Krisis partai politik

Selasa, 28 Mei 2013 - 11:59 WIB
Krisis partai politik
Krisis partai politik
A A A
Saat menulis disertasi studi doktoral saya, kebetulan literatur-literatur akademik dari peristiwa politik di Indonesia terbentuknya demokrasi terpimpin pada masa Presiden Soekarno akhir 1950-an menjadi salah satu menu bacaan wajib.

Akibatnya, saya menjadi tertarik dengan mencoba membandingkan salah satu masa terendah dari sejarah partai politik Indonesia tersebut dengan berbagai macam insiden yang menimpa partai politik besar Indonesia saat ini akibat rentetan kasus korupsi.

Proses investigasi terhadap mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengusaha Fathanah terkait dugaan kasus suap impor daging di Kementerian Pertanian (Kementan), mewarnai berbagai berita nasional, merupakan kelanjutan dari buruknya citra partai politik di Indonesia.

Sebelum PKS, media massa Indonesia terus menyorot kasus korupsi yang menimpa pimpinan Partai Demokrat seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan yang masih dalam tahap investigasi oleh KPK di mana dugaan korupsi menimpa diri mantan Menteri Pemuda Olah Raga Andi Mallarangeng dan mantan Ketua Umum Anas Urbaningrum. Akibatnya popularitas Partai Demokrat menurun tajam.

Delegitimasi partai politik

Buku klasik yang ditulis Herbet Feith berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, yang diterbitkan Cornell University Press (1962), menyoroti bagaimana partaipartai politik di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama dari runtuhnya sistem demokrasi parlementer di Indonesia.

Dimulai pada masa kabinet pertama Ali Sastroamidjojo (Juli 1953-Juli 1955), kemudian kabinet yang dipimpin Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), dan terakhir kabinet kedua Ali Sastroamidjojo (Maret 1956-Maret 1957).

”Pada masa itu terdapat suasana antipati dan ketidakpuasan pada situasi politik pada saat itu… Terutama hal yang menyangkut perkara korupsi yang melibatkan pimpinan partai politik,” tulis Herbert Feith.

Menurut pengamatan Indonesianis terkemuka lainnya, Daniel Lev, di bukunya berjudul The Transition to Guided Democracy, juga terbitan Cornell University (1966), pada waktu itu Angkatan Darat yang dipimpin Jenderal Nasution berperan besar dalam pembentukan demokrasi terpimpin.

”Angkatan Darat beranggapan bahwa partai politik dan para pemimpin sipil pada waktu karena korupsi, pertentangan ideologi, ketidakstabilan korupsi menjadi penghambat kemajuan bangsa dan menyebabkan tentara Indonesia terpecah-pecah,” seperti yang ditulis Daniel Lev.

Kombinasi antara popularitas Presiden Soekarno yang masih tinggi pada waktu itu dan Angkatan Darat yang memiliki organisasi luas dan pasukan yang banyak membuat kerja sama keduanya menjadi kekuatan politik yang amat berpengaruh di Indonesia seperti yang diterangkan John Legge pada buku biografi yang klasik mengenai presiden pertama Indonesia itu—Soekarno a Political Biography, terbitan Penguin Press (1972).

Kerja sama keduanya membawa Indonesia meninggalkan sistem demokrasi parlementer menuju ke bentuk demokrasi terpimpin di mana puncaknya dengan dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandakan kembalinya pada pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dan berakhirnya peranan besar partai politik dalam menentukan percaturan politik di Indonesia.

Akankah sejarah terulang?

Seperti yang ditulis Herbert Feith (1962), Daniel Lev (1966), dan John Legge (1972), proses dari penurunan kepercayaan terhadap partai politik dimulai pada kurun waktu 1949, kemudian secara de facto dengan keadaan darurat militer pada awal 1957 tentara nasional Indonesia secara politik berperan signifikan, hingga akhirnya secara resmi menjadi demokrasi terpimpin pada pertengahan 1959.

Kurang lebih selama 10 tahun partai politik pada waktu itu tidak dapat memelihara kepercayaan konstituennya, terutama setelah pemilihan umum pada 1955 telah berlangsung secara baik dan mencederai ekspektasi bahwa pemerintah yang dibentuk unsur-unsur partai politik dapat mewujudkan mandatnya untuk menyediakan lapangan pekerjaan, serta mendirikan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak pada masyarakat luas. Saat ini partai politik Indonesia generasi Era Reformasi telah berdiri rata-rata lebih dari 10 tahun.

Tentu saja penyelenggaraan pemilihan umum yang berlangsung relatif lancar sejak 1999 perlu diapresiasi sebagai instrumen demokrasi dan seharusnya sistem demokrasi Indonesia sudah harus lebih terkonsolidasi dengan partai politik menjadi aktor politik utamanya. Bisa dikatakan parlemen (dikenal dengan DPR) dan partai politik Indonesia saat ini dari segi otoritas mempunyai peranan yang sama atau bahkan lebih dari partai politik pada 1950-an.

Dalam membuat undangundang dan komposisi Anggaran Perencanaan Belanja Negara (APBN), persetujuan DPR merupakan syarat mutlak. Sayangnya, otoritas yang luas tersebut tidak diikuti kinerja partai politik yang kurang baik, setidaknya yang dipersepsikan oleh publik.

Tentu saja konteks situasi politik pada 1950-an amat berbeda bila dibandingkan dengan situasi saat ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempunyai keterlibatan dalam yang cukup ekstensif pada Partai Demokrat dengan menjabat sebagai ketua umum.

Sedangkan Presiden Soekarno pada waktu itu tidak terlibat begitu jauh dalam kepengurusan sehari-hari dari partainya yakni Partai Nasional Indonesia (PNI). Ditambah lagi posisi TNI pada Era Reformasi ini secara politik tidak begitu kuat lagi dibandingkan pada masa pimpinan Jenderal A H Nasution yang relatif independen dari pimpinan politik, bahkan dalam beberapa kasus dari presiden.

Belum lagi lingkungan politik internasional saat ini tidak kondusif lagi terhadap pemerintahan otoriter, terlebih sebuah rejim yang dipimpin militer hampir dipastikan sulit memperoleh dukungan internasional.

Tetapi, tentunya situasi ketidakpercayaan terhadap partai politik di Indonesia saat ini tidak bisa dibiarkan secara terus menerus. Terlepas dari berbagai kelemahan yang ada, partai politik merupakan institusi politik yang penting optimal dalam mekanisme demokrasi guna menyalurkan aspirasi masyarakat dibandingkan alternatif lain dari sistem politik yang ada.

Karena itu, ini menjadi pekerjaan rumah dari elite politik Indonesia, terutama pimpinan partai politik untuk terus memperbaiki institusi partai politik baik pada aspek peraturan dan perundang-undangan maupun dari segi organisasi dan manajemennya.

Masalah pendanaan partai, rekrutmen kader berkualitas dan berintegritas, serta pembangunan institusi partai yang modern dengan platform kebijakan publik berpihak pada kepentingan umum merupakan agenda utama dari perbaikan partai politik.

VISHNU JUWONO

Kandidat Doktor
Sejarah Internasional di London
School of Economics (LSE) dan
Dosen FISIP UI
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0686 seconds (0.1#10.140)