Ranah dan jalan kebudayaan

Kamis, 21 Februari 2013 - 14:12 WIB
Ranah dan jalan kebudayaan
Ranah dan jalan kebudayaan
A A A
RAYMOND Williams menaruh ranah budaya dalam tiga wilayah (The Long Revolution 1975; Culture, 1981). Wilayah pertama merupakan “ranah konsep”, yaitu wilayah manusia memproses penyempurnaan diri teracu dan tertuju pada makna pokok universal tertentu.

Rumusan ini mendeskripsi kehidupan dan tata acuan makna universal yang selalu dihidupi, sistem kepercayaan dan keyakinan tentang arti atau makna hidup. Wilayah kedua, kebudayaan sebagai “ranah catatan dokumentasi praksis kehidupan”, di mana kehidupan dihayati sebagai “teks” yang mencatat struktur imajinasi, pengalaman, dan pemikiran manusia.

Ranah ketiga, ranah-ranah rumusan kemasyarakatan kebudayaan sebagai “penandaan” jagat hidup tertentu yang di dalamnya kajian-kajian budaya merupakan usaha dan ikhtiar untuk mengontruksi perasaan dalam “adat”, kebiasaan, dan struktur mentalitas yang dipakai untuk menghayati kehidupan. Karena itu, kebudayaan dipahami pula sebagai “tata acuan nilai-nilai hidup” perjalanan bermartabat bagi anak-anak dari rahimnya, baik individu perorangan maupun sebagai komunitas.

Anyaman dan rajutan tata nilai untuk ziarah perjalanan hidup bersama dari individu-individu itu agar semakin bermartabat sebagai manusia telah membuat jalan kebudayaan menjadi jalan peradaban. Di situlah, kebudayaan merupakan “ruang hidup intuitif”, tempat citarasa estetis yang merayakan dan memuliakan kehidupan dalam tari, ketika keindahan gerak alam dan gerak hidup ditarikan.

Dalam nyanyi, manakala kehidupan disyukuri kidung berkidung. Itulah wilayah seni cita rasa dan intuisi religius serta estetis dari kebudayaan. Sebagai anak yang lahir dari rahim kebudayaannya, manusia sekaligus lahir dari kebatinan hening lokalitas sukunya, kearifan lokalnya dengan keragaman kekayaan kearifan mengenai kehidupan.

Pepatah “tak ada rotan akar pun jadi” berarti daya arif kreatif berusaha untuk mencipta terus yang lahir dari rahim budaya agraris dan tanah sama bijaksananya dengan pepatah “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”, yang lahir dari kearifan untuk menghayati hormat pada langit yang “di atas” dan ramah pada sesama yang dibumi horizontal ini—baik alam maupun antarmanusia.

Manusia adalah makhluk yang berusaha terus-menerus mencari makna dalam hidupnya. Dia juga terus-menerus mengacu hidupnya pada apa yang dipandang berharga sebagai baik, benar, dan indah dalam menghayati dan menapaki kehidupan baik sebagai individu maupun sebagai komunitas. Dalam dirinya terdapat kemampuan untuk memahami secara akal budi (baca: kemampuan kognitif) mengenai kenyataan dan memaknainya untuk mengetahuinya secara kognitif.

Dia mempunyai pula potensi afektif, rasa untuk mengagumi dan mengembangkan keindahan (rasa estetis). Di samping itu, manusia memiliki kemampuan religius untuk menghayati kehidupannya dalam menjawab dan mengartikan ke mana arah perjalanan hidupnya dan dari mana asalnya. Pemikiran ini memandang kebudayaan sebagai “kemampuan-kemampuan dalam diri manusia perorangan”.

Dengan kata lain, kebudayaan dalam diri manusia orang per orang dikatakan pula sebagai kemampuan “cipta” dalam budi, “rasa” dalam kedalaman hati dan nurani serta “karsa” dalam kehendaknya. Lalu, di manakah kebudayaan dikenali dan dibaca?

Pertama, pada sumber-sumber oasisnya, kebudayaan diungkapkan dalam bahasa yang meliputi sintaksis, grammar, dan makna kata dalam kamus yang menuliskan dan mewacanakan realitas dunia di mana manusia hidup dan merajut kebudayaannya. Tahap pertama ini menuntut pembaca budaya dari bahasa logis ke tulis serta simbolis, semiotis.

Kedua, kebudayaan oleh masyarakat pendukungnya diungkapkan, ditradisikan lewat peribahasa, tradisi dongeng kebijaksanaan, mitos, ritual, simbol, ingatan-ingatan kolektif, adat kebiasaan, dan tanda serta salam penghormatan. Membaca kebudayaan tahap dua ini membutuhkan pemahaman dan pengenalan yang tidak hanya rasional, tetapi intuitif untuk masuk dan mencoba memahami epistemologinya (local knowledge).

Ketiga, kebudayaan dilembagakan dan dimantapkan dalam sistem organisasi dan masyarakat yang meliputi pengaturan hidup bersama agar saling damai menghormati. Di sini pengertian struktur sebagai cara pengaturan rasional terhadap hidup bersama harus dipahami berjenjang dari sesuatu yang organik menjadi sesuatu yang organisasional.

