Covid-19 Turut Ciptakan Krisis Ekonomi
A
A
A
Aries Heru Prasetyo, Ph.D
Vice Dean for Research and InnovationPPM School of Management
Sudah dua bulan berlalu sejak pandemi corona resmi masuk ke Nusantara. Hingga artikel ini disusun, setidaknya telah terdapat lebih dari 550.000 orang terpapar virus corona ini, beberapa korban juga berjatuhan di sejumlah negara. Di Indonesia sendiri, sampai akhir Maret ini telah terdapat 1.414 kasus di mana 122 di antaranya meninggal dunia.
Hal ini menunjukkan betapa kuatnya daya penyebaran virus ini, tidak hanya di sektor kesehatan dan kondisi sosial masyarakat, namun juga di sisi ekonomi. Kebijakan untuk melakukan social distancing maupun karantina wilayah atau yang dikenal dengan istilah lockdown secara langsung menimbulkan turbulensi ekonomi.
Patut dipahami bahwa kehadiran Covid-19 ini bersamaan dengan kondisi ekonomi global yang tengah melesu. Mengakhiri tahun 2019 lalu, ketegangan akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China belum usai. Demikian pula trend penurunan harga beberapa komoditas seperti minyak bumi. Bak pekerjaan rumah yang belum tuntas, maka corona berhasil menciptakan kepanikan pasar yang cukup berkepanjangan.
Setidaknya segenap elemen masyarakat termasuk para pelaku bisnis harus mengarahkan pemikirannya pada dua dimensi. Pertama, dari sisi kesehatan, baik untuk langkah antisipasi agar tidak terkena virus, maupun upaya perawatan bila telah terjangkiti oleh virus. Kedua, dari sisi operasional bisnis, dengan tujuan utama untuk mempertahankan stabilitas arus kas masuk. Upaya tersebut hanya ditujukan untuk bertahan dalam menghadapi kondisi yang penuh ketidakpastian ini.
Kepanikan pasar ini bertambah pasca merebaknya virus ke negara-negara di luar China Tiongkok sejak ertengahan Januari lalu. Satu per satu perusahaan mulai menghentikan sementara proses operasinya, termasuk penghentian kegiatan produksi. Dengan kata lain, beberapa rantai nilai turut terganggu, mulai dari sisi pasokan bahan baku hingga penurunan permintaan sebagai akibat pergeseran kebutuhan masyarakat.
Kondisi ini mau tak mau telah menciptakan ketidakpastian yang semakin tinggi dari sisi pasar. Itulah mengapa tren penurunan indeks harga saham terjadi selama beberapa minggu terakhir. Melansir dari beberapa sumber, indeks Nikkei turun 16,4%, indeks Dow Jones turun 21,9%, demikian pula indeks FTSE yang turun sebesar 26,6%. Di Indonesia sendiri, indeks bursa ada di level 4.000-an, padahal di awal tahun ini indeks berada di level 6.000-an.
Tempaan terkuat Covid-19 terlihat jelas di sektor pariwisata. Melansir dari data Flight Radar 24, sejak diumumkan sebagai sebuah pandemik global di 11 Maret lalu, terjadi penurunan frekuensi penerbangan dari 180.000-an per hari di tanggal 5 Maret, menjadi 60.000-an di tanggal 29 Maret.
Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pemangkasan frekuensi penerbangan hingga 50% lebih. Kondisi ini diyakini akan terus terjadi di beberapa minggu ke depan, terkait semakin banyaknya negara yang menerapkan karantina wilayah.
Dari ranah investasi, penurunan harga saham kini turut diikuti dengan pelemahan nilai tukar mata uang, termasuk rupiah. Pada sementara waktu, investor terlihat tengah masuk ke pasar emas murni. Realitas inilah yang kemudian membuat harga komoditas emas menjadi sangat berfluktuasi.
Hal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kepanikan pasar kini mulai masuk ke instrumen investasi yang awalnya tergolong ‘aman’ dengan harga yang relatif stabil. Dengan demikian,investor tengah mengidentifikasi kriteria investasi yang ‘aman’.
Gejala krisis kini mulai terlihat di beberapa negara. Di Amerika Serikat sendiri, selang satu bulan terakhir tampak adanya peningkatan jumlah masyarakat yang mengajukan benefit sosial akibat penghentian hubungan kerja.Beberapa analis bahkan melihat adanya kesamaan dengan apa yang pernah terjadi saat krisis ekonomi melanda di tahun 2008 silam. Selanjutnya tingkat pengangguran di negara Paman Sam tersebut diperkirakan akan meningkat hingga 32%.
Chaos-nya kondisi perekonomian global akibat pandemik ini mau tak mau membutuhkan stimulus khusus dari pemerintah. Di Indonesia sendiri, pemerintah tengah menyiapkan stimulus setidaknya Rp600 triliun untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Alhasil dengan semua kondisi ini, kolaborasi yang kuat antara masyarakat dengan segenap pemangku kepentingan mutlak diperlukan.
Satu rumusan kunci yang dapat menjadi perhatian adalah, bahwa pemulihan ekonomi akan efektif dilakukan ketika pandemik mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan, seperti yang tengah terjadi di China sejak minggu ketiga Maret lalu. Artinya, marilah kita mentaati program social distancing yang kini tengah digelorakan pemerintah dengan target utama menekan laju pertumbuhan kasus Covid-19 positif.
Semoga kita semakin dimampukan untuk mengalahkan daya kekuatan virus ini. Bersama kita bisa.
