Solidaritas buta dan kekerasan
A
A
A
Dua kelompok besar yang sedang bertarung dengan mata gelap seolah hingga titik darah penghabisan itu sulit dibedakan. Semua jenis identitas ditanggalkan. Tanda-tanda atau simbol yang menyangkut nama dan keluhuran sekolah tak ada yang menempel pada tubuh mereka atau pada benda-benda yang mereka bawa.
Bahkan kelembutan dan belas kasihan atau sejenis sikap kesatria yang meluhurkan musuh yang sudah takluk tak lagi terdapat di dalam jiwa mereka. Rasa kemanusiaan ditanggalkan dan sikap kesatria tak perlu dibawa-bawa. Mereka bangga bisa membikin macet total sebuah jalan utama di Kebayoran itu. Mobil-mobil, bus, taksi, bajai, motor, ojek, semua benda yang merayap dengan tenaga bensin berhenti.
Para pengendara, para sopir, para pemilik mengumpat dan mengutuk dengan segenap sumpah serapah. Yang lain mengelus dada dengan keheranan yang tak menemukan jawaban. Tapi semua, tanpa kecuali, berusaha sebaik mungkin mencari keselamatan. Maka, tanpa minta izin polisi, yang juga bingung menghadapi keadaan, semua jenis kendaraan itu berbalik arah.
Tentu saja hal itu tidak mudah. Kemacetan yang mencemaskan berlangsung lama dan semua berharap jangan sampai ada batu nyasar yang keluar dari arena para “dedemit” muda yang dengan bangga sedang pamer tindak kekerasan itu. Pelan tapi terjamin bisa berlangsung, kendaraan yang berbalik arah itu tak sudi menjadi saksi hidup bagi tindak kekerasan di jalanan yang hanya mengumbar keberanian tanpa makna itu.
Patut dicatat di sini bahwa mereka bukan sekadar menyelamatkan diri dan menjaga mobil mereka yang berkilap, tapi mereka berbalik arah karena tak ingin melihat sebuah kekerasan terjadi hampir tanpa alasan. Kita semua tahu, kecuali batu, mereka juga membawa pedang (“langit”), golok (“pembunuh naga”) , tombak, celurit, kapak besar gaya Ramaparasu atau Wirasaba, dan jenis-jenis senjata mematikan lainnya.
Memuja Kekerasan, Menjadikannya Dagangan
Perkara besar apa yang sedang mereka perjuangkan? Rupanya, pertarungan dalam perang ruwet, seolah seperti “semua melawan semua” macam itu, yang sangat mungkin menimbulkan korban jiwa atau luka-luka parah, tak harus ada alasannya. Sudah sangat sering kita saksikan sendiri atau kita baca beritanya di televisi, pertempuran itu tidak demi membela suatu kepentingan ideologi.
Juga tidak dipicu oleh suatu alasan politis atau sentimen penting dan sensitif, yang menjadikan pertempuran itu bisa dipahami akal sehat kita. Keadaan zaman yang penuh kekerasan membuat semua itu menjadi layak dan pantas terjadi biarpun sekali lagi nyaris tanpa alasan seperti disebut di atas. Lalu pelan-pelan, wabah kejiwaan dan penyakit sosial ini menyebar dan berjangkit ke mana-mana.
Di Makassar, ada sebuah universitas yang agaknya lebih suka menjadikan kekerasan seperti ini sebagai kegiatan “sampingan”, mungkin unsur “tambahan” yang kelihatannya membuat para mahasiswa makin bangga tampil gagah. Apalagi diberitakan dan mungkin wajah ganas mereka pun dijadikan ilustrasi oleh kehausan televisi di Jakarta, yang diam-diam ikut “memuja” kekerasan sebagai barang dagangan.
Solidaritas Buta, Membabi Buta
Para murid sekolah menengah atas juga para mahasiswa hanyalah anak-anak. Meskipun begitu, tindakan mereka yang cenderung “brutal” patut disesali, mengapa hal itu melembaga sebagai suatu psikopatologi sosial di tengah kehidupan kita. Keluarga, sekolah, masyarakat tak berdaya mengendalikannya. Maka penyesalan tak ada artinya. Tangis, biarpun air mata ibaratnya menjadi darah, tak menyelesaikan masalah.
