalan dengan baik. Mesin partai diklaim sebagai faktor utama kemenangan Ganjar Pranowo.
Namun, pendapat tersebut tak sepenuhnya benar. Pastika yang diusung bukan partai mayoritas menang dengan angka tipis. Pada Pilkada Bali figur Pastika sangat berpengaruh. Pastika masih dianggap bisa membangun Bali lebih baik. Mantan kabareskrim ini juga tidak mempunyai ”dosa” kepada masyarakat. Artinya masyarakat masih mempunyai kepercayaan kepada Pastika yang track record-nya memang cukup bagus. Kemenangan Pastika di Bali karena dia nyaris tak mempunyai cacat kepemimpinan selama menjadi gubernur Bali.
Selama lima tahun Pastika berhasil menarik simpati masyarakat. Ketika masyarakat sudah percaya dan simpati telah didapat akan mudah bagi kandidat untuk meraup suara yang banyak dan bahkan menang dalam pilkada. Meski mesin partai lawan berjalan dengan baik jika yang dilawan adalah figur yang (masih) menjanjikan, mesin partai seolah hanyalah sebagai cerita pelengkap kemenangan atau kekalahan. Kondisi yang sama terjadi di Jawa Tengah. Apakah kemenangan Ganjar karena memang mesin PDIP berjalan dengan baik? Belum tentu juga.
Kemenangan Ganjar karena memang sosok Bibit yang mempunyai ”dosa” (bahkan mungkin banyak ”dosa”) kepada masyarakat Jawa Tengah. Kasus penghinaan kesenian kuda lumping, kontroversi pembangunan mal di lahan Saripetodjo di Solo, dan ucapan yang seolah tak merestui hadirnya mobil Esemka yang merupakan kebanggaan warga Jawa Tengah umumnya dan Solo pada khususnya. ”Dosa-dosa” milik Bibit ini yang membuat suara Ganjar melambung, melebihi prediksi semua pihak. Di Solo wilayah yang paling disakiti Bibit dan basis suara PDIP, Bibit hanya memperoleh 8,92% jauh dari Ganjar yang memperoleh 78,81%.
Ini karena memang warga Solo sudah sangat marah kepada Bibit. Kasus Saripetodjo dan Esemka yang keduanya mendapat dukung penuh Joko Widodo membuat masyarakat Solo membenci sosok Bibit. Salah satu tim sukses Bibit bahkan sulit mencari saksi di TPS. Kemenangan Pastika di Bali lebih karena track record figur dirinya. Begitu juga dengan kekalahan Bibit di Jawa Tengah yang lebih karena track record bersangkutan. Mesin partai memang mempunyai pengaruh, namun dalam pilkada karena yang dipilih adalah individu bukan organisasi, tampaknya faktor figur lebih dominan.
Pastika menang di Bali karena nyaris tanpa ”dosa” masyarakat, sedangkan kemenangan Ganjar di Jawa Tengah karena ”dosa-dosa” Bibit kepada masyarakat. Pastika dan Bibit bisa menjadi kaca bagi para pihak-pihak yang ingin maju dalam pilkada. Track record figur lebih menentukan menang atau kalah. Dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang semakin menurun terhadap parpol, tampaknya mesin parpol bukan faktor dominan dalam memenangkan pilkada.
Pastika dan Bibit pada periode pertama menjabat sebagai gubernur diusung oleh partai yang sama yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada pertarungan kembali mempertahankan kursi gubernur, keduanya tak lagi diusung oleh PDIP. Bali dan Jawa Tengah juga merupakan sumber suara atau massa PDIP. Hal yang membedakan keduanya adalah hasil yang diperoleh. KPU Bali sudah memastikan Pastika unggul, sedangkan Bibit kemungkinan besar harus merelakan kursi gubernur Jateng kepada lawannya.
Posisi Bibit kalah dengan Ganjar Pranowo berdasarkan hitung cepat beberapa lembaga survei. PDIP bisa tersenyum di Jawa Tengah, namun harus menggerutu di Bali. Kekalahan di Bali dianggap karena mesin partai PDIP tak berjalan sesuai yang diharapkan. Tujuh dari sembilan wilayah di Bali yang dikuasai PDIP seolah tak berdaya. Tujuh kepala daerah yang merupakan kader PDIP gagal memenangkan jagoannya, AA Puspayoga. Sedangkan di Jawa Tengah, kemenangan dianggap karena mesin partai PDIP berjalan dengan baik. Mesin partai diklaim sebagai faktor utama kemenangan Ganjar Pranowo.
Namun, pendapat tersebut tak sepenuhnya benar. Pastika yang diusung bukan partai mayoritas menang dengan angka tipis. Pada Pilkada Bali figur Pastika sangat berpengaruh. Pastika masih dianggap bisa membangun Bali lebih baik. Mantan kabareskrim ini juga tidak mempunyai ”dosa” kepada masyarakat. Artinya masyarakat masih mempunyai kepercayaan kepada Pastika yang track record-nya memang cukup bagus. Kemenangan Pastika di Bali karena dia nyaris tak mempunyai cacat kepemimpinan selama menjadi gubernur Bali.
Selama lima tahun Pastika berhasil menarik simpati masyarakat. Ketika masyarakat sudah percaya dan simpati telah didapat akan mudah bagi kandidat untuk meraup suara yang banyak dan bahkan menang dalam pilkada. Meski mesin partai lawan berjalan dengan baik jika yang dilawan adalah figur yang (masih) menjanjikan, mesin partai seolah hanyalah sebagai cerita pelengkap kemenangan atau kekalahan. Kondisi yang sama terjadi di Jawa Tengah. Apakah kemenangan Ganjar karena memang mesin PDIP berjalan dengan baik? Belum tentu juga.
Kemenangan Ganjar karena memang sosok Bibit yang mempunyai ”dosa” (bahkan mungkin banyak ”dosa”) kepada masyarakat Jawa Tengah. Kasus penghinaan kesenian kuda lumping, kontroversi pembangunan mal di lahan Saripetodjo di Solo, dan ucapan yang seolah tak merestui hadirnya mobil Esemka yang merupakan kebanggaan warga Jawa Tengah umumnya dan Solo pada khususnya. ”Dosa-dosa” milik Bibit ini yang membuat suara Ganjar melambung, melebihi prediksi semua pihak. Di Solo wilayah yang paling disakiti Bibit dan basis suara PDIP, Bibit hanya memperoleh 8,92% jauh dari Ganjar yang memperoleh 78,81%.
Ini karena memang warga Solo sudah sangat marah kepada Bibit. Kasus Saripetodjo dan Esemka yang keduanya mendapat dukung penuh Joko Widodo membuat masyarakat Solo membenci sosok Bibit. Salah satu tim sukses Bibit bahkan sulit mencari saksi di TPS. Kemenangan Pastika di Bali lebih karena track record figur dirinya. Begitu juga dengan kekalahan Bibit di Jawa Tengah yang lebih karena track record bersangkutan. Mesin partai memang mempunyai pengaruh, namun dalam pilkada karena yang dipilih adalah individu bukan organisasi, tampaknya faktor figur lebih dominan.
Pastika menang di Bali karena nyaris tanpa ”dosa” masyarakat, sedangkan kemenangan Ganjar di Jawa Tengah karena ”dosa-dosa” Bibit kepada masyarakat. Pastika dan Bibit bisa menjadi kaca bagi para pihak-pihak yang ingin maju dalam pilkada. Track record figur lebih menentukan menang atau kalah. Dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang semakin menurun terhadap parpol, tampaknya mesin parpol bukan faktor dominan dalam memenangkan pilkada.
(hyk)