Memilih dan dipilih

Sabtu, 27 April 2013 - 06:37 WIB
Memilih dan dipilih
Memilih dan dipilih
A A A
Ada fenomena menarik menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014. Jumlah masyarakat yang melamar sebagai bakal calon anggota legislatif, jumlahnya lebih banyak dibandingkan pada Pemilu 2009 lalu.

Tentu saja ini hal baik karena bisa diartikan minat dan kesadaran masyarakat untuk menjadi anggota legislatif baik di pusat maupun daerah tidak menurun, bahkan naik. Padahal, logika awam memperkirakan minat orang menjadi anggota DPR atau DPRD akan makin turun seiring dengan banyaknya anggota dewan yang terseret kasus korupsi. Tidak sedikit pula tokoh-tokoh parpol yang biasanya menjadi orang-orang berpengaruh di DPR dan DPRD terekspos secara terbuka di media massa, tersangkut penyalahgunaan jabatan untuk korupsi.

Tapi hebatnya, makin banyak orang berminat menjadi anggota legislatif, sama sekali tidak takut akan terjebak arus yang sama seperti para pendahulunya. Namun, kita tidak boleh berprasangka buruk terhadap tingginya minat masyarakat menjadi anggota DPR. Ini sangat positif karena semakin banyak orang yang terpanggil untuk mengurus negara secara total. Mudah-mudahan nama-nama yang sudah terpampang di laman resmi KPU itu mayoritas adalah orang-orang energik, banyak ide, dan berani melakukan berbagai terobosan dan pasti harus pantang korupsi.

Kita berdoa dan berharap orangorang golongan inilah yang akan membuat image legislatif kita kembali berwibawa, sehingga pantas disebut sebagai warga negara terhormat yang benar-benar ingin mengurus negara. Bukan justru ingin diurus dan dilayani negara. Sayangnya, tingginya minat masyarakat menjadi calon legislatif ini berbanding terbalik dengan hasrat masyarakat untuk memilih pada Pemilu 2014. Sejumlah lembaga memprediksi partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 akan semakin turun dibandingkan 2009.

Tanda-tandanya sudah terlihat pada rangkaian pilkada yang digelar dalam satu tahun terakhir. Di situ tergambar minat masyarakat untuk memilih turun. Mengapa masyarakat kita semakin enggan memilih di pilkada atau pemilu? Mengapa masyarakat semakin apatis dan tidak peduli? Ini semua terkait dengan kepercayaan kepada pejabat publik yang terus menipis karena berbagai sebab. Banyaknya kasus korupsi, krisis integritas, dan sifat kenegarawanan yang kian langka.

Mayoritas masyarakat merasa tidak ada pengaruhnya memilih si A atau si B sebagai wakil rakyat. Toh, nanti sama saja. Mereka samasama menjadi politikus yang larut dalam politik transaksional dan melupakan aspirasi rakyat. Kondisi ini memprihatinkan. Parpol dan para bakal calon anggota legislatif harus kerja ekstrakeras untuk mengembalikan kepercayaan itu. Mampu tidaknya mereka akan menentukan masa depan lembaga legislatif kita di masa depan. Bukan hanya masa depan mereka sendiri.

Tapi sejauh ini, para caleg memang bekerja keras di daerah pilihan masing-masing untuk meraih simpati dan mendulang suara. Caranya juga bervariasi bergantung pada kemampuan komunikasi ataupun dukungan finansial masingmasing. Mesin parpol juga punya andil; tapi seberapa besar, bergantung pada situasi dan kondisi di lapangan. Caleg nomor satu dari parpol besar belum tentu bisa lolos. Dukungan ke parpol berbeda dengan dukungan ke individu-individu. Demikian pula caleg nomor sepatu dari parpol kecil, belum tentu pula dia akan kalah.

Selama dia benarbenar mampu memahami dan meyakinkan masyarakat di dapilnya, simpati akan berpihak kepadanya. Rendahnya minat publik untuk memilih juga buah dari kerja parpol. Model kerja musiman menjelang pemilu sudah harus ditinggalkan. Pendidikan politik kepada pemilih dan calon pemilih harus diprogramkan dengan baik dan berkelanjutan, termasuk ketika pesta demokrasi sudah usai. Selama ini, hubungan anggota DPR dan konstituennya sebatas transaksional, bukan emosional sebagai rakyat dan wakilnya. Parpol adalah salah satu pilar demokrasi. Jika parpol rapuh, pastilah demokrasi akan rapuh.

Karena itu, kita dorong agar Pemilu 2014 benar-benar menjadi tonggak sejarah baru yang berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Berbeda dalam arti lebih berkualitas, terbuka, jujur, adil, dan bermanfaat besar bagi rakyat. Di tengah pesimisme masyarakat untuk memilih itu harus hadir sosok-sosok baru yang mampu membangkitkan optimisme. Tentu saja sosok-sosok yang tidak memiliki beban masa lalu atau kasus masa lalu yang akan menyandera mereka ketika terpilih sebagai pemimpin.

Pesimisme publik harus ditangkap sebagai tanda masyarakat ingin perubahan serius, bukan setengah-setengah. Publik rindu dengan sosok-sosok yang otentik, apa adanya, jujur, berani, senang mendengarkan sedikit bicara, sesuai antara kata dan perbuatan, mampu jadi teladan dan sebagainya. Jika Anda sudah memiliki itu, setengah pekerjaan sudah selesai, tinggal setengah lagi untuk membuat publik kembali antusias dalam memilih.
(stb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7721 seconds (0.1#10.140)