Inflasi mendaki, bagaimana bunga kredit?
A
A
A
Tanpa diduga inflasi tahunan (year on year) mendaki dari 5,31% per akhir Februari 2013 menjadi 5,90% per akhir Maret 2013. Lantas, apakah laju inflasi itu akan membawa implikasi bagi bank nasional?
Apakah inflasi akan segera menjadi jinak? Jangan lupa, tingkat inflasi tahunan 5,90% tersebut sudah berada di atas target inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) 4,5% plus minus 1% pada 2013 dan 2014. Artinya, inflasi belum akan berhenti. Mengapa? Karena masih ada beberapa faktor yang menghadang di depan.
Sebut saja, kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 15% mulai 2013. Ada yang lebih signifikan yakni rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pemerintah merencanakan untuk membuat dua harga (dual price) BBM bersubsidi. Motor dan kendaraan umum bebas membeli BBM bersubsidi dengan harga lama Rp4.500 per liter, sedangkan kendaraan pribadi dengan harga baru antara Rp6.500-Rp7.000 per liter.
Kebijakan itu diperkirakan akan menghemat sekitar Rp20 triliun. Untuk menekan dampak kenaikan harga BBM tersebut, pemerintah akan mempercepat dan menambah dana pelaksanaan program sosial yang ada. Kita ambil beberapa contoh.
Beras untuk rakyat miskin 2.795.561,5 ton, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) lewat Kemenag Rp12,5 triliun, BOS Pendidikan Menengah oleh Kemendikbud Rp3,8 triliun, Bantuan Siswa Miskin Rp10,2 triliun, Jamkesmas dan Jampersal Rp7,3 triliun, PNPM Mandiri Rp2,2 triliun, dan PKH/Bantuan Tunai Bersyarat Rp2,9 triliun (Harian Kontan, 17 April 2013).
Bagaimana implikasi kenaikan laju inflasi terhadap perbankan nasional? Sebelum melangkah lebih jauh, bolehlah kita melongok kinerja bank umum. Menurut Statistik Perbankan Indonesia edisi 10 April 2013, kredit bank umum sangat subur 22,82% dari Rp2.121 triliun per Februari 2012 menjadi Rp2.605 triliun per Februari 2013.
Sementara dana pihak ketiga (DPK) tumbuh kalah subur 12,59% dari Rp2.700 triliun menjadi Rp3.089 triliun. Pertumbuhan itu mampu membuat loan to deposit ratio (LDR) naik dari 79,43% menjadi 84,35% di tengah rasio ideal 78- 100%. Dari enam kelompok bank, hanya Kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang belum sanggup mencapai LDR minimal 78%, melainkan baru 74,42%.
Apa artinya LDR minimal 78%? Artinya, ketika satu bank dapat menghimpun DPK Rp100 triliun, bank itu wajib mengucurkan kredit minimal Rp78 triliun. Akibatnya, BPD wajib menambah giro wajib minimum (GWM) 0,1% dari DPK rupiah untuk setiap 1% kekurangan LDR. Pertumbuhan kredit yang subur itu dapat mencetak laba sebelum pajak naik 1,71% dari Rp117 triliun menjadi Rp119 triliun.
Sayangnya, peningkatan laba itu belum cukup untuk mengangkat imbal hasil aset (return on assets/ROA). Rasio itu justru menipis dari 3,62% per Februari 2012 menjadi 2,92% per Februari 2013 menurun dari 3,16% per Januari 2013. Namun, perlu dicatat ROA 3,62% itu dua kali di atas ambang batas 1,5%.
Tegasnya, kualitas aset bank umum tetap prima. Inilah rapor biru bank umum sebagai representasi enam kelompok yaitu Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa, BUSN Nondevisa, BPD, Bank Campuran, dan Bank Asing.
Implikasi
Lagi-lagi, apakah laju inflasi tersebut bakal membawa implikasi bagi bank nasional? Pertama, BI Rate melesat. Rumusnya, ketika inflasi semakin mendaki tinggi bahkan melampaui target inflasi BI, biasanya BI Rateakan ikut mendaki. Tetapi dengan gagah perkasa, BI tetap mempertahankan BI Rate 5,75% sejak awal Februari 2012.
