Liarnya harga bawang
A
A
A
Sehari kemarin, ada sejumlah status di Facebook yang bertemakan bawang. Beberapa status di antaranya cukup menggelikan: ‘’Jangan sepelekan anak bawang karena anak bawang sekarang harganya mahal sekali’’, “Waspada SMS penipuan terbaru: mama minta bawang”.
Di Facebook, status bertema bawang terbilang tidak lazim karena biasanya tema yang muncul berkisar pada persoalan pribadi, pemikiran hingga penawaran ponsel. Tapi seharian kemarin, bumbu dapur tersebut naik daun dan menjadi buah bibir. Mengapa? Jawabannya tidak lain karena harga bawang melambung naik tidak keruan.
Status tersebut muncul mewakili perasaan ibu-ibu atau kepala rumah tangga yang menjerit karena harus menanggung kenaikan harga tersebut. Walaupun harga mahal, mereka terpaksa membeli karena masakan mereka akan berasa tak keruan jika tanpa bawang.
Mereka semakin menjerit karena harga cabai perlahan juga merangkak naik dan harga daging hingga kini tak kunjung normal. Kenaikan harga barang dan sayuran kali ini memang di luar kebiasaan karena terjadi di luar tradisi semisal pada momen mendekati Hari Raya Idul Fitri atau adanya gagal panen.
Lantas kenapa demikian? Kekacauan harga bawang, daging, dan lainnya menandakan ketidakmampuan pemerintah menjamin suplai kebutuhan pokok rakyatnya.
Kenaikan harga bawang bukanlah perkara sepele karena dari sisi manajerial kondisi tersebut mencerminkan kegagalan pemerintah mengendalikan harga, mengamankan saluran distribusi, dan menjaga stok.
Lebih luas lagi, kondisi tersebut juga mencerminkan ketidakmampuan pemerintah melakukan penataan niaga kebutuhan pokok, kacaunya koordinasi antara jajaran pemerintah atau lembaga terkait, gagalnya pemberdayaan petani dan pengembangan budi daya pertanian dan peternakan untuk mengurangi ketergantungan impor.
Selain itu ada indikasi ketidakmampuan pemerintah mengawasi dugaan monopoli atau mafia impor bawang. Celakanya, sejauh ini pemerintah juga belum menemukan solusi yang tepat untuk menghentikan berbagai kasus lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok. Solusi yang ditawarkan terkesan reaksioner dan bersifat jangka pendek.
Malahan, di tengah persoalan yang sudah membesar eskalasinya ini, tawaran seperti operasi pasar, membuka keran impor untuk BUMN hingga menyederhanakan proses perizinan importasi bawang menjadi satu atap terkesan baru sebatas wacana.
Karena itu pantas saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan kekecewaannya kepada jajaran terkait. Dia semakin kecewa karena di saat harga komoditas pangan terus merangkak naik setiap hari, para menteri hanya sibuk bersilat lidah di depan media massa dan menyalahkan satu sama lain.
Apakah teguran keras Presiden tersebut mampu melecut jajarannya untuk bekerja ekstrakeras untuk menyelesaikan gejolak harga bawang dan beberapa bahan kebutuhan pokok lain, hal itu baru bisa diukur beberapa hari ke depan.
Jika ternyata tidak ada perubahan, simpulan bahwa kenaikan harga bawang merupakan indikator ketidakmampuan pemerintah memang benar adanya.
Di Facebook, status bertema bawang terbilang tidak lazim karena biasanya tema yang muncul berkisar pada persoalan pribadi, pemikiran hingga penawaran ponsel. Tapi seharian kemarin, bumbu dapur tersebut naik daun dan menjadi buah bibir. Mengapa? Jawabannya tidak lain karena harga bawang melambung naik tidak keruan.
Status tersebut muncul mewakili perasaan ibu-ibu atau kepala rumah tangga yang menjerit karena harus menanggung kenaikan harga tersebut. Walaupun harga mahal, mereka terpaksa membeli karena masakan mereka akan berasa tak keruan jika tanpa bawang.
Mereka semakin menjerit karena harga cabai perlahan juga merangkak naik dan harga daging hingga kini tak kunjung normal. Kenaikan harga barang dan sayuran kali ini memang di luar kebiasaan karena terjadi di luar tradisi semisal pada momen mendekati Hari Raya Idul Fitri atau adanya gagal panen.
Lantas kenapa demikian? Kekacauan harga bawang, daging, dan lainnya menandakan ketidakmampuan pemerintah menjamin suplai kebutuhan pokok rakyatnya.
Kenaikan harga bawang bukanlah perkara sepele karena dari sisi manajerial kondisi tersebut mencerminkan kegagalan pemerintah mengendalikan harga, mengamankan saluran distribusi, dan menjaga stok.
Lebih luas lagi, kondisi tersebut juga mencerminkan ketidakmampuan pemerintah melakukan penataan niaga kebutuhan pokok, kacaunya koordinasi antara jajaran pemerintah atau lembaga terkait, gagalnya pemberdayaan petani dan pengembangan budi daya pertanian dan peternakan untuk mengurangi ketergantungan impor.
Selain itu ada indikasi ketidakmampuan pemerintah mengawasi dugaan monopoli atau mafia impor bawang. Celakanya, sejauh ini pemerintah juga belum menemukan solusi yang tepat untuk menghentikan berbagai kasus lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok. Solusi yang ditawarkan terkesan reaksioner dan bersifat jangka pendek.
Malahan, di tengah persoalan yang sudah membesar eskalasinya ini, tawaran seperti operasi pasar, membuka keran impor untuk BUMN hingga menyederhanakan proses perizinan importasi bawang menjadi satu atap terkesan baru sebatas wacana.
Karena itu pantas saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan kekecewaannya kepada jajaran terkait. Dia semakin kecewa karena di saat harga komoditas pangan terus merangkak naik setiap hari, para menteri hanya sibuk bersilat lidah di depan media massa dan menyalahkan satu sama lain.
Apakah teguran keras Presiden tersebut mampu melecut jajarannya untuk bekerja ekstrakeras untuk menyelesaikan gejolak harga bawang dan beberapa bahan kebutuhan pokok lain, hal itu baru bisa diukur beberapa hari ke depan.
Jika ternyata tidak ada perubahan, simpulan bahwa kenaikan harga bawang merupakan indikator ketidakmampuan pemerintah memang benar adanya.
(maf)