KPU Ingatkan Petahana Tak Gunakan Bansos Corona untuk Kepentingan Pilkada
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari mengingatkan kepada para bakal calon kepala daerah yang akan maju lagi dalam Pilkada serentak atau calon petahana, tak menjadikan bantuan sosial (bansos) penanganan virus Corona atau Covid-19 untuk kepentingan politik dalam Pilkada.
"Kedudukan sebagai petahana atau bukan ini yang akan menentukan sanksi yang dapat dikenakan kepada yang bersangkutan," tutur Hasyim menjawab pertanyaan wartawan, Senin (4/5/2020).
Meski Pilkada belum ditentukan kapan waktunya setelah diputuskan ditunda, dalam hal ini, lanjut Hasyim, pihaknya merujuk pada pasal 71 Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan Peraturan KPU (PKPU) nomor 1 tahun 2020 pasal 1 angka 20 tentang pencalonan.
Pasal 71 UU 10/2016 tentang Pilkada menentukan sebagai berikut: Ayat (3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali kota atau Wakil Wali kota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
(Baca juga: DTKS Tak Akurat, DPR Minta Pemerintah Validasi Data Penerima Bansos)
Ayat (5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Ayat (6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PKPU Nomor 1/2020 tentang Pencalonan Pilkada; Pasal 1 angka 20 menentukan, Petahana adalah Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota yang sedang menjabat dan mencalonkan atau dicalonkan sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan: Kepala daerah aktif pada dasarnya dilarang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya yang dapat menguntungkan atau merugikan pasangan calon (paslon) dalam kurun waktu tertentu dalam tahapan pilkada yaitu 6 bulan sebelum penetapan paslon hingga penetapan paslon terpilih.
"Kepala daerah aktif yang mencalonkan diri lagi (petahana), bila melanggar larangan tersebut dapat dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai calon. Selain itu, Kepala daerah aktif yang tidak mencalonkan diri lagi, bila melanggar larangan tersebut dapat dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," jelasnya.
"Bila terdapat kasus kepala daerah aktif ditemukan (terindikasi) melakukan penyalahgunaan bantuan sosial pada masa bencana nasional covid-19, harus dilihat apakah yang bersangkutan mencalonkan lagi dalam pilkada atau tidak, karena hal itu akan mempengaruhi kedudukannya sbg petahana atau bukan," pungkas dia.
"Kedudukan sebagai petahana atau bukan ini yang akan menentukan sanksi yang dapat dikenakan kepada yang bersangkutan," tutur Hasyim menjawab pertanyaan wartawan, Senin (4/5/2020).
Meski Pilkada belum ditentukan kapan waktunya setelah diputuskan ditunda, dalam hal ini, lanjut Hasyim, pihaknya merujuk pada pasal 71 Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan Peraturan KPU (PKPU) nomor 1 tahun 2020 pasal 1 angka 20 tentang pencalonan.
Pasal 71 UU 10/2016 tentang Pilkada menentukan sebagai berikut: Ayat (3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali kota atau Wakil Wali kota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
(Baca juga: DTKS Tak Akurat, DPR Minta Pemerintah Validasi Data Penerima Bansos)
Ayat (5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Ayat (6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PKPU Nomor 1/2020 tentang Pencalonan Pilkada; Pasal 1 angka 20 menentukan, Petahana adalah Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota yang sedang menjabat dan mencalonkan atau dicalonkan sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan: Kepala daerah aktif pada dasarnya dilarang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya yang dapat menguntungkan atau merugikan pasangan calon (paslon) dalam kurun waktu tertentu dalam tahapan pilkada yaitu 6 bulan sebelum penetapan paslon hingga penetapan paslon terpilih.
"Kepala daerah aktif yang mencalonkan diri lagi (petahana), bila melanggar larangan tersebut dapat dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai calon. Selain itu, Kepala daerah aktif yang tidak mencalonkan diri lagi, bila melanggar larangan tersebut dapat dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," jelasnya.
"Bila terdapat kasus kepala daerah aktif ditemukan (terindikasi) melakukan penyalahgunaan bantuan sosial pada masa bencana nasional covid-19, harus dilihat apakah yang bersangkutan mencalonkan lagi dalam pilkada atau tidak, karena hal itu akan mempengaruhi kedudukannya sbg petahana atau bukan," pungkas dia.
(maf)