Cukai ponsel, pentingkah?
A
A
A
Rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenakan cukai pada telepon seluler (handphone) dipertanyakan oleh sejumlah kalangan.
Mulai dari kalangan pengusaha terutama yang bergerak di sektor telekomunikasi, para wakil rakyat yang bermarkas di Senayan, hingga Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, menyangkut efektivitas kebijakan cukai tersebut sedang digodok.
Kemenkeu menilai handphone masuk kategori barang mewah yang banyak diimpor,namun tak bisa dikenakan bea masuk maupun pajak penjualan barang mewah (PPnBM) karena bisa dituduh melanggar konvensi internasional.
“Gara-gara konvensi internasional itu,impor telepon seluler (ponsel) tidak dikenai biaya sama sekali,tetapi kalau cukai boleh,” ungkap Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang PS Brodjonegoro pekan lalu.
Selain untuk menebalkan pundi-pundi negara melalui cukai ponsel,Kemenkeu juga berharap kebijakan tersebut berdampak pada peningkatan produksi ponsel di dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan komoditas tersebut tidak sepenuhnya bergantung impor.
Hal itu sejalan dengan kebijakan Kementerian Perindustrian yang terus mendorong pertumbuhan industri ponsel di dalam negeri. Pengenaan cukai pada ponsel, Menteri Perindustrian MS Hidayat meyakini, akan menjadi pemicu pertumbuhan industri ponsel lokal ke depan.
Alasannya, pengenaan cukai tersebut membuat impor tak murah lagi sehingga membuka peluang investor untuk menanamkan modal pada industri ponsel.
Memang sungguh ironis di mana pasar ponsel Indonesia begitu gurih, namun hampir sepenuhnya ponsel yang ada di tangan masyarakat didapatkan dari impor.
“Tahun ini akan banyak investasi besar pada industri ponsel,” ungkap Hidayat, menanggapi pentingnya pengenaan cukai pada ponsel.
Kalau Menteri Perindustrian MS Hidayat begitu antusias mendukung wacana pengenaan cukai ponsel, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan justru sebaliknya.
Yang dipersoalkan Gita bukan kebijakan cukai tersebut, melainkan kesiapan pembangunan industri ponsel lokal yang bisa mem-back-up ketika kebijakan cukai itu diberlakukan.
Gita sangat menghargai bahwa rencana kebijakan tersebut sangat mulia, tetapi waktu penerapannya yang harus dipikirkan dengan secermat mungkin.
Sementara itu, lampu hijau dari Komisi XI DPR belum ada tanda-tanda untuk dinyalakan. Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis malah menantang Kemenkeu untuk memperdebatkan rencana kebijakan cukai tersebut. Pemerintah harus bisa menjelaskan secara detail tujuan pengenaan cukai ponsel itu.
“Semestinya, cukai dikenakan pada barang-barang yang sebenarnya tidak dikehendaki peredarannya secara meluas di tengah masyarakat,” kata Harry menyikapi wacana kebijakan cukai tersebut. Sedangkan reaksi kalangan pengusaha sudah bisa ditebak.
Simak saja pernyataan dari Ketua Asosiasi Importir Seluler Indonesia (AISI) Eko Nilam yang menilai rencana penerbitan kebijakan pengenaan cukai ponsel adalah sebuah kebijakan yang tidak strategis.
Alasannya, industri ponsel dalam negeri belum tergarap maksimal. Penerapan cukai ponsel akan merugikan konsumen sebab harga ponsel akan naik dan kenaikan harga tersebut tidak mungkin ditanggung importir, tentu semua akan dibebankan pada konsumen.
AISI menyarankan, jika pemerintah bermaksud meningkatkan pemasukan tambahan dari importasi ponsel, bisa dimulai dengan membenahi tata niaga ponsel, terutama bila pemerintah berhasil menutup celah masuknya ponsel ilegal.
Bila importasi ponsel ilegal itu bisa diamputasi, AISI optimistis pendapatan pemerintah dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) dari importasi ponsel bisa meroket dua kali lipat. Indonesia adalah pengguna ponsel terbesar keempat di dunia. Bisakah itu diatasi? Harusnya bisa!