Selamat berefleksi, sukses senantiasa menyertai Anda!
Vice Dean for Research and InnovationPPM School of Management
Sudah dua bulan berlalu sejak pandemi corona resmi masuk ke Nusantara. Hingga artikel ini disusun, setidaknya telah terdapat lebih dari 550.000 orang terpapar virus corona ini, beberapa korban juga berjatuhan di sejumlah negara. Di Indonesia sendiri, sampai akhir Maret ini telah terdapat 1.414 kasus di mana 122 di antaranya meninggal dunia.
Hal ini menunjukkan betapa kuatnya daya penyebaran virus ini, tidak hanya di sektor kesehatan dan kondisi sosial masyarakat, namun juga di sisi ekonomi. Kebijakan untuk melakukan social distancing maupun karantina wilayah atau yang dikenal dengan istilah lockdown secara langsung menimbulkan turbulensi ekonomi.
Patut dipahami bahwa kehadiran Covid-19 ini bersamaan dengan kondisi ekonomi global yang tengah melesu. Mengakhiri tahun 2019 lalu, ketegangan akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China belum usai. Demikian pula trend penurunan harga beberapa komoditas seperti minyak bumi. Bak pekerjaan rumah yang belum tuntas, maka corona berhasil menciptakan kepanikan pasar yang cukup berkepanjangan.
Setidaknya segenap elemen masyarakat termasuk para pelaku bisnis harus mengarahkan pemikirannya pada dua dimensi. Pertama, dari sisi kesehatan, baik untuk langkah antisipasi agar tidak terkena virus, maupun upaya perawatan bila telah terjangkiti oleh virus. Kedua, dari sisi operasional bisnis, dengan tujuan utama untuk mempertahankan stabilitas arus kas masuk. Upaya tersebut hanya ditujukan untuk bertahan dalam menghadapi kondisi yang penuh ketidakpastian ini.
Kepanikan pasar ini bertambah pasca merebaknya virus ke negara-negara di luar China Tiongkok sejak ertengahan Januari lalu. Satu per satu perusahaan mulai menghentikan sementara proses operasinya, termasuk penghentian kegiatan produksi. Dengan kata lain, beberapa rantai nilai turut terganggu, mulai dari sisi pasokan bahan baku hingga penurunan permintaan sebagai akibat pergeseran kebutuhan masyarakat.
Kondisi ini mau tak mau telah menciptakan ketidakpastian yang semakin tinggi dari sisi pasar. Itulah mengapa tren penurunan indeks harga saham terjadi selama beberapa minggu terakhir. Melansir dari beberapa sumber, indeks Nikkei turun 16,4%, indeks Dow Jones turun 21,9%, demikian pula indeks FTSE yang turun sebesar 26,6%. Di Indonesia sendiri, indeks bursa ada di level 4.000-an, padahal di awal tahun ini indeks berada di level 6.000-an.
Tempaan terkuat Covid-19 terlihat jelas di sektor pariwisata. Melansir dari data Flight Radar 24, sejak diumumkan sebagai sebuah pandemik global di 11 Maret lalu, terjadi penurunan frekuensi penerbangan dari 180.000-an per hari di tanggal 5 Maret, menjadi 60.000-an di tanggal 29 Maret.
Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pemangkasan frekuensi penerbangan hingga 50% lebih. Kondisi ini diyakini akan terus terjadi di beberapa minggu ke depan, terkait semakin banyaknya negara yang menerapkan karantina wilayah.
Dari ranah investasi, penurunan harga saham kini turut diikuti dengan pelemahan nilai tukar mata uang, termasuk rupiah. Pada sementara waktu, investor terlihat tengah masuk ke pasar emas murni. Realitas inilah yang kemudian membuat harga komoditas emas menjadi sangat berfluktuasi.
Hal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kepanikan pasar kini mulai masuk ke instrumen investasi yang awalnya tergolong ‘aman’ dengan harga yang relatif stabil. Dengan demikian,investor tengah mengidentifikasi kriteria investasi yang ‘aman’.
Gejala krisis kini mulai terlihat di beberapa negara. Di Amerika Serikat sendiri, selang satu bulan terakhir tampak adanya peningkatan jumlah masyarakat yang mengajukan benefit sosial akibat penghentian hubungan kerja.Beberapa analis bahkan melihat adanya kesamaan dengan apa yang pernah terjadi saat krisis ekonomi melanda di tahun 2008 silam. Selanjutnya tingkat pengangguran di negara Paman Sam tersebut diperkirakan akan meningkat hingga 32%.
Chaos-nya kondisi perekonomian global akibat pandemik ini mau tak mau membutuhkan stimulus khusus dari pemerintah. Di Indonesia sendiri, pemerintah tengah menyiapkan stimulus setidaknya Rp600 triliun untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Alhasil dengan semua kondisi ini, kolaborasi yang kuat antara masyarakat dengan segenap pemangku kepentingan mutlak diperlukan.
Satu rumusan kunci yang dapat menjadi perhatian adalah, bahwa pemulihan ekonomi akan efektif dilakukan ketika pandemik mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan, seperti yang tengah terjadi di China sejak minggu ketiga Maret lalu. Artinya, marilah kita mentaati program social distancing yang kini tengah digelorakan pemerintah dengan target utama menekan laju pertumbuhan kasus Covid-19 positif.
Semoga kita semakin dimampukan untuk mengalahkan daya kekuatan virus ini. Bersama kita bisa.
Selamat berefleksi, sukses senantiasa menyertai Anda!
(poe)