Pemerintahan yang Lambat

Rabu, 08 April 2020 - 06:58 WIB
Pemerintahan yang Lambat
Pemerintahan yang Lambat
A A A
Dinna Prapto Raharja, PhD
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@Dinna_PR

KOTA Guayaquil di Ekuador memiliki fenomena baru. Penduduk di sana yang awalnya secara diam-diam meletakkan jenazah-jenazah di trotoar jalan di malam hari sekarang tidak lagi sungkan-sungkan meletakkan di jalan raya agar dapat diambil oleh instansi pemerintah yang berwenang.

Situasi ini terjadi karena sistem dan fasilitas kesehatan Kota GYD sudah menutup pintu untuk menerima pasien sehingga semua yang meninggal, tidak hanya karena Covid-19, tetapi juga penyakit lain, kesulitan akses penguburan. Banyak orang yang meninggal ketika mereka sedang menuju atau sedang antre mendapat giliran di rumah sakit.

Kematian di kota ini mencapai jumlah 2.388 orang atau 70% dari total kematian di seluruh Ekuador yang awalnya berpopulasi 3.368 orang. Tidak ada yang tahu apakah angka kematian ini adalah angka yang sesungguhnya terjadi.

Maria Alexandra Torres, seperti yang dikutip dari Miami Herald, menggambarkan Kota Guayaquil seperti kota zombie. “Rumah pemakaman tidak ingin menerima jenazah. Ambulans tidak bergerak untuk mengambilnya,” katanya dalam pesan voicemail, menggambarkan tubuh yang ditinggalkan di luar dalam suhu 90 F yang lembap dan mengatakan dia dan yang lain melihat “hal-hal yang tidak dapat Anda bayangkan. Sangat tidak ada kontrol oleh pemerintah.”

Kota Guayaquil menjadi pusat atau episentrum wabah pandemi Covid-19 karena kawasan ini adalah kota yang paling padat, paling sibuk, dan menjadi pintu lalu lintas orang-orang yang pergi dan datang dari luar negeri. Karena itu, tidak mengherankan apabila jumlah penduduk yang terpapar oleh Covid-19 juga paling besar.

Kota Guayaquil adalah sebuah kota terbesar dan pelabuhan utama di Ekuador, yang terletak di Provinsi Guaya. Kota ini dikenal sebagai pintu gerbang ke pantai Pasifik dan Kepulauan Galapagos.

Wilayah kota ini membentang di sepanjang Sungai Guayas dan terkenal sebagai kawasan pejalan kaki yang dipenuhi barisan kafe dan rumah makan. Keramaian kota ini terutama karena pelabuhan Guayaquil adalah pelabuhan komersial paling penting di Ekuador. Seluruh barang yang diekspor dan diimpor ke Ekuador melalui pelabuhan ini karena dekat dengan Teluk Guayaquil yang menjadi perlintasan kapal laut.

Wabah Covid-19 telah membuat kota ini menjadi sunyi. Para penduduk mengisolasi diri dan ekonomi menjadi berhenti. Sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya dari sektor informal.

Mantan Presiden Ekuador Rafael Correo dalam diskusinya di Radio Havana Kuba, mengatakan bahwa 60% penduduk adalah wiraswasta, pekerja informal, supir taksi, penjual es krim, dan mereka harus keluar dan mencari nafkah dari hari ke hari. Dia mengkritik bahwa pemerintah tidak mengalokasikan cukup anggaran sebagai insentif untuk membuat mereka tetap di rumah.

Populasi pekerjaan penduduk yang sebagian didominasi pekerjaan informal menyebabkan imunitas masyarakat sangat lemah. Mereka tidak dilindungi oleh asuransi sosial, mendapatkan upah yang rendah sehingga tidak dapat mengonsumsi makanan bergizi, jam kerja yang panjang, dan punya gaya hidup yang tidak teratur.

Masyarakat yang rentan terhadap penyakit itu menjadi tidak terlindungi ketika Pemerintah Ekuador terlambat mengantisipasi wabah ini. Pada saat wabah ini meledak di Eropa pada awal bulan Maret, terutama di Italia dan Spanyol, Pemerintah Ekuador tidak membatasi penduduk mereka yang pergi ke dan pulang dari kedua negara tersebut.

Keluarga-keluarga kaya di Guayaquil banyak yang menyambut libur Minggu Paskah ke Italia dan Spanyol, dua negara yang menjadi pusat pandemi Covid-19 di Eropa. Sekembali mereka dari kedua negara tersebut, pandemi tidak lagi dapat dibendung. Covid-19 menyebar dan memberikan dampak negatif kepada kualitas kesehatan penduduk yang sudah rentan.

