Menimbang pemindahan Ibu Kota
A
A
A
Banjir besar yang terjadi di Jakarta 17 Januari 2013, kembali melahirkan wacana pemindahan ibu kota sebagai salah satu strategi jangka panjang meminimalisasi masalah yang dihadapi Jakarta.
Banjir hanyalah salah satu masalah serius yang dihadapi Jakarta. Ada berbagai masalah serius lainnya yang beriringan muncul sejalan dengan masalah banjir tersebut. Perdebatan yang muncul bermuara pada dua posisi argumen.
Pertama, pemikiran yang memandang, pemindahan ibu kota tidak menjadi solusi penting dalam menangani masalah banjir di Jakarta.Pemikiran ini lebih melihat penataan infrastruktur yang solutif dan strategis di Jakarta sebagai bagian dari penyelesaian masalah banjir. Pemikiran kelompok ini juga melihat penanganan korban banjir lebih mendesak dibandingkan wacana pemindahan ibu kota. Mereka melihatnya pemindahan ibu kota memerlukan waktu dan proses yang sangat panjang.
Kedua, pemikiran yang melihat pemindahan ibu kota sebagai strategi jangka panjang pengembangan kawasan sekaligus— ini menjadi titik tekannya—mengurangi beban kota yang dihadapi Jakarta. Jakarta sudah terlalu berat beban sosial ekonomi masyarakat Indonesia.Kelebihan kapasitas kota itu memproduksi berbagai macam masalah ekologis, demografi maupun masalah sosial lainnya. Pemikiran kelompok ini lebih melihat proyeksi sekaligus visi jangka panjang dalam pembangunan sosial ekonomi Indonesia.
Visi Pembangunan Kota
Sepanjang sejarah republik ini berdiri ada dua gagasan penting dalam visi pembangunan kota jangka panjang. Pada 1957, Bung Karno memiliki gagasan bernas untuk memindahkan ibu kota ke Palangkaraya. Presiden Soekarno menganggap Palangkaraya yang berposisi relatif di tengahtengah Indonesia berpotensi untuk menggerakkan pembangunan, khususnya ke arah timur Indonesia.
Pasca era Soekarno, presiden Soeharto memiliki rencana memindahkan ibukota ke kawasan Jonggol, Bogor, Jawa Barat pada akhir 1980-an. Sayangnya, gagasan Soekarno dan Soeharto tak terlaksana seiring dengan perkembangan sosial politik yang terjadi di Indonesia. Terlepas dari spektrum kekuasaan Soekarno pada Orde Lama dan kekuasaan hegemonik Soeharto pada Orde Baru, rencana pemindahan ibu kota tersebut memiliki visi kuat dalam pembangunan kota.
Gagasan itu mencerminkan sebuah proyeksi jangka panjang pembangunan kota di Indonesia. Pasca-Orde Baru, ruang diskursus pembangunan kota sejatinya terbuka lebar untuk meneruskan bahkan mengeksekusi gagasan visioner tersebut. Sayangnya, kita kehilangan visi tersebut dalam mengakumulasi ide Soekarno dan Soeharto. Indonesia sejatinya bisa belajar pada keberanian dan visi pemerintahan Korea Selatan.
Pada 2 Juli 2012, pemerintah Korea Selatan meresmikan Sejong City sebagai pusat pemerintahan baru. Kota ini berjarak 120 kilometer dari ibu kota lama, Seoul. Ide besar ini sudah dicanangkan sejak 2002 namun kemudian sempat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2004.
Pemindahan kawasan pusat pemerintahan tersebut memindahkan 36 departemen dan lembaga negara yang akan selesai hingga 2015.Visi kuat tersebut tampak pada proyeksi pemerintah Korea Selatan bahwa pemindahan pusat pemerintahan akan membawa manfaat ekonomi sosial ke Sejong dan kawasan-kawasan di sekitarnya.
Tak usah jauh-jauh ke Korea Selatan, Indonesia sudah tertinggal jauh dari Malaysia. Sejak 2001, Malaysia memindahkan ibu kota pemerintah annya ke Kota Putrajaya.Kawasan Putrajaya dengan luas 46 kilometer persegi menggantikan Kuala Lumpur sebagai ibu kota pemerintahan Malaysia. Kuala Lumpur dianggap tidak layak lagi menjadi ibu kota dengan kapasitas sosial-ekonomi yang berlebihan.
