Mengapresiasi putusan KPU
A
A
A
Dari 34 parpol yang diverifikasi faktual,9 parpol yang lolos parpol berada di parlemen.Satu-satunya parpol pendatang baru yang lolos verifikasi adalah Partai Nasional Demokrat (NasDem). Sejak awal memang sudah diprediksi tidak akan banyak partai yang bisa berlenggang ke Pemilu 2014.
Syarat untuk itu sangat berat seperti ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (2) UU No 8/2012 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bahwa parpol harus memenuhi sembilan persyaratan administratif seperti berbadan hukum, memiliki pengurus di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan, memiliki anggota 1.000 atau 1/1.000 jumlah penduduk kabupaten/kota. Tentu saja parpol yang merasa tidak lolos keberatan atas hasil verifikasi dengan berbagai argumentasi
.Ada yang menuding regulasi verifikasi faktual yang dibuat KPU mengabaikan struktur demografi dan kemajemukan ideologi di setiap provinsi. Tapi parpol yang merasa keberatan dengan hasil rekapitulasi verifikasi KPU bisa melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) terhadap keputusan KPU atau mengajukan uji materi regulasi KPU terhadap UU Pemilu ke Mahkamah Agung.
Pemerintahan Presidensial
Memang sejumlah ketentuan dalam UU Pemilu yang terkait dengan syarat verifikasi begitu diskriminatif lantaran menguntungkan parpol yang ada di parlemen yang memenuhi persyaratan.Tapi verifikasi yang dilakukan KPU tidak hanya mekanisme mengecek kesiapan dan terpenuhinya syarat sebagai peserta pemilu bagi parpol, tetapi yang juga penting adalah bagaimana menguji eksistensi menghadapi pemilu.
Bagi parpol yang lolos, mereka masih menghadapi hadangan berikutnya,yaitu harus memenuhi ketentuan ambang batas minimal jumlah kursi yang diperoleh dalam pemilu legislatif. Ketentuan parliamentary threshold sebetulnya sebagai salah satu metode yang diharapkan secara alamiah membatasi jumlah parpol yang duduk di parlemen. Sebab untuk apa banyak parpol jika sebagian besar sibuk mengurusi kepentingan diri sendiri ketimbang memikirkan rakyat.
Tiga kali pemilu berlalu, tetapi belum menghasilkan keterwakilan rakyat di parlemen yang bisa mengurus dan menyejahterakan rakyat.Maka itu, untuk mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial, idealnya tidak terlalu banyak parpol peserta pemilu. Sepuluh parpol sebetulnya masih terlalu besar sehingga nasib Presiden Susilo Bambang Yudhoyono boleh jadi akan menular pada presiden berikutnya.Akan tetap tersandera jika masih melakukan koalisi partai di parlemen.
Presiden tidak bebas mengapresiasi hak prerogatifnya dalam menyusun kabinet akibat terbelenggu oleh koalisi parpol. Pemerintahan tak ubahnya seperti dalam sistem pemerintahan parlementer yang dibungkus sistem presidensial. Presiden serbaragu dalam mengambil keputusan seperti saat akan mengganti menteri lantaran harus bersinergi dengan kehendak koalisinya. Apakah negeri ini harus selalu dalam masa transisi demokrasi dengan menoleransi banyak parpol hanya karena menghargai hak untuk berserikat?
Harus Kreatif
Bagi parpol yang dipastikan ikut pemilu tentu harus lebih kreatif memoles isu-isu positif untuk menarik simpati rakyat. Termasuk bagaimana memanfaatkan kekuatan logistik, fisik, dan citra kader yang akan dicalonkan.Parpol peserta Pemilu 2014 sudah bisa berkampanye mulai Jumat (11/1/2013) meski banyak pengamat memprediksi mereka tidak akan fokus lantaran tujuh bulan pertama akan dihadang konflik internal.