Keempat, tahapan kebudayaan yang menarikan dalam tari,menyanyikan kehidupan dalam musik; menuliskannya dalam susastra tulis maupun sastra pengisahan lisan, legenda dan kisah pahlawan, serta ideal hidup baik yang sering dikenal sebagai etos. Di sini bacaan kebudayaan membutuhkan bingkai nilai dan pemahaman estetis, religius dan etis, artinya pembacaan memakai bingkai intuisi keindahan dari kehidupan dalam tari dan nyanyi serta empati religius etis tingkah laku dan tindakan-tindakan yang dipilih untuk dijalani oleh komunitas itu.

Kelima, sebagai acuan cita-cita dan apa yang dipandang berharga, kebudayaan pada tahap ini harus dibaca dari norma, aturan tingkah laku, pantangan serta tabu yang mengatur hubungan bersama anggotanya, tapi juga ritual kematian serta rites of life passages. Di sini ‘kami’ secara kultural berarti kurang dalam berhadapan dengan ‘mereka’, yaitu orang luar atau orang asing.

Maka membaca kebudayaan tidak cukup hanya menelitinya secara kuantitatif, tetapi secara kualitatif serta dialog hati ke hati diperlukan. Oleh karena kaya dan luasnya tahapan budaya dan dipahaminya kebudayaan sebagai dinamika yang terus-menerus untuk menjalani hidup anggotaanggotanya dalam jagat makna dan arti, maka kata kerja kebudayaan manakala dipakai untuk proses sadar meng-Indonesia butuh perumusan strategi.

Artinya, sebuah visi awal kultural etnik, agamais, mulai dari kebinekaan, suku, agama dan kepercayaan menjadi agenda cita dan aksi peradaban seturut Mukadimah Konstitusi 1945 dan dijabarkan dalam politik kebudayaan, yaitu dalam format bernegara yang demokratis, adil, dan beradab serta berkepastian hukum.

Dari paparan di atas dapat dicatat bahwa jalan kebudayaan mempunyai kekuatan hakikinya karena kebudayaan dengan kemampuan-kemampuannya yang merawat, merayakan, dan memuliakan kehidupan merangkumkannya dalam “sistem nilai”. Hakiki, karena kebudayaan menjadi sumber bahasan sebelum dibahasakan dalam aturan atau hukum mengenai apa yang baik (etika), apa yang benar (ilmu pengetahuan epistemologi) serta apa yang indah (estetika) serta yang suci (religiositas).

Lalu apa itu nilai? Nilai adalah sesuatu yang dipandang berharga oleh seseorang atau kelompoknya yang dipakai setiap hari untuk acuan laku dan ia wujudkan dalam perilakunya. Rumusan ini sebenarnya abstraksi saja dari yang sudah terpaparkan di depan tadi yang dari kemajemukan penyusun keindonesiaan disumbangkan oleh kekayaan religi bumi dan samawi, serta kearifan-kearifan lokal keragaman suku-suku Nusantara yang mengindonesia setelah proklamasi politis bernegara Republik Indonesia dengan ranah kulturalnya yang “bhinneka tunggal ika”.

Pepatah, peribahasa, gurindam dan kisah-kisah kearifan lokal serta musik etnik, tari dan saga-saga folklore sekawanan jenisnya ini merupakan ungkapan pembatinan nilai-nilai yang diekspresikan untuk satu tujuan, yaitu memuliakan hidup dan mengajak anggota-anggota masyarakatnya untuk merawat hidup ini dengan arah semakin bermartabatnya sebagai manusia dalam hidup bersama.

Maka, ketika perjalanan hidup membangsa terlalu gaduh riuh menghayati jalan politik yang adu kekuasaan dan rebutan kursi dengan nilai kalah menang yang tega untuk saling menyodok dan menjatuhkan, maka pilihan kembali ke jalan kebudayaan sungguh perlu diambil dan ditapaki. Pula, ketika jalan ekonomisasi terlalu disempitkan dan direduksi pada apa yang bernilai menguntungkan saja dan mencampakkan yang merugikan, bahaya “Homo economicus” yang tega saling memakan untuk keuntungannya sendiri mesti dikritik.

Mengapa jalan kebudayaan harus dihayati sebagai solusinya? Sebab kerja-kerja kebudayaan sebenarnya merupakan kerja untuk membuat hidup bersama sebagai bangsa majemuk ini agar secara kultural, struktural semakin “manusiawi”. Artinya, semakin saling menyejahterakan satu sama lain dan negara dengan edukasinya, kesehatannya, hukum adilnya, program ekonomi prorakyat dan bukan propasar melulu serta kerja-kerja penyejahteraan sebenarnya menapaki jalan yang harus semakin menuju peradaban.

Artinya, dari kondisi tega saling mengerkah sebagai serigala (Homo homini lupus) menuju ke kondisi hidup bersama di mana sesama adalah rekan atau sahabat untuk Indonesia yang adil, beradab dan sejahtera saling menghormati (Homo homini socius).

Di sinilah pendekatan kebudayaan yang melihat realitas masyarakat dalam berbangsa dan bernegara dari sudut pandang mentalitas manusianya, “nilai yang diacu” oleh individu maupun bersama menemukan relevansinya ketika kita sedang sulit untuk menghayati nilai saling percaya dan nilai mau peduli serta toleransi pada keragaman kita.

Tidak cukup penyadaran sebagai pengetahuan kognitif. Tidak pula cukup hanya teknis instrumentalis pragmatis namun butuh jalan panjang menghayati proses pembatinan, keteladanan, dan kerendahan hati mau saling belajar satu sama lain dan mau saling berbagi dan bukan rebutan tanah dan air serta kekayaan bumi pertiwi ini.

MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara & Universitas Indonesia, Budayawan
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0942 seconds (0.1#10.140)