Apa dosa bangsa kita? Mengapa kita menjadi bangsa terkutuk dan dipermalukan oleh “polah-tingkah” tak terpuji dari anak-anak kita sendiri? Mengapa kita dipermalukan sedemikian rupa hingga kita tak berdaya? Apa yang harus kita perbaiki di dalam tingkah laku kita sehari-hari? Mungkin karena kita munafik. Fenomena tawuran, yang memamerkan kekerasan itu, terjadi sejak 1970-an.
Lalu berlanjut pada 1980-an, diteruskan hingga 1990-an dan sekarang. Orangtua juga penggede masyarakat dulu munafik. Citra sosialnya seolah bersih. Citra dirinya buruk dan penuh noda, tetapi ditutup-tutupi dengan ibadah, dengan sedekah, dengan wajah seolah murah hati, suka bederma, dan bersih jiwanya. Kita bicara rohani, dibimbing ahli-ahli rohani, tapi kita menyimpang dan melakukan korupsi.
Meskipun hasil penyimpangan itu disedekahkan dan disumbangkan untuk membangun rumah-rumah ibadah, penyimpangan tetap penyimpangan dan itu kemunafikan tadi. Apalagi kita beribadah dengan menggunakan biaya negara. Lebih parah. Ada lagi hal yang lebih dari itu: berbuat buruk di luar rumah dengan biaya negara. Ada benarnya dan agak masuk akal jika kita lalu menjadi bangsa terkutuk.
Soalnya, apa yang dilakukan para ayah, para bapak, dan para penggede masyarakat tadi diam-diam juga dilakukan anak-anaknya. Kini anak-anaknya sudah pula menduduki posisi penting di dalam masyarakat. Anehkah bila anak-anak mereka itu juga melakukan apa yang dicontohkan dan diajarkan oleh para bapak mereka? Tukang tawuran itu sering bicara solidaritas. Boleh jadi ada seorang bisa juga beberapa orang teman mereka disergap atau dikalahkan anak-anak dari kelompok lain.
Apa alasannya, mereka sendiri yang salah atau sekadar kekeliruan kecil yang bisa dilupakan, tak diulas lagi. Demi apa yang namanya solidaritas pada teman dan ini sering menjadi solidaritas buta, mereka ganti mengamuk, mengobrak-abrik dan memorakporandakan kehidupan pihak lain yang notabene kita sebut sebangsa, setanah air, dan yang bicara dalam bahasa yang sama.
Mengapa solidaritas agar tak menjadi solidaritas buta tak ditujukan ke hal-hal lebih besar, yang mengandung nilai agung yang layak diagungkan, untuk menjadi Indonesia dalam citra seutuhnya yang solid dan berbagi rasa bangga bersama? Solidaritas pada teman, misalnya sesama tentara, sesama polisi, sesama jaksa, sesama hakim, sesama NU, sesama Muhammadiyah, sesama PMII, sesama HMI, sesama KAHMI, sesama pegawai negeri, bahkan teman sedesa, sekampung, dan ada hubungan darah, itu mulia. Solidaritas itu penting dan harus dijaga.
Tapi kalau teman kita salah mungkin secara hukum haruskah kita perlihatkan solidaritas pada teman itu tapi mengoyak dan menyayat solidaritas pada nilai yang agung tadi, nilai keindonesiaan untuk menjadi Indonesia yang solid dan luhur, hingga layak dibanggakan? Teman yang salah secara hukum, meski belum dibuktikan, telah mencoreng keindonesiaan. Maka kepadanya, solidaritas yang kita berikan, menjadi solidaritas buta.
Dan, sekali lagi, dia buta karena tak menimbang kebutuhan untuk menaruh solidaritas yang lebih besar dan lebih luhur. Kalau sikap kita dikritik keras pihak lain dan kita balas mengkritik disertai kedengkian, itu sudah merupakan kekerasan. Apalagi kalau sesudah kritik disusul serangan.