Selain dua negara tersebut, beberapa negara lain juga melakukan hal yang sama. Di antaranya Australia yang memindahkan ibu kota dari Sydney ke Canberra, Brasil yang memindahkan ibu kota dari Rio De Janeiro ke Brasilia dan Pakistan yang memindahkan ibu kotanya dari Karachi ke Islamabad, serta Myanmar yang memindahkan ibu kota dari Yangoon ke Naypyidaw.
Pengembangan Kawasan
Melihat pada pengalaman terbaru Korea Selatan, pemindahan ibu kota bukan sekadar pendekatan fisik memindahkan perangkat pemerintahan atau lembaga negara ke kawasan terpadu. Ini merupakan sebuah pendekatan komprehensif yang memberikan implikasi besar pada dimensi sosial ekonomi masyarakat di kawasan baru.
Pemerintah Korea Selatan menyebut proyek nasional tersebut sebagai sejarah baru perimbangan kawasan di Korea Selatan. Paling tidak kita dapat mengidentifikasi beberapa makna strategis pendekatan komprehensif tersebut.
Pertama, berbasis sosial ekonomi. Akan terjadi migrasi secara masif di kawasan baru. Ekonomi lokal akan berkembang lebih dinamis yang menggerakkan kehidupan masyarakat di sekitar daerah baru. Muncul berbagai hunian, kompleks perumahan, apartemen untuk para karyawan/pegawai di sekitar kawasan tersebut. Ada efek ganda (multiplier effect) bagi masyarakat sekitar dengan proses migrasi sosial ekonomi di daerah baru.
Dimensi kesehatan, pendidikan, industri, ekologis, transportasi bisa dikembangkan lebih sinergis, terpadu dan modern.Kita juga punya kesempatan mendesain sistem transportasi publik yang lebih modern untuk kawasan baru itu dengan mengadopsi sistem transportasi publik terbaik di kota-kota besar Eropa. Masyarakat mungkin sebelumnya tidak mengenal daerah baru itu, tetapi seiring dengan waktu melalui berbagai strategi komunikasi efektif, bisa mengenal lebih jauh daerah baru itu.
Kedua, basis politik. Ibu kota memiliki makna politik sebagai simbol negara. Di sana terjadi pengambilan kebijakan strategis nasional dari berbagai otoritas politik. Sebagai simbol politik, ia memerlukan pendasaran filosofis yang memadai. Ruang sosial politik yang dibangun otoritas politik bisa berlangsung efektif jika didukung oleh kapasitas kawasan yang strategis.
Ini menunjukkan ibu kota negara bukan hanya dipahami sebagai transformasi fisik ke kawasan baru. Tetapi juga, harus bergerak lebih jauh untuk terjadinya transformasi sosial ekonomi yang lebih visioner dibandingkan dengan ibu kota sebelumnya. Sederhananya, kita menyebutnya dengan hijrah sosial politik yang visioner.
Terobosan Politik
Melihat kondisi Jakarta,kita sudah dibayangi setumpuk masalah yang tak kunjung selesai. Beban dan kapasitas Jakarta sudah terlalu berat. Jakarta semakin kehilangan ruang humanisnya di tengah berbagai ancaman kemacetan,kriminalitas, krisis lingkungan maupun berbagai ketidaknyamanan. Polemik maupun pro dan kontra selalu terjadi dan tak mungkin dihindari.
Kebutuhan saat ini adalah kemauan sekaligus terobosan politik untuk memecah kebuntuan gagasan pemindahan ibu kota. Terobosan itu hanya mungkin dimiliki oleh kepemimpinan kuat dengan kapasitas visioner. Eksekusi gagasan ini tidak dilakukan kepemimpinan dalam perspektif jangka pendek.