Hal ini menjadi suatu pertanda awal bahwa BI tetap ingin mendorong suku bunga kredit bank nasional untuk tidak naik. Bukan hanya itu, BI pun mengharapkan supaya suku bunga kredit semakin menurun sekalipun pelan.
Kedua, suku bunga kredit melejit. Pada prinsipnya, suku bunga kredit akan mengikuti derap langkah BI Rate. Tatkala BI Rate mulai mendaki, suku bunga kredit segera mengikutinya. Tetapi, sebaliknya ketika BI Rate menurun, suku bunga kredit belum tentu segera ikut menurun. Karena itu, ketika BI Rate tetap pada level 5,75% meskipun inflasi melaju menjadi 5,90%, dapat diharapkan suku bunga kredit bank nasional belum akan naik.
Bagaimana potret suku bunga kredit saat ini? Data BI menunjukkan bahwa suku bunga rata-rata kredit bank umum menurun sedikit dari 11,83% per Februari 2012 menjadi 11,46% per Februari 2013 untuk kredit modal kerja (rupiah). Sementara suku bunga rata-rata kredit bank umum kredit investasi juga menipis dari 11,29% menjadi 11,27%.
Sebaliknya, suku bunga ratarata kredit bank umum untuk kredit konsumsi justru mengalami kenaikan dari 12,90% menjadi 13,22% pada periode yang sama. Wah! Jadi, suku bunga rata-rata kredit bank umum berkisar 11,46% dan 13,22% per Februari 2013. Upaya BI untuk menekan penurunan suku bunga kredit memang boleh dikatakan tak pernah surut. Jauh sebelumnya, BI sudah menggebrak dengan kebijakan suku bunga dasar kredit (SBDK) (prime lending rates).
Maka mulai 31 Maret 2011, bank nasional dengan total aset minimal Rp10 triliun wajib mengumumkan SBDK untuk kredit korporasi, kredit ritel, dan kredit konsumsi (kredit pemilikan rumah/KPR dan non- KPR). Upaya tersebut terus digeber dengan kebijakan lebih hebat. Pada 15 Januari 2013, BI menerbitkan Surat Edaran Nomor 15/1/DPNP tentang Transpa-ransi SBDK Mikro.
Kebijakan tersebut untuk menekan kredit mikro yang masih bertengger tinggi sekitar 30% seperti yang disampaikan Gubernur BI pada Pertemuan Tahunan Perbankan menjelang akhir tahun 2012. Sebagai gambaran bagaimana tingginya kredit mikro, kita cermati perkembangan suku bunga rata-rata kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang menurun pelan dari 31,98% per Februari 2012 menjadi 30,69% per Februari 2013 untuk kredit modal kerja.
Sementara suku bunga rata-rata kredit untuk kredit investasi juga menipis dari 28,33% menjadi 26,59% dan dari 27,12% menjadi 25,87% untuk kredit konsumsi pada periode yang sama. Namun, BI pun wajib mengawal nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mengapa? Ketika nilai tukar rupiah semakin liar, BI Ratebisa tergoda untuk melonjak ke atas.
Untuk itu, sudah barang tentu BI akan tiada henti melakukan intervensi pasar. Kebijakan BI dengan menambah fungsi trustee kepada bank nasional yang memenuhi syarat merupakan langkah jitu dalam mengelola devisa hasil ekspor (DHE). Saat ini baru dua bank pemerintah yang telah mengantongi izin sebagai trustee bank.
Harapan
Tidak berhenti di situ. Pemerintah pun wajib menjaga kondisi fiskal khususnya neraca perdagangan nasional sehingga kembali naik. Sebab itu, ketika pendekar moneter dan fiskal mampu berkoordinasi dengan mesra, inflasi nilai tukar rupiah dan neraca perdagangan nasional dapat dikendalikan sedemikian rupa.
Langkah itu akan menjadi modal dasar dalam memelihara stabilitas kinerja kredit bank nasional yang akan menggerakkan roda sektor riil kian kencang. Alhasil, hal itu diharapkan dapat mengerek tingkat pertumbuhan ekonomi nasional pada level 6,5% di tengah krisis global yang belum mereda.
PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
Apakah inflasi akan segera menjadi jinak? Jangan lupa, tingkat inflasi tahunan 5,90% tersebut sudah berada di atas target inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) 4,5% plus minus 1% pada 2013 dan 2014. Artinya, inflasi belum akan berhenti. Mengapa? Karena masih ada beberapa faktor yang menghadang di depan.
Sebut saja, kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 15% mulai 2013. Ada yang lebih signifikan yakni rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pemerintah merencanakan untuk membuat dua harga (dual price) BBM bersubsidi. Motor dan kendaraan umum bebas membeli BBM bersubsidi dengan harga lama Rp4.500 per liter, sedangkan kendaraan pribadi dengan harga baru antara Rp6.500-Rp7.000 per liter.
Kebijakan itu diperkirakan akan menghemat sekitar Rp20 triliun. Untuk menekan dampak kenaikan harga BBM tersebut, pemerintah akan mempercepat dan menambah dana pelaksanaan program sosial yang ada. Kita ambil beberapa contoh.
Beras untuk rakyat miskin 2.795.561,5 ton, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) lewat Kemenag Rp12,5 triliun, BOS Pendidikan Menengah oleh Kemendikbud Rp3,8 triliun, Bantuan Siswa Miskin Rp10,2 triliun, Jamkesmas dan Jampersal Rp7,3 triliun, PNPM Mandiri Rp2,2 triliun, dan PKH/Bantuan Tunai Bersyarat Rp2,9 triliun (Harian Kontan, 17 April 2013).
Bagaimana implikasi kenaikan laju inflasi terhadap perbankan nasional? Sebelum melangkah lebih jauh, bolehlah kita melongok kinerja bank umum. Menurut Statistik Perbankan Indonesia edisi 10 April 2013, kredit bank umum sangat subur 22,82% dari Rp2.121 triliun per Februari 2012 menjadi Rp2.605 triliun per Februari 2013.
Sementara dana pihak ketiga (DPK) tumbuh kalah subur 12,59% dari Rp2.700 triliun menjadi Rp3.089 triliun. Pertumbuhan itu mampu membuat loan to deposit ratio (LDR) naik dari 79,43% menjadi 84,35% di tengah rasio ideal 78- 100%. Dari enam kelompok bank, hanya Kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang belum sanggup mencapai LDR minimal 78%, melainkan baru 74,42%.
Apa artinya LDR minimal 78%? Artinya, ketika satu bank dapat menghimpun DPK Rp100 triliun, bank itu wajib mengucurkan kredit minimal Rp78 triliun. Akibatnya, BPD wajib menambah giro wajib minimum (GWM) 0,1% dari DPK rupiah untuk setiap 1% kekurangan LDR. Pertumbuhan kredit yang subur itu dapat mencetak laba sebelum pajak naik 1,71% dari Rp117 triliun menjadi Rp119 triliun.
Sayangnya, peningkatan laba itu belum cukup untuk mengangkat imbal hasil aset (return on assets/ROA). Rasio itu justru menipis dari 3,62% per Februari 2012 menjadi 2,92% per Februari 2013 menurun dari 3,16% per Januari 2013. Namun, perlu dicatat ROA 3,62% itu dua kali di atas ambang batas 1,5%.
Tegasnya, kualitas aset bank umum tetap prima. Inilah rapor biru bank umum sebagai representasi enam kelompok yaitu Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa, BUSN Nondevisa, BPD, Bank Campuran, dan Bank Asing.
Implikasi
Lagi-lagi, apakah laju inflasi tersebut bakal membawa implikasi bagi bank nasional? Pertama, BI Rate melesat. Rumusnya, ketika inflasi semakin mendaki tinggi bahkan melampaui target inflasi BI, biasanya BI Rateakan ikut mendaki. Tetapi dengan gagah perkasa, BI tetap mempertahankan BI Rate 5,75% sejak awal Februari 2012.