Presiden Lenin Moreno terkejut dengan perkembangan situasi di Guayaquil dan langsung memerintahkan untuk mengarantina provinsi tersebut mulai 27 Maret 2020. Pemerintah melarang penduduk untuk melakukan aktivitas dan tinggal di rumah.Sayangnya, perintah itu sudah terlambat karena situasi di Guayaquil sudah kacau. Penduduk juga sulit untuk tinggal di rumah karena pemerintah tidak memberikan bantuan makanan atau keuangan yang cukup bagi penduduk.
Anggaran keuangan pemerintah tidak cukup, walaupun akhirnya mereka harus berutang USD20 juta dari Bank Dunia. Rafael Correra sudah berseru agar Pemerintah Ekuador meminta bantuan kepada negara lain seperti Kuba dan China untuk membantu penduduk yang kekurangan tenaga medis dan peralatan, tetapi perbedaan ideologi yang sangat tajam dengan negara-negara tersebut membuat Presiden Lenin Moreno enggan mengambil pilihan tersebut.
PelajaranKasus yang terjadi di Guayaquil tersebut semoga tidak terjadi di Indonesia, namun kita harus tetap waspada. Setidaknya ada dua faktor yang patut membuat kita lebih waspada agar tidak sampai kecolongan seperti Guayaquil.

Pertama, sejumlah kota dan provinsi di Indonesia adalah tempat persinggahan dan jalur penting pergerakan manusia maupun barang. Sebut saja daerah-daerah di Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Barat. Wilayah-wilayah tersebut tidak pernah sepi orang-orang yang menyeberang menuju Malaysia, baik mereka yang terdokumentasi maupun yang pergi dan kembali secara ilegal.

Selain itu, ada juga Provinsi Bali, Yogyakarta, Lombok, serta Manado dan Makassar yang makin strategis karena masyarakatnya mengandalkan pemanfaatan turisme untuk memperluas peluang-peluang kerja di sektor informal. Kombinasi antara jalur pergerakan manusia serta barang dan meluasnya pekerja sektor informal akan sangat berbahaya jika tidak diikuti peningkatan perlindungan agar wilayah tersebut bisa terhindar dari wabah Covid-19.Sekali ada yang terkena, efek dominonya sangat membebani fasilitas kesehatan yang cenderung terbatas. Dari segi kesiapan fasilitas kesehatan mungkin baru Bali yang relatif paling siap menghadapi wabah.
Saya bahkan belum menyebut provinsi-provinsi yang jauh dari mana-mana dan rendah kualitas penanganan kesehatannya seperti di pulau-pulau di Maluku, di Papua. Di Jawa dan Sumatera pun kantong-kantong kemiskinannya ada di mana-mana. Artinya pola pencegahan Covid-19 di sana tidak bisa disamakan dengan di Jakarta yang mengandalkan kesadaran warga.

Kedua, di Indonesia ada kecenderungan bagi aparat untuk bertindak secara prosedural dan hierarkis ketika berhadapan dengan masalah. Apakah artinya ini? Artinya bahwa birokrat takut bertindak dan merespons kebutuhan masyarakat dan berlindung di balik aturan birokrasi.

Semakin jauh dari Jakarta, kemampuan untuk bertindak responsif atas kebutuhan warganya patut dipertanyakan. Kecenderungan ini sudah dipantau menjadi salah satu penghambat mengapa program-program pemberdayaan di desa, misalnya, kurang optimal.

Kreativitas menyelesaikan masalah, kemampuan mengidentifikasi mitra kerja hingga ke tingkat RT/RW sama, termasuk dengan lembaga-lembaga nonpemerintah, serta daya bersuara agar kebutuhan warganya terdengar hingga ke pusat belum punya wadah dalam pengelolaan masalah-masalah sosial. Wadah pengelolaan masalah masih bersifat birokratis, mengikuti pola aturan yang ditetapkan oleh pusat.Pusat juga kesulitan menangkap sinyal kebutuhan dari daerah karena aparat dari pusat tak ingin disalahartikan. Artinya, kita tak perlu memperdebatkan apakah Pemerintah Indonesia sudah melakukan yang cukup untuk mengatasi Covid-19. Bagaimanapun, belum saatnya kita menepuk punggung sendiri untuk menghibur diri, apalagi memuji diri.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5932 seconds (0.1#10.140)