Negara lain sudah jauh melakukan pemindahan ibu kota sebagai terobosan politik, sementara kita masih berkutat dengan polemik dan pro kontra yang sering kali kontraproduktif. Padahal, kita sudah memikirkannya sejak 1950-an. Jauh sebelum negara-negara tersebut memikirkannya. Inilah yang disebut dengan kemunduran berpikir.●
RAKHMAT HIDAYAT
Pengajar Sosiologi Perkotaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) &
Kandidat PhD Sosiologi Université Lumière Lyon 2 France
Banjir hanyalah salah satu masalah serius yang dihadapi Jakarta. Ada berbagai masalah serius lainnya yang beriringan muncul sejalan dengan masalah banjir tersebut. Perdebatan yang muncul bermuara pada dua posisi argumen.
Pertama, pemikiran yang memandang, pemindahan ibu kota tidak menjadi solusi penting dalam menangani masalah banjir di Jakarta.Pemikiran ini lebih melihat penataan infrastruktur yang solutif dan strategis di Jakarta sebagai bagian dari penyelesaian masalah banjir. Pemikiran kelompok ini juga melihat penanganan korban banjir lebih mendesak dibandingkan wacana pemindahan ibu kota. Mereka melihatnya pemindahan ibu kota memerlukan waktu dan proses yang sangat panjang.
Kedua, pemikiran yang melihat pemindahan ibu kota sebagai strategi jangka panjang pengembangan kawasan sekaligus— ini menjadi titik tekannya—mengurangi beban kota yang dihadapi Jakarta. Jakarta sudah terlalu berat beban sosial ekonomi masyarakat Indonesia.Kelebihan kapasitas kota itu memproduksi berbagai macam masalah ekologis, demografi maupun masalah sosial lainnya. Pemikiran kelompok ini lebih melihat proyeksi sekaligus visi jangka panjang dalam pembangunan sosial ekonomi Indonesia.
Visi Pembangunan Kota
Sepanjang sejarah republik ini berdiri ada dua gagasan penting dalam visi pembangunan kota jangka panjang. Pada 1957, Bung Karno memiliki gagasan bernas untuk memindahkan ibu kota ke Palangkaraya. Presiden Soekarno menganggap Palangkaraya yang berposisi relatif di tengahtengah Indonesia berpotensi untuk menggerakkan pembangunan, khususnya ke arah timur Indonesia.
Pasca era Soekarno, presiden Soeharto memiliki rencana memindahkan ibukota ke kawasan Jonggol, Bogor, Jawa Barat pada akhir 1980-an. Sayangnya, gagasan Soekarno dan Soeharto tak terlaksana seiring dengan perkembangan sosial politik yang terjadi di Indonesia. Terlepas dari spektrum kekuasaan Soekarno pada Orde Lama dan kekuasaan hegemonik Soeharto pada Orde Baru, rencana pemindahan ibu kota tersebut memiliki visi kuat dalam pembangunan kota.
Gagasan itu mencerminkan sebuah proyeksi jangka panjang pembangunan kota di Indonesia. Pasca-Orde Baru, ruang diskursus pembangunan kota sejatinya terbuka lebar untuk meneruskan bahkan mengeksekusi gagasan visioner tersebut. Sayangnya, kita kehilangan visi tersebut dalam mengakumulasi ide Soekarno dan Soeharto. Indonesia sejatinya bisa belajar pada keberanian dan visi pemerintahan Korea Selatan.
Pada 2 Juli 2012, pemerintah Korea Selatan meresmikan Sejong City sebagai pusat pemerintahan baru. Kota ini berjarak 120 kilometer dari ibu kota lama, Seoul. Ide besar ini sudah dicanangkan sejak 2002 namun kemudian sempat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2004.
Pemindahan kawasan pusat pemerintahan tersebut memindahkan 36 departemen dan lembaga negara yang akan selesai hingga 2015.Visi kuat tersebut tampak pada proyeksi pemerintah Korea Selatan bahwa pemindahan pusat pemerintahan akan membawa manfaat ekonomi sosial ke Sejong dan kawasan-kawasan di sekitarnya.
Tak usah jauh-jauh ke Korea Selatan, Indonesia sudah tertinggal jauh dari Malaysia. Sejak 2001, Malaysia memindahkan ibu kota pemerintah annya ke Kota Putrajaya.Kawasan Putrajaya dengan luas 46 kilometer persegi menggantikan Kuala Lumpur sebagai ibu kota pemerintahan Malaysia. Kuala Lumpur dianggap tidak layak lagi menjadi ibu kota dengan kapasitas sosial-ekonomi yang berlebihan.