Mulai dari kalangan pengusaha terutama yang bergerak di sektor telekomunikasi, para wakil rakyat yang bermarkas di Senayan, hingga Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, menyangkut efektivitas kebijakan cukai tersebut sedang digodok.
Kemenkeu menilai handphone masuk kategori barang mewah yang banyak diimpor,namun tak bisa dikenakan bea masuk maupun pajak penjualan barang mewah (PPnBM) karena bisa dituduh melanggar konvensi internasional.
“Gara-gara konvensi internasional itu,impor telepon seluler (ponsel) tidak dikenai biaya sama sekali,tetapi kalau cukai boleh,” ungkap Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang PS Brodjonegoro pekan lalu.
Selain untuk menebalkan pundi-pundi negara melalui cukai ponsel,Kemenkeu juga berharap kebijakan tersebut berdampak pada peningkatan produksi ponsel di dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan komoditas tersebut tidak sepenuhnya bergantung impor.
Hal itu sejalan dengan kebijakan Kementerian Perindustrian yang terus mendorong pertumbuhan industri ponsel di dalam negeri. Pengenaan cukai pada ponsel, Menteri Perindustrian MS Hidayat meyakini, akan menjadi pemicu pertumbuhan industri ponsel lokal ke depan.
Alasannya, pengenaan cukai tersebut membuat impor tak murah lagi sehingga membuka peluang investor untuk menanamkan modal pada industri ponsel.
Memang sungguh ironis di mana pasar ponsel Indonesia begitu gurih, namun hampir sepenuhnya ponsel yang ada di tangan masyarakat didapatkan dari impor.
“Tahun ini akan banyak investasi besar pada industri ponsel,” ungkap Hidayat, menanggapi pentingnya pengenaan cukai pada ponsel.
Kalau Menteri Perindustrian MS Hidayat begitu antusias mendukung wacana pengenaan cukai ponsel, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan justru sebaliknya.
Yang dipersoalkan Gita bukan kebijakan cukai tersebut, melainkan kesiapan pembangunan industri ponsel lokal yang bisa mem-back-up ketika kebijakan cukai itu diberlakukan.
Gita sangat menghargai bahwa rencana kebijakan tersebut sangat mulia, tetapi waktu penerapannya yang harus dipikirkan dengan secermat mungkin.
Sementara itu, lampu hijau dari Komisi XI DPR belum ada tanda-tanda untuk dinyalakan. Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis malah menantang Kemenkeu untuk memperdebatkan rencana kebijakan cukai tersebut. Pemerintah harus bisa menjelaskan secara detail tujuan pengenaan cukai ponsel itu.
“Semestinya, cukai dikenakan pada barang-barang yang sebenarnya tidak dikehendaki peredarannya secara meluas di tengah masyarakat,” kata Harry menyikapi wacana kebijakan cukai tersebut. Sedangkan reaksi kalangan pengusaha sudah bisa ditebak.
Simak saja pernyataan dari Ketua Asosiasi Importir Seluler Indonesia (AISI) Eko Nilam yang menilai rencana penerbitan kebijakan pengenaan cukai ponsel adalah sebuah kebijakan yang tidak strategis.
Alasannya, industri ponsel dalam negeri belum tergarap maksimal. Penerapan cukai ponsel akan merugikan konsumen sebab harga ponsel akan naik dan kenaikan harga tersebut tidak mungkin ditanggung importir, tentu semua akan dibebankan pada konsumen.
AISI menyarankan, jika pemerintah bermaksud meningkatkan pemasukan tambahan dari importasi ponsel, bisa dimulai dengan membenahi tata niaga ponsel, terutama bila pemerintah berhasil menutup celah masuknya ponsel ilegal.
Bila importasi ponsel ilegal itu bisa diamputasi, AISI optimistis pendapatan pemerintah dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) dari importasi ponsel bisa meroket dua kali lipat. Indonesia adalah pengguna ponsel terbesar keempat di dunia. Bisakah itu diatasi? Harusnya bisa!
(maf)