Hakim di antara seks, narkoba & korupsi
A
A
A
Hakim perempuan yang oleh media dijuluki sebagai hakim cantik itu harus bersiap menghadapi sanksi pemecatan alias pemberhentian dengan tidak hormat. Itu ancaman sanksi yang harus dia tanggung akibat ulah perselingkuhan atau bahkan perzinaannya dengan aparat kepolisian.
Tentu tidak ada pembenaran untuk manusia, apalagi hakim yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Si pembuat skandal sudah sepatutnya dikenai hukuman. Apalagi jika si pelaku adalah hakim, profesi yang kerap dijadikan sebagai acuan moral.
Berbagai aturan tentang tindak-tanduk hakim, termasuk Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, menunjukkan betapa para penyandang profesi hakim dikenai pagarpagar perilaku lebih ketat daripada orang kebanyakan. Begitu hakim melakukan pelanggaran terhadap standar etika profesi, sorotan publik pun akan lebih tajam ketimbang saat orang non-hakim yang melakukan kesalahan yang sama.
Sembari mendukung diberikannya sanksi terhadap si hakim cantik, terdapat beberapa kejanggalan di seputar kasus cinta terlarang itu. Pertama, pada saat si hakim cantik begitu gencarnya menjadi bahasan publik dan media massa, mitra selingkuhnya tidak mendapat spotlight setara.
Sulit dielakkan kesan ketidakadilan di sini, betapa pun ihwal keadilan rasanya tak lagi terlalu penting diangkat untuk membahas hakim yang telah terlanjur melakukan perbuatan amoral.
Kesan tersebut adalah, dalam skandal memalukan tersebut,‘’ hukuman’’ publik lebih tertuju pada pihak perempuan. Sementara terhadap si lelaki yang menjadi teman selingkuh si hakim cantik, sampai saat ini media seakan tak begitu ambil pusing. Apalagi karena si lelaki berstatus telah berumah tangga, si hakim cantik semakin gampang untuk disebut sebagai orang ketiga alias perusak rumah tangga orang lain.
‘’Ketidakadilan’’ di atas tecermin pula pada respons lembaga. Tanggal 25 Desember lalu, berkaitan dengan sexual affair si hakim cantik, saya menghubungi seorang komisioner Komisi Yudisial (KY) dan seorang komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).Komisioner KY tersebut menanggapi serius pandangan yang saya sampaikan kepadanya.
KY, sebagai institusi yang berkewenangan melakukan halhal yang dianggap perlu guna menjaga kehormatan dan martabat hakim, sangat tegas sikapnya terhadap si hakim cantik. Pemeriksaan hingga pemberian rekomendasi sanksi telah KY lakukan. Kelugasan semacam itu tidak tampak, sejauh ini, pada Kompolnas.
Seorang komisioner Kompolnas yang saat itu tengah berada di Sumatera Utara,provinsi tempat si hakim cantik bekerja, membalas pesan singkat yang saya kirim justru dengan balik bertanya, “Di mana?
Siapa yang diselingkuhi? Polwankah?” Saya tidak akan menyimpulkan reaksi komisioner Kompolnas tadi sebagai wujud kalahnya respons Kompolnas dibanding KY. Saya hanya sampai pada dugaan bahwa Kompolnas ‘’agak kurang’’ menaruh perhatian pada isu-isu pelanggaran etika yang berada di wilayah privat.
Kompolnas barangkali lebih memfokuskan diri pada kejadian-kejadian kelas berat, semisal bentrokan antara personel Polri dan masyarakat yang menjatuhkan korban jiwa atau dugaan megakorupsi anggota Tribrata.
Tak terpaut jauh, saya juga menghubungi seorang petinggi Mabes Polri. Jawabannya normatif—lebih baik daripada tak ada komentar sama sekali, “Jika terbukti, pasti ada sanksinya.” Lebih jauh,“Jika sudah ada putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap, maka akan menjadi sama sanksinya antara narkoba dan seks karena samasama bisa dikenai pemberhentian tidak dengan hormat.
” Seram! Tapi sementara kasus- kasus penyalahgunaan narkoba di lingkungan Polri bisa disimak via media massa, dan diketahui bentuk sanksi yang Polri jatuhkan, saya belum berhasil menemukan ada satu informasi, apalagi data resmi tentang anggota Polri yang diberhentikan tidak dengan hormat karena kedapatan melakukan skandal seks.