Motif pertarungan politik internal partai antara lain perebutan daerah pemilihan (dapil) yang potensial mendapat dukungan besar bagi calon anggota legislatif (caleg). Setelah lepas dari pertarungan dapil dengan ditetapkannya daftar caleg tetap (DCT) pada Agustus 2013, barulah keluar menghadapi persaingan dengan partai lain.
Masa kampanye yang cukup panjang sekitar 15 bulan setidaknya hanya efektif digunakan setelah lepas dari pertarungan internal. Masa kampanye yang panjang memungkinkan setiap parpol dan calegnya memperkenalkan diri ke publik.Parpol harus menghindari tudingan bahwa kampanye sekadar ritus simbolik dan jauh dari demokrasi substantif.
Kreativitas harus dibangun agar menjadi partai pejuang dan penjaga demokrasi, bukan justru membajak demokrasi untuk memenuhi kepentingan sempit.Termasuk tidak mencari dana kampanye dengan melakukan korupsi.Rakyat sudah hafal betul,memasuki masa kampanye akan banyak praktik politik uang. Pemilu keempat setelah reformasi seharusnya mengarah pada upaya melepaskan diri dari masa transisi demokrasi.
Maka itu, keputusan KPU terhadap 10 parpol untuk ikut Pemilu 2014 layak diapresiasi dengan harapan: parpol memoles wajah demokrasi lebih cantik dan elegan. Pilihan paling strategis untuk mengubah wajah demokrasi menjadi lebih baik harus dimulai dari rekrutmen caleg dan pembersihan kader dari parasit korupsi. Jika parpol ingin tetap dipercaya rakyat, mereka harus berani mengambil langkah radikal dengan tidak mencalonkan kaderkader bermasalah. Rekrutmen kader partai yang akan dijual ke masyarakat mesti didesain sebagus mungkin.
Pada akhirnya mengarah pada keinginan rakyat agar diberi kader yang bersih dari korupsi, berintegritas yang mumpuni, serta berani menepati janji-janji politiknya saat kampanye.Jika ini mampu dilakukan, tugas kita semua mengawasi agar parpol tidak melakukan negosiasi politik di ruang gelap melalui politik uang.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
Syarat untuk itu sangat berat seperti ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (2) UU No 8/2012 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bahwa parpol harus memenuhi sembilan persyaratan administratif seperti berbadan hukum, memiliki pengurus di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan, memiliki anggota 1.000 atau 1/1.000 jumlah penduduk kabupaten/kota. Tentu saja parpol yang merasa tidak lolos keberatan atas hasil verifikasi dengan berbagai argumentasi
.Ada yang menuding regulasi verifikasi faktual yang dibuat KPU mengabaikan struktur demografi dan kemajemukan ideologi di setiap provinsi. Tapi parpol yang merasa keberatan dengan hasil rekapitulasi verifikasi KPU bisa melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) terhadap keputusan KPU atau mengajukan uji materi regulasi KPU terhadap UU Pemilu ke Mahkamah Agung.
Pemerintahan Presidensial
Memang sejumlah ketentuan dalam UU Pemilu yang terkait dengan syarat verifikasi begitu diskriminatif lantaran menguntungkan parpol yang ada di parlemen yang memenuhi persyaratan.Tapi verifikasi yang dilakukan KPU tidak hanya mekanisme mengecek kesiapan dan terpenuhinya syarat sebagai peserta pemilu bagi parpol, tetapi yang juga penting adalah bagaimana menguji eksistensi menghadapi pemilu.
Bagi parpol yang lolos, mereka masih menghadapi hadangan berikutnya,yaitu harus memenuhi ketentuan ambang batas minimal jumlah kursi yang diperoleh dalam pemilu legislatif. Ketentuan parliamentary threshold sebetulnya sebagai salah satu metode yang diharapkan secara alamiah membatasi jumlah parpol yang duduk di parlemen. Sebab untuk apa banyak parpol jika sebagian besar sibuk mengurusi kepentingan diri sendiri ketimbang memikirkan rakyat.
