Partai makin ribet
A
A
A
Partai Demokrat mengenalkan diri sebagai partai santun. Kesannya anggun, bagai daun rimbun yang diayun angin berembun. Tapi, kelihatannya ribet banget.
Waktu pemilihan ketua umum yang kemudian dimenangi Anas Urbaningrum muncul dugaan ada uang politik berkarung-karung. Anas menyebut dirinya sebagai “anak yang tak dikehendaki”. Seolah dia lembu peteng, anak tidak resmi. Dalam terminologi Jawa mirip nasib bajangkrek, serangga yang malam hari “menangis”, untuk mengingatkan para ibu agar jangan melakukan aborsi. Sewaktu berhenti sebagai ketua umum pun, prosesnya demikian ribet dan penuh spekulasi, sampai ada skandal sprindik.
Siapa pengganti Anas juga masih harus disiasati, diarahkan, dikriteriakan, dan diubah sana-sana. Belum tentu mengakhiri keruwetan yang ada meskipun bantahan bahwa partai ini kompak tetap tersedia. Setelah semua kejadian ini muncul wacana konvensi menampung tokoh di luar partai. Partai NasDem, idem ditto, sami mawon. Bermula dalam bentuk ormas, lalu tumbuh sayap-sayap kekuatan untuk perubahan, tiba-tiba beranteman antar teman yang siap menjadi ketua umum, penentu kebijakan partai.
Seolah tapi benar, partai hanya menghabiskan waktu untuk mengurusi isi perut sendiri, dan bukan memikirkan rakyat pendukungnya apalagi yang tidak mendukung. Seakan tapi sudah, kemenangan utama adalah menjabat presiden partai dan atau anggota Dewan pakar, ahli, atau pengurus inti, atau DPD atau DPC.
Birokrasi Partai
Demikian partai demikian juga tokoh-tokohnya. Yenny Wahid sempat merapat ke Demokrat, padahal sempat bikin partai dan memperoleh simpati rakyat. Mantan Kabareskrim Susno Duadji muncul di barisan Partai Bulan Bintang. Tak ada yang salah dengan semua ini, juga tak harus disalahkan. Juga kalau yang namanya KPU, Bawaslu, semua serba lu, bukan gue molor waktu atau ngebodor dengan peraturan yang sudah dibuat dan disepakati sebelumnya.
Kemudian menjadi pertanyaan sederhana: kalau mengurus diri sendiri saja begitu repot dan berlerot-lerot, menangisi dan memarahi ratingsurvei yang melorot, bersitegang dengan yang membelot, bagaimana punya waktu atau mampu memikirkan rakyat? Bagaimana memenangkan pemilu besar nantinya kalau pemilu dalam tubuh sendiri tidak beres? Ketika partai politik gagal menguasai dan mendinamika birokrasi organisasinya, ketika itulah mekanisme birokrasi ganti menyandera.
Keribetan dan atau keributan terjadi oleh hal yang sederhana yang menjadi wacana tidak sederhana karena banyaknya mulut yang berbicara untuk menerangjelaskan hal yang terjadi dalam tubuh partai. Begitu banyak jabatan, dan yang menjabat merasa perlu menjelaskan. Banyaknya jenderal, tapi kurang kopral, membuat garis komando berupa garis patah ke samping kiri-kanan, dan bukan garis lurus ke bawah.
Banyaknya wakil-wakil sekretaris satu, dua, tiga, atau juga wakil-wakil pada setiap pos, yang semula barangkali menjadi tempat tampungan kehormatan, menjadi genangan yang mencari pengakuan. Mereka ini menjadi penjawab yang cekatan, atas bukan pertanyaan. Misalnya dalam mengajukan calegnya. Tiba-tiba nama artis tertentu dimunculkan begitu saja, tanpa latar belakang politik. Bukan tidak mungkin Kiwil yang lugu dan lucu juga menjadi andalan. Bukan merendahkan Kiwil, melainkan bahkan kader sebuah partai pun ternyata kualitas dan ketenarannya tak bisa menyamai Kiwil yang sukses menemukan istri-istri baru.