Mudah-mudahan ketidaktersediaan data itu memang karena tidak ada aparat Polri yang ‘’jajan’’ di luar rumah. Tidak setaranya respons KY terhadap si hakim cantik dan tanggapan Kompolnas terhadap katakanlah si polisi ganteng, kembali memunculkan pertanyaan tentang ada tidaknya kelak sanksi yang ditimpakan kepada si polisi. Andaikan ada, benarkah dia akan dihukum pecat secara tidak hormat pula?
Kedua, proporsionalkah hakim yang berselingkuh diberi sanksi pemecatan tidak hormat? Berdasarkan Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, perselingkuhan ditafsirkan termasuk dalam kategori pelanggaran berat atas standar etika dan perilaku hakim.
Pengategorian seperti itu sah-sah saja pada dasarnya. Tapi, manakala sanksi bagi si hakim cantik dibandingkan dengan sanksi bagi hakim yang menyalahgunakan narkoba, akan terasa ada logika yang tak begitu klop satu sama lain.
Dalam kasus hakim PW, misalnya, meskipun telah kedapatan memakai narkoba berulang kali, ditambah sering mangkir dari kantor, dia tidak langsung menerima sangsi pemberhentian tidak dengan hormat. PW masih ‘’dimaafkan’’ dengan dinonpalukan atau dimutasi, sebelum pada akhirnya ditangkap oleh BNN dan akan dihukum lebih tegas.
Padahal, sekali lagi, walau skandal seks adalah perbuatan yang buruk, namun saya tidak berpikiran bahwa kelakuan semacam itu akan berpengaruh terhadap kinerja si hakim cantik dan mutu putusan yudisial yang dia hasilkan.
Sangat berbeda dengan hakim pencandu narkoba; kerja kognitifnya niscaya terganggu, sehingga keabsahan putusan-putusan yang dia jatuhkan pun sesungguhnya sangat patut untuk dipertanya kan.Akibat narkoba, rasionalitas dan imparsialitas serta-merta terempas ke comberan.
Si hakim cantik melakukan pelanggaran etika yang efeknya, atau efek tidak langsungnya, adalah sebatas pada kehidupan personalnya. Sedangkan hakim PW berbuat amoral yang konsekuensinya adalah langsung pada produk-produk profesionalnya.
Lebih kontras lagi jika sanksi yang si hakim cantik terima dibandingkan dengan perlakuan Mahkamah Agung terhadap C, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang dicopot karena meminta duit ke Artalyta Suryani lewat telepon dan kini diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh.
Selain dicopot dari jabatan struktural, hakim C juga pernah diberi status hakim nonpalu. Anggaplah itu hukuman yang setimpal dengan pelanggaran etika kelas berat yang hakim C lakukan.
Namun, karena kemudian ia diberi posisi baru yang sulit dielakkan terkesan sebagai bentuk promosi, sedangkan si hakim cantik akan dikenakan langsung pemberhentian tidak dengan hormat, perlakuan MA terhadap hakim C justru dapat dipandang sangat istimewa. Ulah hakim C sedemikian buruk karena nyata-nyata menggadaikan kedudukannya sebagai orang nomor satu di PN Jakbar sosok yang dianalogikan sebagai manusia terhebat di pengadilan tersebut, baik dari sisi kompetensi kerja dan integritas diri.
Tambahan lagi, betapa pun C adalah hakim senior, dia gagal memosisikan dirinya sebagai figur panutan bagi para rekan seprofesinya yang lebih junior.Kelakuan C yang berlawanan dengan kampanye antikorupsi, terlepas apakah dia faktanya kemudian menerima atau tidak menerima uang dari terdakwa ataupun terpidana suap, ditampilkan lewat penyalahgunaan kekuasaan yang dipegangnya.
Bisa dibayangkan: saat dia meminta sesuatu, dia pun tentu menawarkan sesuatu sebagai balasannya.
Lagi-lagi,independensi dan imparsialitas terbenam di selokan. Publik tidak bisa disalahkan jika menaruh syakwasangka bahwa pengampunan yang MA berikan kepada hakim C adalah cara untuk menutup mulut hakim C.
Seperti ramai diwartakan media, hakim C meminta uang kepada Artalyta sambil beralasan akan bermain golf dengan dua hakim agung. Benar tidaknya pernyataan C tersebut, KY sepatutnya menyelidiki itu.
Jadi, manakah yang paling buruk di antara skandal seks, narkoba,dan korupsi? Semuanya nista. Walau begitu, seandainya peringanan hukuman bagi si hakim cantik dianggap tidak pantas, maka rekomendasinya seharusnya dibalik.
