Buah simalakama SBY
A
A
A
Partai Demokrat menanti gawe besar, yakni kongres luar biasa (KLB) yang akan digelar di Bali pada 30–31 Maret ini. KLB digelar untuk mencari pengganti Anas Urbaningrum yang memilih berhenti sebagai ketua umum partai berlambang bintang mercytersebut.
Lantas, siapakah yang akan terpilih? Secara prosedural, pertanyaan tersebut tentu harus menunggu hasil akhir kongres. Tetapi wacana yang santer berkembang, KLB akan menjadi sarana aklamasi menjadikan SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat.
Wacana ini semakin menguat dengan munculnya berbagai pernyataan elit partai, termasuk pernyataan terakhir yang disampaikan Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Assegaf, yang mengingatkan kader partai yang akan untuk menjadi calon ketua umum agar membatalkan rencananya.
Benarkah SBY akan benar-benar maju sebagai ketua umum? Pertanyaan disampaikan karena sejauh ini SBY belum pernah secara langsung menyatakan sikapnya. Sikap yang dimunculkan baru sebatas teguran keras terhadap Marzuki Alie agar tidak membuat manuver, seperti disampaikan lewat SMS yang beredar di publik.
Selanjutnya, jika benar-benar mengambil langkah tersebut, apakah SBY sudah memikirkan secara matang dampak positif dan negatifnya.
Secara politis, pernyataan Nurhayati dan pendukung SBY sebagai ketua umum bisa dipahami. Sebagai pendiri partai, alumnus Akmil tahun 1974 adalah satu-satunya orang memulihkan kondisi partai yang tengah dilanda krisis.
Krisis dimaksud bisa dipahami akibat konflik internal serta merosotnya kepercayaan rakyat akibat perilaku korup yang ditunjukkan sejumlah kader.
Berkaca pada kongres di Bandung, sejauh ini Partai Demokrat terlihat belum mempunyai kultur politik yang kuat. Akibatnya, persaingan muncul waktu itu, yakni kubu Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, dan Andi Mallarangeng, tidak berhenti pada kongres, tapi terus berkembang dan menjadi pertarungan zero sum game.
Akibatnya, partai pun retak tak berkesudahan yang berakhir dengan berhentinya Anas Urbaningrum sebagai ketua umum.
Partai Demokrat juga terbukti belum mampu membangun etika politik yang menjadi landasan perjuangan kader. Akibatnya, dengan mudah mereka terpancing dan terjebak melakukan tindakan korupsi, seperti ditunjukkan mantan bendahara umum M Nazaruddin dan beberapa kader lain. Kondisi ini tentu menjatuhkan citra partai yang sebelumnya diapresiasi karena antikorupsi.
Dalam suasana seperti inilah, SBY dibutuhkan, yakni menjadi penyeimbang di antara berbagai faksi yang bersaing, serta kembali mengangkat citra partai menghadapi Pemilu 2014 nanti.
Selain untuk kepentingan partai, tentunya sebagai presiden, SBY harus mempertimbangkan kepentingan lebih luas, yakni kepentingan bangsa.
Tak bisa dipungkiri, posisi sebagai ketua umum akan mempengaruhi konsentrasinya berbagai persoalan bangsa yang masih menumpuk. Pada sisi lain, tampilnya SBY dan persaingan ketua umum akan memundurkan demokrasi yang terbangun di Partai Demokrat.
Kondisi ini bukan hanya dilihat kemungkinan penggunaan mekanisme aklamasi, melainkan juga munculnya kecenderungan memuluskan jalan menjadikan SBY sebagai ketua umum dengan menekan kader-kader lain agar tidak maju dan adanya teguran agar tidak ada yang bermanuver.
Lebih dari itu, tampilnya SBY secara langsung memegang kendali kepengurusan partai menunjukkan kegagalan mantan menko polkam itu dalam melakukan kaderisasi di partainya. Lantas, langkah apa yang harus diambil SBY? Sulit memang menentukan. SBY ibarat memakan buah simalakama, serba salah.
Tapi yang pasti, SBY saat ini adalah seorang presiden, yang mempunyai tanggung jawab jauh lebih besar kepada bangsa dan rakyat Indonesia. Karena itu, lebih baik biarkanlah Marzuki Alie, Saan Mustopa, Tridianto, Habib Ahmad Shahab, dan kader lainnya. Beranikah “melepaskan” partai? Kita tunggu saja hasilnya nanti.