Konotasi Partai
Padahal masyarakat tak begitu peduli internal partai, atau malah capai dengan masalah intern, terutama ketidakcakapan menjelaskan dengan jujur dan terbuka. Rakyat yang menjadi sangat penting untuk dirayu dan diperoleh suaranya adalah pribadi yang sederhana. Pilihan yang akan diberikan, atau tidak diberikan, lebih bergantung pada seberapa mereka mampu menerima. Itu bukan sesuatu yang harus rumit, sesuatu yang masih ribet dengan dirinya.
Kalau ini diterima sebagai pendekatan, partai yang tidak menyita perhatian urusan internal, pasti lebih berkenan. Semakin ruwet menjelaskan atau membela diri biasanya dengan dusta selanjutnya atau ada yang ditutupi, semakin dijauhi. Semakin jauh lagi ketika pengertian politik menjadi alergi. Karena semua kata yang dikaitkan politik menjadi kotor, menjadi tidak bermartabat. Kata transaksi, atau dagang sapi adalah kata netral, yang begitu menjadi transaksi politik, atau politik dagang sapi pengertiannya menegasi apa yang biasa.
Biasanya sudah ada jalur keluar dari pilihan semacam ini yaitu tidak memilih alias golput. Pada titik ini kegagalan partai politik menjadi besar karena mereka ini bahkan menciptakan suasana untuk tidak melibatkan rakyat dalam berpolitik. Ibarat kata selain bunuh diri, partai politik juga membunuh pengertian berpolitik atau berdemokrasi. Ini kegagalan terbesar partai politik mendewasakan dan mencerdaskan rakyat. Jalan keluarnya antara lain memang tidak memamerkan keribetan, dan terutama sekali, memihak pada rakyat. Keterpihakan ini juga menjadi bentuk sederhana, ungkapan sederhana yang biasa-biasa.
Ada kesesuaian apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Rangkaian peristiwa yang berlangsung mendewasakan rakyat. Sebenarnya rakyat tak pernah meninggalkan partai politik, hanya partai politik yang mengabaikan, meninggalkan, dan kadang melukai. Baik semasa masih berada dalam partai, atau ketika menjadi wakil rakyat, atau pejabat atau menteri, atau presiden sekali pun. Pencitraan terbaik adalah memang maksud baik dan dilakukan dengan cara yang baik pula. Itu bukan yang ribet. Ribet karena anggota atau pimpinannya termasuk anak, istri, korupsi, dan lebih ribet ketika membela diri.
ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan
Waktu pemilihan ketua umum yang kemudian dimenangi Anas Urbaningrum muncul dugaan ada uang politik berkarung-karung. Anas menyebut dirinya sebagai “anak yang tak dikehendaki”. Seolah dia lembu peteng, anak tidak resmi. Dalam terminologi Jawa mirip nasib bajangkrek, serangga yang malam hari “menangis”, untuk mengingatkan para ibu agar jangan melakukan aborsi. Sewaktu berhenti sebagai ketua umum pun, prosesnya demikian ribet dan penuh spekulasi, sampai ada skandal sprindik.
Siapa pengganti Anas juga masih harus disiasati, diarahkan, dikriteriakan, dan diubah sana-sana. Belum tentu mengakhiri keruwetan yang ada meskipun bantahan bahwa partai ini kompak tetap tersedia. Setelah semua kejadian ini muncul wacana konvensi menampung tokoh di luar partai. Partai NasDem, idem ditto, sami mawon. Bermula dalam bentuk ormas, lalu tumbuh sayap-sayap kekuatan untuk perubahan, tiba-tiba beranteman antar teman yang siap menjadi ketua umum, penentu kebijakan partai.
Seolah tapi benar, partai hanya menghabiskan waktu untuk mengurusi isi perut sendiri, dan bukan memikirkan rakyat pendukungnya apalagi yang tidak mendukung. Seakan tapi sudah, kemenangan utama adalah menjabat presiden partai dan atau anggota Dewan pakar, ahli, atau pengurus inti, atau DPD atau DPC.
Birokrasi Partai
Demikian partai demikian juga tokoh-tokohnya. Yenny Wahid sempat merapat ke Demokrat, padahal sempat bikin partai dan memperoleh simpati rakyat. Mantan Kabareskrim Susno Duadji muncul di barisan Partai Bulan Bintang. Tak ada yang salah dengan semua ini, juga tak harus disalahkan. Juga kalau yang namanya KPU, Bawaslu, semua serba lu, bukan gue molor waktu atau ngebodor dengan peraturan yang sudah dibuat dan disepakati sebelumnya.