Yaitu, sekiranya si hakim cantik patut diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena menyukai seks tanpa nikah, sanksi yang jauh lebih berat seharusnya ditimpakan kepada hakim PW yang pencandu dan hakim C yang korup.Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Dosen Psikologi Forensik,
Penerima Asian Public Intellectual Fellowship,
Bergiat pada Pengembangan Kompetensi Yudisial
Tentu tidak ada pembenaran untuk manusia, apalagi hakim yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Si pembuat skandal sudah sepatutnya dikenai hukuman. Apalagi jika si pelaku adalah hakim, profesi yang kerap dijadikan sebagai acuan moral.
Berbagai aturan tentang tindak-tanduk hakim, termasuk Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, menunjukkan betapa para penyandang profesi hakim dikenai pagarpagar perilaku lebih ketat daripada orang kebanyakan. Begitu hakim melakukan pelanggaran terhadap standar etika profesi, sorotan publik pun akan lebih tajam ketimbang saat orang non-hakim yang melakukan kesalahan yang sama.
Sembari mendukung diberikannya sanksi terhadap si hakim cantik, terdapat beberapa kejanggalan di seputar kasus cinta terlarang itu. Pertama, pada saat si hakim cantik begitu gencarnya menjadi bahasan publik dan media massa, mitra selingkuhnya tidak mendapat spotlight setara.
Sulit dielakkan kesan ketidakadilan di sini, betapa pun ihwal keadilan rasanya tak lagi terlalu penting diangkat untuk membahas hakim yang telah terlanjur melakukan perbuatan amoral.
Kesan tersebut adalah, dalam skandal memalukan tersebut,‘’ hukuman’’ publik lebih tertuju pada pihak perempuan. Sementara terhadap si lelaki yang menjadi teman selingkuh si hakim cantik, sampai saat ini media seakan tak begitu ambil pusing. Apalagi karena si lelaki berstatus telah berumah tangga, si hakim cantik semakin gampang untuk disebut sebagai orang ketiga alias perusak rumah tangga orang lain.
‘’Ketidakadilan’’ di atas tecermin pula pada respons lembaga. Tanggal 25 Desember lalu, berkaitan dengan sexual affair si hakim cantik, saya menghubungi seorang komisioner Komisi Yudisial (KY) dan seorang komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).Komisioner KY tersebut menanggapi serius pandangan yang saya sampaikan kepadanya.
KY, sebagai institusi yang berkewenangan melakukan halhal yang dianggap perlu guna menjaga kehormatan dan martabat hakim, sangat tegas sikapnya terhadap si hakim cantik. Pemeriksaan hingga pemberian rekomendasi sanksi telah KY lakukan. Kelugasan semacam itu tidak tampak, sejauh ini, pada Kompolnas.
Seorang komisioner Kompolnas yang saat itu tengah berada di Sumatera Utara,provinsi tempat si hakim cantik bekerja, membalas pesan singkat yang saya kirim justru dengan balik bertanya, “Di mana?
Siapa yang diselingkuhi? Polwankah?” Saya tidak akan menyimpulkan reaksi komisioner Kompolnas tadi sebagai wujud kalahnya respons Kompolnas dibanding KY. Saya hanya sampai pada dugaan bahwa Kompolnas ‘’agak kurang’’ menaruh perhatian pada isu-isu pelanggaran etika yang berada di wilayah privat.
Kompolnas barangkali lebih memfokuskan diri pada kejadian-kejadian kelas berat, semisal bentrokan antara personel Polri dan masyarakat yang menjatuhkan korban jiwa atau dugaan megakorupsi anggota Tribrata.
Tak terpaut jauh, saya juga menghubungi seorang petinggi Mabes Polri. Jawabannya normatif—lebih baik daripada tak ada komentar sama sekali, “Jika terbukti, pasti ada sanksinya.” Lebih jauh,“Jika sudah ada putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap, maka akan menjadi sama sanksinya antara narkoba dan seks karena samasama bisa dikenai pemberhentian tidak dengan hormat.
” Seram! Tapi sementara kasus- kasus penyalahgunaan narkoba di lingkungan Polri bisa disimak via media massa, dan diketahui bentuk sanksi yang Polri jatuhkan, saya belum berhasil menemukan ada satu informasi, apalagi data resmi tentang anggota Polri yang diberhentikan tidak dengan hormat karena kedapatan melakukan skandal seks.
Mudah-mudahan ketidaktersediaan data itu memang karena tidak ada aparat Polri yang ‘’jajan’’ di luar rumah. Tidak setaranya respons KY terhadap si hakim cantik dan tanggapan Kompolnas terhadap katakanlah si polisi ganteng, kembali memunculkan pertanyaan tentang ada tidaknya kelak sanksi yang ditimpakan kepada si polisi. Andaikan ada, benarkah dia akan dihukum pecat secara tidak hormat pula?