Setop, setop. Sebaiknya setop. Demi masa, demi Indonesia, kita telah sampai pada batas dari mana kita tak mungkin lagi go beyond. Solidaritas buta, yang mengandung potensi kekerasan, tak layak diperlihatkan kepada orang lain.
MOHAMAD SOBARY Esais
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
Bahkan kelembutan dan belas kasihan atau sejenis sikap kesatria yang meluhurkan musuh yang sudah takluk tak lagi terdapat di dalam jiwa mereka. Rasa kemanusiaan ditanggalkan dan sikap kesatria tak perlu dibawa-bawa. Mereka bangga bisa membikin macet total sebuah jalan utama di Kebayoran itu. Mobil-mobil, bus, taksi, bajai, motor, ojek, semua benda yang merayap dengan tenaga bensin berhenti.
Para pengendara, para sopir, para pemilik mengumpat dan mengutuk dengan segenap sumpah serapah. Yang lain mengelus dada dengan keheranan yang tak menemukan jawaban. Tapi semua, tanpa kecuali, berusaha sebaik mungkin mencari keselamatan. Maka, tanpa minta izin polisi, yang juga bingung menghadapi keadaan, semua jenis kendaraan itu berbalik arah.
Tentu saja hal itu tidak mudah. Kemacetan yang mencemaskan berlangsung lama dan semua berharap jangan sampai ada batu nyasar yang keluar dari arena para “dedemit” muda yang dengan bangga sedang pamer tindak kekerasan itu. Pelan tapi terjamin bisa berlangsung, kendaraan yang berbalik arah itu tak sudi menjadi saksi hidup bagi tindak kekerasan di jalanan yang hanya mengumbar keberanian tanpa makna itu.
Patut dicatat di sini bahwa mereka bukan sekadar menyelamatkan diri dan menjaga mobil mereka yang berkilap, tapi mereka berbalik arah karena tak ingin melihat sebuah kekerasan terjadi hampir tanpa alasan. Kita semua tahu, kecuali batu, mereka juga membawa pedang (“langit”), golok (“pembunuh naga”) , tombak, celurit, kapak besar gaya Ramaparasu atau Wirasaba, dan jenis-jenis senjata mematikan lainnya.
Memuja Kekerasan, Menjadikannya Dagangan
Perkara besar apa yang sedang mereka perjuangkan? Rupanya, pertarungan dalam perang ruwet, seolah seperti “semua melawan semua” macam itu, yang sangat mungkin menimbulkan korban jiwa atau luka-luka parah, tak harus ada alasannya. Sudah sangat sering kita saksikan sendiri atau kita baca beritanya di televisi, pertempuran itu tidak demi membela suatu kepentingan ideologi.
Juga tidak dipicu oleh suatu alasan politis atau sentimen penting dan sensitif, yang menjadikan pertempuran itu bisa dipahami akal sehat kita. Keadaan zaman yang penuh kekerasan membuat semua itu menjadi layak dan pantas terjadi biarpun sekali lagi nyaris tanpa alasan seperti disebut di atas. Lalu pelan-pelan, wabah kejiwaan dan penyakit sosial ini menyebar dan berjangkit ke mana-mana.
Di Makassar, ada sebuah universitas yang agaknya lebih suka menjadikan kekerasan seperti ini sebagai kegiatan “sampingan”, mungkin unsur “tambahan” yang kelihatannya membuat para mahasiswa makin bangga tampil gagah. Apalagi diberitakan dan mungkin wajah ganas mereka pun dijadikan ilustrasi oleh kehausan televisi di Jakarta, yang diam-diam ikut “memuja” kekerasan sebagai barang dagangan.
Solidaritas Buta, Membabi Buta
Para murid sekolah menengah atas juga para mahasiswa hanyalah anak-anak. Meskipun begitu, tindakan mereka yang cenderung “brutal” patut disesali, mengapa hal itu melembaga sebagai suatu psikopatologi sosial di tengah kehidupan kita. Keluarga, sekolah, masyarakat tak berdaya mengendalikannya. Maka penyesalan tak ada artinya. Tangis, biarpun air mata ibaratnya menjadi darah, tak menyelesaikan masalah.