Kemudian menjadi pertanyaan sederhana: kalau mengurus diri sendiri saja begitu repot dan berlerot-lerot, menangisi dan memarahi ratingsurvei yang melorot, bersitegang dengan yang membelot, bagaimana punya waktu atau mampu memikirkan rakyat? Bagaimana memenangkan pemilu besar nantinya kalau pemilu dalam tubuh sendiri tidak beres? Ketika partai politik gagal menguasai dan mendinamika birokrasi organisasinya, ketika itulah mekanisme birokrasi ganti menyandera.
Keribetan dan atau keributan terjadi oleh hal yang sederhana yang menjadi wacana tidak sederhana karena banyaknya mulut yang berbicara untuk menerangjelaskan hal yang terjadi dalam tubuh partai. Begitu banyak jabatan, dan yang menjabat merasa perlu menjelaskan. Banyaknya jenderal, tapi kurang kopral, membuat garis komando berupa garis patah ke samping kiri-kanan, dan bukan garis lurus ke bawah.
Banyaknya wakil-wakil sekretaris satu, dua, tiga, atau juga wakil-wakil pada setiap pos, yang semula barangkali menjadi tempat tampungan kehormatan, menjadi genangan yang mencari pengakuan. Mereka ini menjadi penjawab yang cekatan, atas bukan pertanyaan. Misalnya dalam mengajukan calegnya. Tiba-tiba nama artis tertentu dimunculkan begitu saja, tanpa latar belakang politik. Bukan tidak mungkin Kiwil yang lugu dan lucu juga menjadi andalan. Bukan merendahkan Kiwil, melainkan bahkan kader sebuah partai pun ternyata kualitas dan ketenarannya tak bisa menyamai Kiwil yang sukses menemukan istri-istri baru.
Konotasi Partai
Padahal masyarakat tak begitu peduli internal partai, atau malah capai dengan masalah intern, terutama ketidakcakapan menjelaskan dengan jujur dan terbuka. Rakyat yang menjadi sangat penting untuk dirayu dan diperoleh suaranya adalah pribadi yang sederhana. Pilihan yang akan diberikan, atau tidak diberikan, lebih bergantung pada seberapa mereka mampu menerima. Itu bukan sesuatu yang harus rumit, sesuatu yang masih ribet dengan dirinya.
Kalau ini diterima sebagai pendekatan, partai yang tidak menyita perhatian urusan internal, pasti lebih berkenan. Semakin ruwet menjelaskan atau membela diri biasanya dengan dusta selanjutnya atau ada yang ditutupi, semakin dijauhi. Semakin jauh lagi ketika pengertian politik menjadi alergi. Karena semua kata yang dikaitkan politik menjadi kotor, menjadi tidak bermartabat. Kata transaksi, atau dagang sapi adalah kata netral, yang begitu menjadi transaksi politik, atau politik dagang sapi pengertiannya menegasi apa yang biasa.
Biasanya sudah ada jalur keluar dari pilihan semacam ini yaitu tidak memilih alias golput. Pada titik ini kegagalan partai politik menjadi besar karena mereka ini bahkan menciptakan suasana untuk tidak melibatkan rakyat dalam berpolitik. Ibarat kata selain bunuh diri, partai politik juga membunuh pengertian berpolitik atau berdemokrasi. Ini kegagalan terbesar partai politik mendewasakan dan mencerdaskan rakyat. Jalan keluarnya antara lain memang tidak memamerkan keribetan, dan terutama sekali, memihak pada rakyat. Keterpihakan ini juga menjadi bentuk sederhana, ungkapan sederhana yang biasa-biasa.
Ada kesesuaian apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Rangkaian peristiwa yang berlangsung mendewasakan rakyat. Sebenarnya rakyat tak pernah meninggalkan partai politik, hanya partai politik yang mengabaikan, meninggalkan, dan kadang melukai. Baik semasa masih berada dalam partai, atau ketika menjadi wakil rakyat, atau pejabat atau menteri, atau presiden sekali pun. Pencitraan terbaik adalah memang maksud baik dan dilakukan dengan cara yang baik pula. Itu bukan yang ribet. Ribet karena anggota atau pimpinannya termasuk anak, istri, korupsi, dan lebih ribet ketika membela diri.
ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan
(mhd)