Lantas, siapakah yang akan terpilih? Secara prosedural, pertanyaan tersebut tentu harus menunggu hasil akhir kongres. Tetapi wacana yang santer berkembang, KLB akan menjadi sarana aklamasi menjadikan SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat.
Wacana ini semakin menguat dengan munculnya berbagai pernyataan elit partai, termasuk pernyataan terakhir yang disampaikan Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Assegaf, yang mengingatkan kader partai yang akan untuk menjadi calon ketua umum agar membatalkan rencananya.
Benarkah SBY akan benar-benar maju sebagai ketua umum? Pertanyaan disampaikan karena sejauh ini SBY belum pernah secara langsung menyatakan sikapnya. Sikap yang dimunculkan baru sebatas teguran keras terhadap Marzuki Alie agar tidak membuat manuver, seperti disampaikan lewat SMS yang beredar di publik.
Selanjutnya, jika benar-benar mengambil langkah tersebut, apakah SBY sudah memikirkan secara matang dampak positif dan negatifnya.
Secara politis, pernyataan Nurhayati dan pendukung SBY sebagai ketua umum bisa dipahami. Sebagai pendiri partai, alumnus Akmil tahun 1974 adalah satu-satunya orang memulihkan kondisi partai yang tengah dilanda krisis.
Krisis dimaksud bisa dipahami akibat konflik internal serta merosotnya kepercayaan rakyat akibat perilaku korup yang ditunjukkan sejumlah kader.
Berkaca pada kongres di Bandung, sejauh ini Partai Demokrat terlihat belum mempunyai kultur politik yang kuat. Akibatnya, persaingan muncul waktu itu, yakni kubu Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, dan Andi Mallarangeng, tidak berhenti pada kongres, tapi terus berkembang dan menjadi pertarungan zero sum game.
Akibatnya, partai pun retak tak berkesudahan yang berakhir dengan berhentinya Anas Urbaningrum sebagai ketua umum.
Partai Demokrat juga terbukti belum mampu membangun etika politik yang menjadi landasan perjuangan kader. Akibatnya, dengan mudah mereka terpancing dan terjebak melakukan tindakan korupsi, seperti ditunjukkan mantan bendahara umum M Nazaruddin dan beberapa kader lain. Kondisi ini tentu menjatuhkan citra partai yang sebelumnya diapresiasi karena antikorupsi.
Dalam suasana seperti inilah, SBY dibutuhkan, yakni menjadi penyeimbang di antara berbagai faksi yang bersaing, serta kembali mengangkat citra partai menghadapi Pemilu 2014 nanti.
Selain untuk kepentingan partai, tentunya sebagai presiden, SBY harus mempertimbangkan kepentingan lebih luas, yakni kepentingan bangsa.
Tak bisa dipungkiri, posisi sebagai ketua umum akan mempengaruhi konsentrasinya berbagai persoalan bangsa yang masih menumpuk. Pada sisi lain, tampilnya SBY dan persaingan ketua umum akan memundurkan demokrasi yang terbangun di Partai Demokrat.
Kondisi ini bukan hanya dilihat kemungkinan penggunaan mekanisme aklamasi, melainkan juga munculnya kecenderungan memuluskan jalan menjadikan SBY sebagai ketua umum dengan menekan kader-kader lain agar tidak maju dan adanya teguran agar tidak ada yang bermanuver.
Lebih dari itu, tampilnya SBY secara langsung memegang kendali kepengurusan partai menunjukkan kegagalan mantan menko polkam itu dalam melakukan kaderisasi di partainya. Lantas, langkah apa yang harus diambil SBY? Sulit memang menentukan. SBY ibarat memakan buah simalakama, serba salah.
Tapi yang pasti, SBY saat ini adalah seorang presiden, yang mempunyai tanggung jawab jauh lebih besar kepada bangsa dan rakyat Indonesia. Karena itu, lebih baik biarkanlah Marzuki Alie, Saan Mustopa, Tridianto, Habib Ahmad Shahab, dan kader lainnya. Beranikah “melepaskan” partai? Kita tunggu saja hasilnya nanti.
(maf)