Apa dosa bangsa kita? Mengapa kita menjadi bangsa terkutuk dan dipermalukan oleh “polah-tingkah” tak terpuji dari anak-anak kita sendiri? Mengapa kita dipermalukan sedemikian rupa hingga kita tak berdaya? Apa yang harus kita perbaiki di dalam tingkah laku kita sehari-hari? Mungkin karena kita munafik. Fenomena tawuran, yang memamerkan kekerasan itu, terjadi sejak 1970-an.
Lalu berlanjut pada 1980-an, diteruskan hingga 1990-an dan sekarang. Orangtua juga penggede masyarakat dulu munafik. Citra sosialnya seolah bersih. Citra dirinya buruk dan penuh noda, tetapi ditutup-tutupi dengan ibadah, dengan sedekah, dengan wajah seolah murah hati, suka bederma, dan bersih jiwanya. Kita bicara rohani, dibimbing ahli-ahli rohani, tapi kita menyimpang dan melakukan korupsi.
Meskipun hasil penyimpangan itu disedekahkan dan disumbangkan untuk membangun rumah-rumah ibadah, penyimpangan tetap penyimpangan dan itu kemunafikan tadi. Apalagi kita beribadah dengan menggunakan biaya negara. Lebih parah. Ada lagi hal yang lebih dari itu: berbuat buruk di luar rumah dengan biaya negara. Ada benarnya dan agak masuk akal jika kita lalu menjadi bangsa terkutuk.
Soalnya, apa yang dilakukan para ayah, para bapak, dan para penggede masyarakat tadi diam-diam juga dilakukan anak-anaknya. Kini anak-anaknya sudah pula menduduki posisi penting di dalam masyarakat. Anehkah bila anak-anak mereka itu juga melakukan apa yang dicontohkan dan diajarkan oleh para bapak mereka? Tukang tawuran itu sering bicara solidaritas. Boleh jadi ada seorang bisa juga beberapa orang teman mereka disergap atau dikalahkan anak-anak dari kelompok lain.
Apa alasannya, mereka sendiri yang salah atau sekadar kekeliruan kecil yang bisa dilupakan, tak diulas lagi. Demi apa yang namanya solidaritas pada teman dan ini sering menjadi solidaritas buta, mereka ganti mengamuk, mengobrak-abrik dan memorakporandakan kehidupan pihak lain yang notabene kita sebut sebangsa, setanah air, dan yang bicara dalam bahasa yang sama.
Mengapa solidaritas agar tak menjadi solidaritas buta tak ditujukan ke hal-hal lebih besar, yang mengandung nilai agung yang layak diagungkan, untuk menjadi Indonesia dalam citra seutuhnya yang solid dan berbagi rasa bangga bersama? Solidaritas pada teman, misalnya sesama tentara, sesama polisi, sesama jaksa, sesama hakim, sesama NU, sesama Muhammadiyah, sesama PMII, sesama HMI, sesama KAHMI, sesama pegawai negeri, bahkan teman sedesa, sekampung, dan ada hubungan darah, itu mulia. Solidaritas itu penting dan harus dijaga.
Tapi kalau teman kita salah mungkin secara hukum haruskah kita perlihatkan solidaritas pada teman itu tapi mengoyak dan menyayat solidaritas pada nilai yang agung tadi, nilai keindonesiaan untuk menjadi Indonesia yang solid dan luhur, hingga layak dibanggakan? Teman yang salah secara hukum, meski belum dibuktikan, telah mencoreng keindonesiaan. Maka kepadanya, solidaritas yang kita berikan, menjadi solidaritas buta.
Dan, sekali lagi, dia buta karena tak menimbang kebutuhan untuk menaruh solidaritas yang lebih besar dan lebih luhur. Kalau sikap kita dikritik keras pihak lain dan kita balas mengkritik disertai kedengkian, itu sudah merupakan kekerasan. Apalagi kalau sesudah kritik disusul serangan.
Setop, setop. Sebaiknya setop. Demi masa, demi Indonesia, kita telah sampai pada batas dari mana kita tak mungkin lagi go beyond. Solidaritas buta, yang mengandung potensi kekerasan, tak layak diperlihatkan kepada orang lain.
MOHAMAD SOBARY Esais
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
(mhd)