Sebaran Corona Bertambah, Jokowi Didesak Keluarkan Perppu Tunda Pilkada 2020

Senin, 30 Maret 2020 - 10:34 WIB
Sebaran Corona Bertambah, Jokowi Didesak Keluarkan Perppu Tunda Pilkada 2020
Sebaran Corona Bertambah, Jokowi Didesak Keluarkan Perppu Tunda Pilkada 2020
A A A
JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menunda Pilkada 2020.

Hal ini dikatakan Manajer Program Perludem, Fadli Ramadhanil. Menurutnya, Perppu ini penting bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjadi landasan hukum dalam menerbitkan keputusan menunda seluruh tahapan Pilkada 2020.

"Penundaan Pilkada 2020 mesti menjadi prioritas, karena wabah COVID-19 semakin meluas, dan terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia," kata Manajer Program Perludem, Fadli Ramadhanil, Senin (30/3/2020).

(Baca juga: Karantina Wilayah Bisa Efektif dengan Logistik dan Anggaran Besar)

Menurut Fadli, Perppu ini perlu dikeluarkan Presiden mengingat kondisi ini juga beririsan dengan sebaran daerah yang akan melaksanakan Pilkada 2020. Menurutnya, dari 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada itu tersebar di 32 provinsi di Indonesia. Hanya DKI Jakarta dan Aceh yang tidak terdapat pelaksanaan Pilkada 2020.

Dia menuturkan, sejak pekan lalu, melalui Keputusan dan Surat Edaran, KPU sudah memutuskan untuk menunda pelaksanaan beberapa tahapan pilkada. Alhasil, beberapa aktivitas tahapan yang sudah diputuskan untuk ditunda antara lain pelantikan anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi faktual dukungan bakal pasangan calon perseorangan, pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP), dan tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih.

Menurutnya, iimplikasi teknis dari penundaan ini akan berdampak pada kontinuitas tahapan pilkada lainnya. Serta bisa menggeser hari pemungutan suara, karena itu aktivitas inti pilkada. (Baca juga: Siapkan PP Karantina Wilayah, DPR: Polisi dan Tentara Harus Kawal Ketat)

"Sebut saja misalnya ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang menyebut 'PPS dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota 6 (enam) bulan sebelum pemungutan suara dan dibubarkan paling lambat 2 (dua) bulan setelah pemungutan suara'. Tentu kalau pelantikan PPS bergeser, maka akan menggeser pula hari pemungutan suara sesuai Pasal itu," ungkapnya.

Pilkada diputuskan serentak lanjut Fadli, maka mestinya dampak penundaan ini tidak hanya dihitung daerah per daerah, tapi juga harus dilihat dalam skala keserentakan pilkada. Maka kebijakan yang dibuat harus dengan pendekatan nasional, tidak secara parsial daerah per daerah.

"Sementara itu, ketentuan penundaan pilkada yang diatur dalam UU Pilkada, berupa Pemilihan Lanjutan dan Pemilihan Susulan sebagaimana diatur dalam Pasal 120 dan Pasal 121 UU Nomor 1 Tahun 2015, tidak mampu memberikan landasan hukum bagi penundaan pilkada secara nasional, melainkan parsial daerah per daerah terbatas pada wilayah yang mengalami kondisi luar biasa (force majeur), serta harus dilakukan secara bottom up process, berjenjang dari bawah ke atas," paparnya.

Di sisi lain, dengan sudah ditundanya empat aktivitas tahapan pilkada ini, yang dalam pandangan Perludem memiliki implikasi langsung terhadap tahapan lainnya, terutama hari pemungutan suara Pilkada 2020 yang dijadwalkan pada 23 September 2020 (merujuk Peraturan KPU No.15/2019, 16/2019, dan 2/2020).

Untuk itu, KPU sebagai penanggungjawab akhir pelaksanaan Pilkada 2020, perlu untuk menyesuaikan kembali tahapan pelaksanaan pilkada, agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis dan konstitusional.

Hanya saja, untuk mengubah hari pemungutan suara, terutama bulan dan tahun pemungutan suara Pilkada 2020, KPU tidak bisa menentukan sendiri. Sebab UU Pilkada, khususnya Pasal 201 Ayat (6) UU Nomor 10 Tahun 2016, menyebutkan secara eksplisit.

"Pemungutan suara serentak gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2015, dilaksanakan pada bulan September tahun 2020," ucap Fadli.

Artinya sambung dia, jika hendak mengubah bulan dan tahun pemungutan suara, mesti dilaksanakan dengan mengubah Pasal 201 Ayat (6) UU Nomor 10 Tahun 2016. Untuk melakukan perubahan undang-undang di tengah wabah COVID-19 yang semakin meluas ini tentu tidak gampang.

"Apalagi DPR juga sudah memutuskan untuk memperpanjang masa resesnya. Kondisinya semakin mendesak, karena tahapan Pilkada 2020 sudah berjalan cukup signifikan. Penyelenggara pemilu ad hoc di level kecamatan dan sebagian kelurahan sudah terbentuk. Bahkan, bakal pasangan calon perseorangan sudah mendaftar dan sudah pula diteliti berkas admininstrasinya oleh KPU di daerah," jelasnya.

Kata Fadli, atas kondisi yang tidak mudah ini, ihwal kegentingan memaksa bagi presiden untuk segera mengeluarkan Perpu dinilai sudah terpenuhi. "Sebagaimana Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009: '…..Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila: 1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang," ucapnya.

"2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UndangUndang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," sambung Fadli mengutip putusan MK.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9378 seconds (0.1#10.140)