Krisis wibawa hukum
A
A
A
Rentetan peristiwa dalam satu bulan terakhir mengusik rasa aman dan menimbulkan keresahan panjang di benak publik. Hukum dianggap sudah tidak lagi menjadi instrumen yang bisa menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.
Aksi kelompok bersenjata yang mengeksekusi dengan sadis empat tahanan di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta adalah salah satu ungkapan ketidakpercayaan kepada hukum maupun lembaga penegak hukum.
Aksi main hakim sendiri kian hari kian marak hampir di seluruh lapisan masyarakat. Hukum di negara ini sudah kehilangan marwah dan wibawanya. Putusan-putusan hukum di pengadilan yang sering kali menciderai rasa keadilan memberi kontribusi besar terhadap wibawa penegakan hukum.
Kasus hakim, penyidik, dan penegak hukum yang tertangkap tangan menerima suap dari pihak yang beperkara diyakini sebagai puncak gunung es. Secara sinis, publik berkomentar bahwa hakim yang tertangkap menerima segepok uang suap sebenarnya hanya sedang sial alias apes. Praktik suap-menyuap untuk memenangkan perkara bukan hal baru dalam dunia penegakan hukum kita.
Alhasil, siapa yang memiliki uang dan kekuasaan, dia bisa mengendalikan hukum. Paling tidak seperti itulah persepsi penegakan hukum di mata masyarakat. Hukum hanya tajam ke bawah (kaum marjinal, pinggiran, rakyat jelata), tapi tumpul ke atas (penguasa, orang yang memiliki kekuatan kapital besar).
Hukum pun dipersepsikan tebang pilih. Pemberantasan korupsi di kalangan elite juga lekat dengan kecurigaan terhadap langkap rivalitas politik.
Publik yang setiap hari disuguhi dengan drama dan sandiwara penegakan hukum yang penuh kepalsuan, mengambil kesimpulan sendiri bahwa mereka tidak lagi percaya penegakan hukum di negara ini.
Ini bukan lagi lampu kuning (warning), tapi sudah benar-benar lampu merah. Jika tidak ada antisipasi dini dari penyelenggara negara, masyarakat akan semakin anarki karena hukum sudah tidak bisa melindungi mereka. Amuk massa terhadap pelaku kejahatan atau orang yang diduga melakukan kejahatan adalah bentuk reaksi itu.
Bahkan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, seorang kapolsek tewas mengenaskan dikeroyok warga setelah diteriaki maling saat menggerebek tempat perjudian. Ini sangat memilukan dan mengiris rasa kebangsaan kita. Tapi anehnya, tidak ada empati dan langkah konkret yang dilakukan pemerintah. Semua dibiarkan seolah itu hal biasa saja.
Kasus- kasus semacam itu baru direaksi cepat ketika sudah bersinggungan dengan keluarga, kelompok, dan kepentingan elite-elite pemerintah. Jika tidak, jangan harap ada penanganan dan respons cepat.
Inilah potret kewibawaan hukum kita yang tergambar dari peristiwa kekerasan dalam sebulan terakhir. Pantaskah kita menganggap peristiwa-peristiwa itu sebagai kejadian yang biasa saja alias hukum alam?
Di manakah negara ketika masyarakat marah karena sudah tidak percaya lagi pada aparat penegak hukum? Mari kita ketuk, kalau perlu kita gedor ramai-ramai pintu hati nurani para pemimpin kita.
Bukankah pemimpin dan para pejabat pemerintah yang dibayar dengan uang rakyat itu kewajibannya melindungi dan mengayomi masyarakat? Kenapa mereka pilih diam, menghindar, dan sibuk dengan urusan-urusan pribadi yang sebenarnya kurang penting?
Aksi kelompok bersenjata yang mengeksekusi dengan sadis empat tahanan di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta adalah salah satu ungkapan ketidakpercayaan kepada hukum maupun lembaga penegak hukum.
Aksi main hakim sendiri kian hari kian marak hampir di seluruh lapisan masyarakat. Hukum di negara ini sudah kehilangan marwah dan wibawanya. Putusan-putusan hukum di pengadilan yang sering kali menciderai rasa keadilan memberi kontribusi besar terhadap wibawa penegakan hukum.
Kasus hakim, penyidik, dan penegak hukum yang tertangkap tangan menerima suap dari pihak yang beperkara diyakini sebagai puncak gunung es. Secara sinis, publik berkomentar bahwa hakim yang tertangkap menerima segepok uang suap sebenarnya hanya sedang sial alias apes. Praktik suap-menyuap untuk memenangkan perkara bukan hal baru dalam dunia penegakan hukum kita.
Alhasil, siapa yang memiliki uang dan kekuasaan, dia bisa mengendalikan hukum. Paling tidak seperti itulah persepsi penegakan hukum di mata masyarakat. Hukum hanya tajam ke bawah (kaum marjinal, pinggiran, rakyat jelata), tapi tumpul ke atas (penguasa, orang yang memiliki kekuatan kapital besar).
Hukum pun dipersepsikan tebang pilih. Pemberantasan korupsi di kalangan elite juga lekat dengan kecurigaan terhadap langkap rivalitas politik.
Publik yang setiap hari disuguhi dengan drama dan sandiwara penegakan hukum yang penuh kepalsuan, mengambil kesimpulan sendiri bahwa mereka tidak lagi percaya penegakan hukum di negara ini.
Ini bukan lagi lampu kuning (warning), tapi sudah benar-benar lampu merah. Jika tidak ada antisipasi dini dari penyelenggara negara, masyarakat akan semakin anarki karena hukum sudah tidak bisa melindungi mereka. Amuk massa terhadap pelaku kejahatan atau orang yang diduga melakukan kejahatan adalah bentuk reaksi itu.
Bahkan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, seorang kapolsek tewas mengenaskan dikeroyok warga setelah diteriaki maling saat menggerebek tempat perjudian. Ini sangat memilukan dan mengiris rasa kebangsaan kita. Tapi anehnya, tidak ada empati dan langkah konkret yang dilakukan pemerintah. Semua dibiarkan seolah itu hal biasa saja.
Kasus- kasus semacam itu baru direaksi cepat ketika sudah bersinggungan dengan keluarga, kelompok, dan kepentingan elite-elite pemerintah. Jika tidak, jangan harap ada penanganan dan respons cepat.
Inilah potret kewibawaan hukum kita yang tergambar dari peristiwa kekerasan dalam sebulan terakhir. Pantaskah kita menganggap peristiwa-peristiwa itu sebagai kejadian yang biasa saja alias hukum alam?
Di manakah negara ketika masyarakat marah karena sudah tidak percaya lagi pada aparat penegak hukum? Mari kita ketuk, kalau perlu kita gedor ramai-ramai pintu hati nurani para pemimpin kita.
Bukankah pemimpin dan para pejabat pemerintah yang dibayar dengan uang rakyat itu kewajibannya melindungi dan mengayomi masyarakat? Kenapa mereka pilih diam, menghindar, dan sibuk dengan urusan-urusan pribadi yang sebenarnya kurang penting?
(maf)