Selain dua negara tersebut, beberapa negara lain juga melakukan hal yang sama. Di antaranya Australia yang memindahkan ibu kota dari Sydney ke Canberra, Brasil yang memindahkan ibu kota dari Rio De Janeiro ke Brasilia dan Pakistan yang memindahkan ibu kotanya dari Karachi ke Islamabad, serta Myanmar yang memindahkan ibu kota dari Yangoon ke Naypyidaw.
Pengembangan Kawasan
Melihat pada pengalaman terbaru Korea Selatan, pemindahan ibu kota bukan sekadar pendekatan fisik memindahkan perangkat pemerintahan atau lembaga negara ke kawasan terpadu. Ini merupakan sebuah pendekatan komprehensif yang memberikan implikasi besar pada dimensi sosial ekonomi masyarakat di kawasan baru.
Pemerintah Korea Selatan menyebut proyek nasional tersebut sebagai sejarah baru perimbangan kawasan di Korea Selatan. Paling tidak kita dapat mengidentifikasi beberapa makna strategis pendekatan komprehensif tersebut.
Pertama, berbasis sosial ekonomi. Akan terjadi migrasi secara masif di kawasan baru. Ekonomi lokal akan berkembang lebih dinamis yang menggerakkan kehidupan masyarakat di sekitar daerah baru. Muncul berbagai hunian, kompleks perumahan, apartemen untuk para karyawan/pegawai di sekitar kawasan tersebut. Ada efek ganda (multiplier effect) bagi masyarakat sekitar dengan proses migrasi sosial ekonomi di daerah baru.
Dimensi kesehatan, pendidikan, industri, ekologis, transportasi bisa dikembangkan lebih sinergis, terpadu dan modern.Kita juga punya kesempatan mendesain sistem transportasi publik yang lebih modern untuk kawasan baru itu dengan mengadopsi sistem transportasi publik terbaik di kota-kota besar Eropa. Masyarakat mungkin sebelumnya tidak mengenal daerah baru itu, tetapi seiring dengan waktu melalui berbagai strategi komunikasi efektif, bisa mengenal lebih jauh daerah baru itu.
Kedua, basis politik. Ibu kota memiliki makna politik sebagai simbol negara. Di sana terjadi pengambilan kebijakan strategis nasional dari berbagai otoritas politik. Sebagai simbol politik, ia memerlukan pendasaran filosofis yang memadai. Ruang sosial politik yang dibangun otoritas politik bisa berlangsung efektif jika didukung oleh kapasitas kawasan yang strategis.
Ini menunjukkan ibu kota negara bukan hanya dipahami sebagai transformasi fisik ke kawasan baru. Tetapi juga, harus bergerak lebih jauh untuk terjadinya transformasi sosial ekonomi yang lebih visioner dibandingkan dengan ibu kota sebelumnya. Sederhananya, kita menyebutnya dengan hijrah sosial politik yang visioner.
Terobosan Politik
Melihat kondisi Jakarta,kita sudah dibayangi setumpuk masalah yang tak kunjung selesai. Beban dan kapasitas Jakarta sudah terlalu berat. Jakarta semakin kehilangan ruang humanisnya di tengah berbagai ancaman kemacetan,kriminalitas, krisis lingkungan maupun berbagai ketidaknyamanan. Polemik maupun pro dan kontra selalu terjadi dan tak mungkin dihindari.
Kebutuhan saat ini adalah kemauan sekaligus terobosan politik untuk memecah kebuntuan gagasan pemindahan ibu kota. Terobosan itu hanya mungkin dimiliki oleh kepemimpinan kuat dengan kapasitas visioner. Eksekusi gagasan ini tidak dilakukan kepemimpinan dalam perspektif jangka pendek.
Negara lain sudah jauh melakukan pemindahan ibu kota sebagai terobosan politik, sementara kita masih berkutat dengan polemik dan pro kontra yang sering kali kontraproduktif. Padahal, kita sudah memikirkannya sejak 1950-an. Jauh sebelum negara-negara tersebut memikirkannya. Inilah yang disebut dengan kemunduran berpikir.●
RAKHMAT HIDAYAT
Pengajar Sosiologi Perkotaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) &
Kandidat PhD Sosiologi Université Lumière Lyon 2 France
(stb)