Kontroversi untuk Apa?

Jum'at, 22 Maret 2013 - 06:43 WIB
Kontroversi untuk Apa?
Kontroversi untuk Apa?
A A A
Pabrik kontroversi. Sebutan itulah yang mungkin paling pas untuk menggambarkan sepak terjang Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan selama ini.

Kontroversi terakhir yang dibuatnya adalah mangkir dari undangan Komisi IX DPR untuk membahas berbagai soal ketenagakerjaan di BUMN (20/3). Ketidakhadiran yang merupakan kali keempat itu tentu memicu kejengkelan kalangan DPR. Apalagi sebelumnya mereka berupaya mengalah dengan menjemput bos media tersebut ke apartemennya di kawasan SCBD Jakarta.

Tapi Dahlan Iskan tidak bisa ditemui karena yang bersangkutan berada di Makassar demi ber-gangnam style dalam acara yang digelar salah satu jaringan medianya di sana dan kemudian berjalan-jalan menikmati keindahan Pantai Losari. Karena itu, bisa dipahami, kesabaran kalangan DPR pun habis.

Mereka akhirnya menggunakan instrumen pamungkas, akan menjemput paksa Dahlan Iskan. Instrumen yang merupakan bagian dari kewenangan pengawasan legislatif diatur dalam Pasal 72 UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Yang menarik, langkah ini justru mendapat dukungan penuh dari kalangan serikat pekerja BUMN.

Dengan kalangan DPR, Dahlan Iskan tercatat juga melakukan kontroversi yang mengakibatkan dirinya berbenturan dengan Komisi XI, Komisi VI, dan Komisi VII DPR. Belum lagi tudingannya tentang adanya pemerasan sejumlah anggota DPR terhadap BUMN yang belakangan tidak bisa dibuktikan kebenarannya, bahkan beberapa anggota DPR yang semula dituding kemudian dianulirnya.

Dahlan Iskan juga tercatat melakukan beberapa manuver yang memicu kontroversi seperti membuka pintu tol, mengelap toilet Bandara Internasional Soekarno-Hatta, ruwatan dengan dalang Ki Manteb Sudarsono, hingga test drive mobil listrik Tucuxi yang mengalami kecelakaan di kampung halamannya di Magetan, Jawa Timur.

Rangkaian kontroversi tiada habisnya tentu menimbulkan pertanyaan, untuk apa semua itu dilakukan, apalagi jika membuatnya mengalami kecelakaan? Pada awal kepemimpinannya di PLN dan BUMN, langkah tersebut secara rasional masih bisa dipahami sebagai implementasi leadershipdan wujud langkah out of the boxuntuk menghadapi kekakuan birokrasi dan konservatisme di perusahaan negara.

Namun, semakin lama, kontroversi semakin konsisten diproduksi, sementara hasil yang diharapkan banyak yang tidak tercapai. Di PT PLN (Persero), misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan inefisiensi hingga mencapai Rp37 triliun. Masalah tak kalah rumit yang belum bisa diatasi hingga kini adalah karut-marut manajemen PT Merpati Airlines dan malah persoalannya melebar akibat terjadi konflik internal.

Dengan munculnya fakta tersebut, wajar saja jika kemudian timbul kesimpulan lain, jangan-jangan rangkaian kontroversi yang dilakukannya sebatas untuk pembangunan opini publik, rangkaian kontroversi bukanlah bagian upaya transformasi organisasi di lingkungan BUMN, tapi sebatas manuver jangka pendek.

Padahal, yang diharapkan bangsa ini adalah seorang menteri yang mampu menjadi transformational leader untuk membenahi lembaga atau organisasi seperti BUMN agar bisa survive menghadapi perkembangan zaman dan membawa manfaat untuk sebesar- besarnya untuk kepentingan masyarakat dan stake holder, termasuk karyawan. Transformasi yang diharapkan tentu berorientasi pada perubahan kultur dan sistem lebih baik.

Tujuan ini tentu sulit dicapai hanya dengan manajemen reaksioner dan subjektif karena efeknya hanya berjangka pendek. Langkah semestinya adalah melalui manajemen strategis yang benar yang memperhatikan semua aspek terkait, termasuk tata aturan dan perundangan.

Jika pola yang dilakukan Dahlan Iskan tetap seperti selama ini, bukan tidak mungkin hal tersebut hanya akan menghasilkan perputaran satu kontroversi ke kontroversi lain, bukan berbuah BUMN yang kuat dan bisa dibanggakan. ●
(stb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.6763 seconds (0.1#10.140)