Kedua, proporsionalkah hakim yang berselingkuh diberi sanksi pemecatan tidak hormat? Berdasarkan Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, perselingkuhan ditafsirkan termasuk dalam kategori pelanggaran berat atas standar etika dan perilaku hakim.
Pengategorian seperti itu sah-sah saja pada dasarnya. Tapi, manakala sanksi bagi si hakim cantik dibandingkan dengan sanksi bagi hakim yang menyalahgunakan narkoba, akan terasa ada logika yang tak begitu klop satu sama lain.
Dalam kasus hakim PW, misalnya, meskipun telah kedapatan memakai narkoba berulang kali, ditambah sering mangkir dari kantor, dia tidak langsung menerima sangsi pemberhentian tidak dengan hormat. PW masih ‘’dimaafkan’’ dengan dinonpalukan atau dimutasi, sebelum pada akhirnya ditangkap oleh BNN dan akan dihukum lebih tegas.
Padahal, sekali lagi, walau skandal seks adalah perbuatan yang buruk, namun saya tidak berpikiran bahwa kelakuan semacam itu akan berpengaruh terhadap kinerja si hakim cantik dan mutu putusan yudisial yang dia hasilkan.
Sangat berbeda dengan hakim pencandu narkoba; kerja kognitifnya niscaya terganggu, sehingga keabsahan putusan-putusan yang dia jatuhkan pun sesungguhnya sangat patut untuk dipertanya kan.Akibat narkoba, rasionalitas dan imparsialitas serta-merta terempas ke comberan.
Si hakim cantik melakukan pelanggaran etika yang efeknya, atau efek tidak langsungnya, adalah sebatas pada kehidupan personalnya. Sedangkan hakim PW berbuat amoral yang konsekuensinya adalah langsung pada produk-produk profesionalnya.
Lebih kontras lagi jika sanksi yang si hakim cantik terima dibandingkan dengan perlakuan Mahkamah Agung terhadap C, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang dicopot karena meminta duit ke Artalyta Suryani lewat telepon dan kini diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh.
Selain dicopot dari jabatan struktural, hakim C juga pernah diberi status hakim nonpalu. Anggaplah itu hukuman yang setimpal dengan pelanggaran etika kelas berat yang hakim C lakukan.
Namun, karena kemudian ia diberi posisi baru yang sulit dielakkan terkesan sebagai bentuk promosi, sedangkan si hakim cantik akan dikenakan langsung pemberhentian tidak dengan hormat, perlakuan MA terhadap hakim C justru dapat dipandang sangat istimewa. Ulah hakim C sedemikian buruk karena nyata-nyata menggadaikan kedudukannya sebagai orang nomor satu di PN Jakbar sosok yang dianalogikan sebagai manusia terhebat di pengadilan tersebut, baik dari sisi kompetensi kerja dan integritas diri.
Tambahan lagi, betapa pun C adalah hakim senior, dia gagal memosisikan dirinya sebagai figur panutan bagi para rekan seprofesinya yang lebih junior.Kelakuan C yang berlawanan dengan kampanye antikorupsi, terlepas apakah dia faktanya kemudian menerima atau tidak menerima uang dari terdakwa ataupun terpidana suap, ditampilkan lewat penyalahgunaan kekuasaan yang dipegangnya.
Bisa dibayangkan: saat dia meminta sesuatu, dia pun tentu menawarkan sesuatu sebagai balasannya.
Lagi-lagi,independensi dan imparsialitas terbenam di selokan. Publik tidak bisa disalahkan jika menaruh syakwasangka bahwa pengampunan yang MA berikan kepada hakim C adalah cara untuk menutup mulut hakim C.
Seperti ramai diwartakan media, hakim C meminta uang kepada Artalyta sambil beralasan akan bermain golf dengan dua hakim agung. Benar tidaknya pernyataan C tersebut, KY sepatutnya menyelidiki itu.
Jadi, manakah yang paling buruk di antara skandal seks, narkoba,dan korupsi? Semuanya nista. Walau begitu, seandainya peringanan hukuman bagi si hakim cantik dianggap tidak pantas, maka rekomendasinya seharusnya dibalik.
Yaitu, sekiranya si hakim cantik patut diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena menyukai seks tanpa nikah, sanksi yang jauh lebih berat seharusnya ditimpakan kepada hakim PW yang pencandu dan hakim C yang korup.Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Dosen Psikologi Forensik,
Penerima Asian Public Intellectual Fellowship,
Bergiat pada Pengembangan Kompetensi Yudisial
(lns)