Hal ini menjadi suatu pertanda awal bahwa BI tetap ingin mendorong suku bunga kredit bank nasional untuk tidak naik. Bukan hanya itu, BI pun mengharapkan supaya suku bunga kredit semakin menurun sekalipun pelan.
Kedua, suku bunga kredit melejit. Pada prinsipnya, suku bunga kredit akan mengikuti derap langkah BI Rate. Tatkala BI Rate mulai mendaki, suku bunga kredit segera mengikutinya. Tetapi, sebaliknya ketika BI Rate menurun, suku bunga kredit belum tentu segera ikut menurun. Karena itu, ketika BI Rate tetap pada level 5,75% meskipun inflasi melaju menjadi 5,90%, dapat diharapkan suku bunga kredit bank nasional belum akan naik.
Bagaimana potret suku bunga kredit saat ini? Data BI menunjukkan bahwa suku bunga rata-rata kredit bank umum menurun sedikit dari 11,83% per Februari 2012 menjadi 11,46% per Februari 2013 untuk kredit modal kerja (rupiah). Sementara suku bunga rata-rata kredit bank umum kredit investasi juga menipis dari 11,29% menjadi 11,27%.
Sebaliknya, suku bunga ratarata kredit bank umum untuk kredit konsumsi justru mengalami kenaikan dari 12,90% menjadi 13,22% pada periode yang sama. Wah! Jadi, suku bunga rata-rata kredit bank umum berkisar 11,46% dan 13,22% per Februari 2013. Upaya BI untuk menekan penurunan suku bunga kredit memang boleh dikatakan tak pernah surut. Jauh sebelumnya, BI sudah menggebrak dengan kebijakan suku bunga dasar kredit (SBDK) (prime lending rates).
Maka mulai 31 Maret 2011, bank nasional dengan total aset minimal Rp10 triliun wajib mengumumkan SBDK untuk kredit korporasi, kredit ritel, dan kredit konsumsi (kredit pemilikan rumah/KPR dan non- KPR). Upaya tersebut terus digeber dengan kebijakan lebih hebat. Pada 15 Januari 2013, BI menerbitkan Surat Edaran Nomor 15/1/DPNP tentang Transpa-ransi SBDK Mikro.
Kebijakan tersebut untuk menekan kredit mikro yang masih bertengger tinggi sekitar 30% seperti yang disampaikan Gubernur BI pada Pertemuan Tahunan Perbankan menjelang akhir tahun 2012. Sebagai gambaran bagaimana tingginya kredit mikro, kita cermati perkembangan suku bunga rata-rata kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang menurun pelan dari 31,98% per Februari 2012 menjadi 30,69% per Februari 2013 untuk kredit modal kerja.
Sementara suku bunga rata-rata kredit untuk kredit investasi juga menipis dari 28,33% menjadi 26,59% dan dari 27,12% menjadi 25,87% untuk kredit konsumsi pada periode yang sama. Namun, BI pun wajib mengawal nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mengapa? Ketika nilai tukar rupiah semakin liar, BI Ratebisa tergoda untuk melonjak ke atas.
Untuk itu, sudah barang tentu BI akan tiada henti melakukan intervensi pasar. Kebijakan BI dengan menambah fungsi trustee kepada bank nasional yang memenuhi syarat merupakan langkah jitu dalam mengelola devisa hasil ekspor (DHE). Saat ini baru dua bank pemerintah yang telah mengantongi izin sebagai trustee bank.
Harapan
Tidak berhenti di situ. Pemerintah pun wajib menjaga kondisi fiskal khususnya neraca perdagangan nasional sehingga kembali naik. Sebab itu, ketika pendekar moneter dan fiskal mampu berkoordinasi dengan mesra, inflasi nilai tukar rupiah dan neraca perdagangan nasional dapat dikendalikan sedemikian rupa.
Langkah itu akan menjadi modal dasar dalam memelihara stabilitas kinerja kredit bank nasional yang akan menggerakkan roda sektor riil kian kencang. Alhasil, hal itu diharapkan dapat mengerek tingkat pertumbuhan ekonomi nasional pada level 6,5% di tengah krisis global yang belum mereda.
PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
(mhd)