Drama kejar tayang

Senin, 04 Maret 2013 - 16:12 WIB
Drama kejar tayang
Drama kejar tayang
A A A
Rapimnas Demokrat (17/2) pun disulap jadi panggung dramaturgi politik, seolah-olah konsolidasi Demokrat berjalan mulus. Saat itu, penulis tertantang untuk mengkritisi konsolidasi semu Demokrat, dengan membuat tulisan yang dimuat di Koran SINDO, Selasa,19 Februari 2013 dengan judul “Dramaturgi Konsolidasi”.

Intinya, penulis mengatakan terlalu dangkal jika mengklaim soliditas internal hanya dari rapimnas yang seremonial dan formalistis. Waktulah yang akan menguji konsistensi Demokrat, sekaligus mengonfirmasi benarkah mereka solid atau hanya bermain peran di panggung depan.

Psywar Anas

Tak butuh waktu lama untuk sekadar mengetahui ke mana drama beralur logika dangkal tersebut berlanjut. Kurang dari sepekan seusai rapimnas, perahu Demokrat kian retak. Anas Urbaningrum selaku nakhoda Demokrat ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Namun bukan status hukum Anas yang menjadikan partai biru ini mengharu biru, melainkan pernyataan Anas dalam pidato pengunduran dirinya selaku ketua umum Demokrat yang menjadi babak baru perang terbuka Anas vs SBY.

Sejumlah psychological war atau perang urat saraf yang dilancarkan Anas menjadi bentuk komunikasi politik menohok dan memalingkan perhatian publik pada alur yang dikehendaki Anas. Paling tidak, ada empat dinamika psywar yang Anas konstruksi dan menarik dicermati.

Pertama, Anas sukses mengartikulasikan teknik card stacking saat pidato pengunduran dirinya. Dalam konteks komunikasi politik, si aktor memilih dengan teliti pernyataan untuk membangun suatu kasus. Nalar publik dibawa pada sebuah konstruksi alur cerita yang sangat logis dan tentunya memiliki efek domino kuat pada konstelasi berikutnya.

Persis seperti kartu domino yang didirikan paralel, jatuhnya satu kartu menyebabkan kejatuhan kartu-kartu lain. Pernyataan yang mewakili teknik ini, misalnya saat Anas dengan tegas menyebut dirinya sebagai bayi yang dilahirkan tetapi tidak diharapkan. Anas nampak paham benar, yang disebut koherensi material dan koherensi struktural dalam alur sebuah narasi.

Kedua, Anas piawai membangun haltung dan stimmung secara bersamaan dalam pidato persuasifnya. Haltung merupakan upaya memengaruhi perilaku, sikap, dan perbuatan orang, sementara stimmung merupakan moral penerimaan dan retensi imbauan persuasif. Anas mencoba meyakinkan publik dengan pernyataan bahwa ini baru halaman pertama.

Masih banyak halaman berikutnya yang akan kita buka dan baca bersama. Ekspresi ini untuk menggarisbawahi kondisi kekinian Anas; meski dinyatakan sebagai tersangka tetapi belum menjadi the end of history bagi Anas.

Ketiga, Anas juga secara sengaja atau tidak telah menggulirkan Duren Sawit sebagai poros baru dalam perang opininya terhadap Cikeas. Persis setelah pidato pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum Demokrat, Anas menjadi news maker paling diburu para pencari berita.

Setiap hari siaran live televisi, radio, laporan media cetak dan online terkait komentar Anas mengalir deras dari Duren Sawit. Berlakulah praktik teori agenda setting media, seperti digagas oleh Maxwell McComb dan Donal L Shaw dalam tulisan lawasnya The Agenda Setting Function of Mass Media (1972), jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa maka media akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.

Anas secara leluasa melancarkan perang urat saraf kepada kubu Cikeas dengan membuka secara perlahan serangannya pada Ibas dalam kasus Hambalang. Tak hanya itu, Century pun digulirkan sebagai halaman berikutnya yang akan dibuka ke publik. Memang, pernyataan Anas belum mengarah ke fakta hukum melainkan masih bahasa politis. Tetapi justru bahasa politis itulah perang urat saraf yang bisa membuat kubu Cikeas gerah.

Keempat, psywarjuga tampak terasa dari kedatangan para tokoh lintas kekuatan ke rumah Anas. Dalam konteks ini, Anas secara praktis merealisasikan teknik bandwagon yakni meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan daya tariknya, sehingga banyak orang akan “turut naik” pada gerbong yang sama.

Dalam politik, berlaku adagium “musuhnya dari musuhku adalah sahabatku”. Terlepas dari apa pun motif kedatangan para tokoh nasional itu ke rumah Anas, satu yang pasti secara politis itu membuat rasa percaya diri Anas kian tinggi untuk berhadaphadapan dengan SBY.

Darurat Ketum

Ada tiga kemungkinan pilihan sikap para pendukung Anas dalam menanggapi pengunduran dirinya. Pertama, sangat mungkin para loyalis Anas mengundurkan diri dari kepengurusan maupun keanggotaan Demokrat. Hal ini sudah mulai terjadi seperti di Cilacap, Sumatera Utara, dan sangat mungkin juga terjadi di wilayahwilayah lain jika tak diantisipasi oleh elite Demokrat saat ini.

Kedua, loyalis Anas mungkin saja melakukan perlawanan dari dalam, yakni dengan tetap memosisikan diri seolah-olah ikut serta dalam langgam SBY. Secara formal prosedural, seolah-olah mereka menjadi bagian dari arus utama kubu Cikeas.

Tetapi di momentum tertentu, yakni seusai mereka lolos dalam screening distribusi dan alokasi sumber daya misalnya dalam daftar caleg Demokrat, dan punya ruang ekspresi lebih leluasa seusai SBY turun dari jabatannya sebagai Presiden yang memuncak pada Kongres Demokrat 2015, bisa saja para loyalis Anas “memukul” balik kubu Cikeas. Ketiga, sangat mungkin juga munculnya kelompok brutus pada lingkaran loyalis Anas.

Artinya, karena pertimbangan realistis- pragmatis loyalis Anas meninggalkan gerbong dan beralih ke kubu Cikeas. Kemungkinan-kemungkinan itu, tentu sudah dibaca oleh SBY dan elite kubu Cikeas lainnya. Sehingga sejak mengeluarkan delapan poin solusi beberapa waktu lalu, sudah beberapa kali DPD dan DPC dikumpulkan.

Terakhir, DPD dan DPC dikumpulkan di Cikeas pada Sabtu (2/3). Tentu, tak ada elite Demokrat yang eksplisit menyatakan bahwa salah satu agenda yang dibicarakan terkait dengan kongres luar biasa (KLB) yang saat ini menjadi kebutuhan mendesak partai.

Namun, penulis memprediksi salah satu agenda perbincangan kumpulnya DPD dan DPC di Cikeas, Sabtu kemarin itu, adalah prakondisi untuk menyolidkan figur yang nantinya akan didorong dalam KLB.

Dengan demikian, sangat mungkin mereka menempuh mekanisme bermufakat dulu baru bermusyawarah. Artinya, figur yang dikehendaki sangat mungkin disosialisasikan SBY dan dimufakati DPD serta DPC, sehingga agenda KLB hanya akan jadi panggung dramaturgi politik Demokrat untuk mengesankan seolah-olah ada mekanisme demokratis yang ditempuh. Itulah salah satu sisi buruk drama kejar tayang jika dilakukan.


GUN GUN HERYANTO

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0710 seconds (0.1#10.140)