Menata Kemenag

Jum'at, 04 Januari 2013 - 10:33 WIB
Menata Kemenag
Menata Kemenag
A A A
Bau tak sedap kembali menyeruak dari Kementerian Agama (Kemenag). Kali ini terkait adanya dugaan penyimpangan dalam perjalanan haji seperti disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Rabu 2 Januari 2013.

Lembaga tersebut juga mengindikasikan adanya pengeluaran yang tidak transparan terkait pengelolaan dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp80 triliun dengan bunganya yang mencapai sekitar 2,3 triliun.

Tudingan yang disampaikan Ketua PPATK Muhammad Yusuf dalam jumpa pers Refleksi Akhir Tahun 2012 PPATK tersebut jelas menambah wajah buram kementerian yang dipimpin Suryadharma Ali itu. Sebelumnya, tudingan senada pernah disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Anggito Abimanyu pun langsung membantah tudingan PPATK tersebut. Mantan Dirjen Anggaran Kemenkeu itu menegaskan bahwa PPATK belum pernah berkoordinasi dengan pihaknya terkait persoalan yang disampaikan.

Dia juga menegaskan bahwa dana BPIH telah dikelola secara profesional dan transparan seperti pada pengelolaan bunga, penukaran valuta asing, penunjukan bank untuk setoran ongkos naik haji calon jamaah. Anggito pun meluruskan bahwa pemanfaatan dana BPIH untuk rehabilitasi kantor dan membeli kendaraan operasional pada 2009 dan 2011 atas persetujuan DPR.

Dia menjelaskan, pembiayaan ini dilakukan karena dana APBN tahun bersangkutan tidak mencukupi, sementara terdapat kebutuhan operasional di Arab Saudi yang sangat mendesak. Mulai tahun 2012 pembiayaan tersebut telah dialihkan dengan sumber dana dari APBN DIPA Kemenag.

Siapa yang benar dan siapa yang salah pada persoalan ini, memang perlu diverifikasi lebih dalam. Tapi di mata masyarakat umum, tentu lebih sulit menerima bantahan seperti disampaikan Dirjen PHU ketimbang menyalahkan laporan PPATK.

Hal ini terjadi karena wajah Kemenag sudah terlalu buram akibat rangkaian kasus yang menerpanya.Ibaratnya,klarifikasi seperti menggarami air laut, yakni pekerjaan sia-sia dan tidak ada artinya.

Seperti dipahami, Kemenag baru-baru ini menjadi buah mulut terkait dugaan pungli kantor urusan agama (KUA) yang dilakukan oknum penghulu hingga akumulasi nilainya mencapai Rp1,2 triliun. Kementerian ini pun belum beringsut dari kasus korupsi laboratorium madrasah 2011 senilai Rp31 miliar, pengadaan Kitab Suci 2011 sebesar Rp20 miliar,dan pengadaan Kitab Suci 2012.

Karena itu, walaupun sah-sah saja melakukan klarifikasi, sejatinya lebih baik Kemenag memanfaatkan laporan PPATK tersebut sebagai pintu masuk untuk melakukan pembenahan internal sehingga kelak bisa menjadi profesional, transparan, dan kemudian citra Kemenag sebagai lembaga yang berlatar keagamaan dan penegak moral kembali pulih di mata masyarakat.

Siapa pun harus mengapresiasi langkah Suryadharma untuk mewujudkan harapan tersebut seperti ditunjukkan dengan merangkul Anggito untuk membenahi PHU dan mengangkat mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Jasin menjadi inspektur jenderal (irjen) Kemenag.

Tapi lebih dari itu masyarakat membutuhkan perbaikan yang konkret, yang hasilnya dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama oleh umat yang tengah menunaikan rukun Islam di Tanah Suci.

Pembenahan pun jangan hanya dilakukan pada dana PHU,tapi juga pos-pos lain yang rawan seperti biaya nikah yang selama ini menjadi sumber untuk menambah pundi-pundi kekayaan oknum Kemenag.

Kalau perlu, pemetaan dan penertiban ini dilakukan dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau lembaga penegak hukum lain.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5743 seconds (0.1#10.140)