Tiga kali pemilu berlalu, tetapi belum menghasilkan keterwakilan rakyat di parlemen yang bisa mengurus dan menyejahterakan rakyat.Maka itu, untuk mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial, idealnya tidak terlalu banyak parpol peserta pemilu. Sepuluh parpol sebetulnya masih terlalu besar sehingga nasib Presiden Susilo Bambang Yudhoyono boleh jadi akan menular pada presiden berikutnya.Akan tetap tersandera jika masih melakukan koalisi partai di parlemen.
Presiden tidak bebas mengapresiasi hak prerogatifnya dalam menyusun kabinet akibat terbelenggu oleh koalisi parpol. Pemerintahan tak ubahnya seperti dalam sistem pemerintahan parlementer yang dibungkus sistem presidensial. Presiden serbaragu dalam mengambil keputusan seperti saat akan mengganti menteri lantaran harus bersinergi dengan kehendak koalisinya. Apakah negeri ini harus selalu dalam masa transisi demokrasi dengan menoleransi banyak parpol hanya karena menghargai hak untuk berserikat?
Harus Kreatif
Bagi parpol yang dipastikan ikut pemilu tentu harus lebih kreatif memoles isu-isu positif untuk menarik simpati rakyat. Termasuk bagaimana memanfaatkan kekuatan logistik, fisik, dan citra kader yang akan dicalonkan.Parpol peserta Pemilu 2014 sudah bisa berkampanye mulai Jumat (11/1/2013) meski banyak pengamat memprediksi mereka tidak akan fokus lantaran tujuh bulan pertama akan dihadang konflik internal.
Motif pertarungan politik internal partai antara lain perebutan daerah pemilihan (dapil) yang potensial mendapat dukungan besar bagi calon anggota legislatif (caleg). Setelah lepas dari pertarungan dapil dengan ditetapkannya daftar caleg tetap (DCT) pada Agustus 2013, barulah keluar menghadapi persaingan dengan partai lain.
Masa kampanye yang cukup panjang sekitar 15 bulan setidaknya hanya efektif digunakan setelah lepas dari pertarungan internal. Masa kampanye yang panjang memungkinkan setiap parpol dan calegnya memperkenalkan diri ke publik.Parpol harus menghindari tudingan bahwa kampanye sekadar ritus simbolik dan jauh dari demokrasi substantif.
Kreativitas harus dibangun agar menjadi partai pejuang dan penjaga demokrasi, bukan justru membajak demokrasi untuk memenuhi kepentingan sempit.Termasuk tidak mencari dana kampanye dengan melakukan korupsi.Rakyat sudah hafal betul,memasuki masa kampanye akan banyak praktik politik uang. Pemilu keempat setelah reformasi seharusnya mengarah pada upaya melepaskan diri dari masa transisi demokrasi.
Maka itu, keputusan KPU terhadap 10 parpol untuk ikut Pemilu 2014 layak diapresiasi dengan harapan: parpol memoles wajah demokrasi lebih cantik dan elegan. Pilihan paling strategis untuk mengubah wajah demokrasi menjadi lebih baik harus dimulai dari rekrutmen caleg dan pembersihan kader dari parasit korupsi. Jika parpol ingin tetap dipercaya rakyat, mereka harus berani mengambil langkah radikal dengan tidak mencalonkan kaderkader bermasalah. Rekrutmen kader partai yang akan dijual ke masyarakat mesti didesain sebagus mungkin.
Pada akhirnya mengarah pada keinginan rakyat agar diberi kader yang bersih dari korupsi, berintegritas yang mumpuni, serta berani menepati janji-janji politiknya saat kampanye.Jika ini mampu dilakukan, tugas kita semua mengawasi agar parpol tidak melakukan negosiasi politik di ruang gelap melalui politik uang.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
(mhd)