100 Hari KPK Era Firli, ICW Catat 7 Kontroversi
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan tepat pada pekan ini genap 100 hari lima komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih memimpin lembaga antirasuah itu. Menurut ICW, alih-alih menunjukkan kinerja yang lebih baik dari periode sebelumnya, justru yang dihasilkan adalah berbagai kontroversi.
Selama 100 hari ini, setidaknya ICW mencatat 7 (tujuh) kontroversi publik yang timbul. Pertama, gagal menangkap buronan. Sebagaimana diketahui bahwa dua buronan KPK saat ini tak kunjung bisa ditangkap, yakni Harun Masiku dan Nurhadi.
"Padahal rekam jejak lembaga antirasuah selama ini dikenal cepat dalam menemukan pelaku korupsi yang melarikan diri. Sebagai contoh, mantan bendahara Partai Demokrat M Nazarudin dalam waktu 77 hari dapat ditangkap KPK di Kolombia," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Selasa (24/3/2020).
Catatan kedua, komisioner KPK tidak memberikan informasi yang transparan terkait penanganan perkara kepada publik. Hal ini bisa dilihat pada kejadian dugaan penyekapan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) saat mengejar Harun Masiku sebelum menjadi buron. "Sampai saat ini tidak ada satu pun Komisioner KPK yang memberikan informasi yang utuh dan jujur tentang kejadian tersebut," katanya. (Baca Juga: Politikus Demokrat Curiga Harun Masiku Disembunyikan 'Setan').
Catatan ketiga, komisioner KPK terlihat bertindak sewenang-wenang terhadap pegawainya sendiri. Bukti konkret atas tindakan ini dapat dilihat ketika penyidik KPK Kompol Rossa, diberhentikan tanpa melalui mekanisme yang jelas.
"Keempat, komisioner KPK berniat memotong kompas proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari tersangka tersebut. Alih-alih serius mencari yang bersangkutan, Pimpinan KPK malah mendorong persidangan secara in absentia terhadap Harun Masiku," ungkapnya.
Catatan kelima, jumlah penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis. Data KPK menyebutkan sejak tahun 2016-2019 lembaga anti rasuah itu telah melakukan tangkap tangan sebanyak 87 kali dengan total tersangka 327 orang.
"Namun pada kepemimpinan Firli Bahuri, KPK baru melakukan dua kali tangkap tangan, yakni melibatkan Komisioner KPU RI dan Bupati Sidoarjo. Akan tetapi dua perkara itu bukan murni dimulai oleh lima Komisioner KPK baru, namun sprindiknya sudah ada sejak era Agus Rahardjo cs," kata Kurnia.
Keenam, komisioner KPK terlalu sering melakukan pertemuan yang berpotensi mengikis nilai-nilai independesi dan etika pejabat KPK. Terhitung sejak Januari hingga Februari 2020, Komisioner KPK telah mendatangi 17 instansi negara. Tiga di antaranya kunjungan ke DPR RI.
Dan catatan kontroversi terakhir, komisioner KPK mengumumkan kepada publik terkait penghentian 36 perkara di tingkat penyelidikan. Tentu publikasi semacam ini tidak lazim dan belum pernah terjadi di KPK.
"Sebab, keseluruhan perkara tersebut masih dimungkinkan dilanjutkan ke tingkat penyidikan jika di kemudian hari ditemukan bukti tambahan. Selain itu dalam UU KPK, UU Tipikor, bahkan KUHAP sekali pun memang tidak pernah mengenal istilah publikasi penghentian di tingkat penyelidikan."
Selama 100 hari ini, setidaknya ICW mencatat 7 (tujuh) kontroversi publik yang timbul. Pertama, gagal menangkap buronan. Sebagaimana diketahui bahwa dua buronan KPK saat ini tak kunjung bisa ditangkap, yakni Harun Masiku dan Nurhadi.
"Padahal rekam jejak lembaga antirasuah selama ini dikenal cepat dalam menemukan pelaku korupsi yang melarikan diri. Sebagai contoh, mantan bendahara Partai Demokrat M Nazarudin dalam waktu 77 hari dapat ditangkap KPK di Kolombia," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Selasa (24/3/2020).
Catatan kedua, komisioner KPK tidak memberikan informasi yang transparan terkait penanganan perkara kepada publik. Hal ini bisa dilihat pada kejadian dugaan penyekapan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) saat mengejar Harun Masiku sebelum menjadi buron. "Sampai saat ini tidak ada satu pun Komisioner KPK yang memberikan informasi yang utuh dan jujur tentang kejadian tersebut," katanya. (Baca Juga: Politikus Demokrat Curiga Harun Masiku Disembunyikan 'Setan').
Catatan ketiga, komisioner KPK terlihat bertindak sewenang-wenang terhadap pegawainya sendiri. Bukti konkret atas tindakan ini dapat dilihat ketika penyidik KPK Kompol Rossa, diberhentikan tanpa melalui mekanisme yang jelas.
"Keempat, komisioner KPK berniat memotong kompas proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari tersangka tersebut. Alih-alih serius mencari yang bersangkutan, Pimpinan KPK malah mendorong persidangan secara in absentia terhadap Harun Masiku," ungkapnya.
Catatan kelima, jumlah penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis. Data KPK menyebutkan sejak tahun 2016-2019 lembaga anti rasuah itu telah melakukan tangkap tangan sebanyak 87 kali dengan total tersangka 327 orang.
"Namun pada kepemimpinan Firli Bahuri, KPK baru melakukan dua kali tangkap tangan, yakni melibatkan Komisioner KPU RI dan Bupati Sidoarjo. Akan tetapi dua perkara itu bukan murni dimulai oleh lima Komisioner KPK baru, namun sprindiknya sudah ada sejak era Agus Rahardjo cs," kata Kurnia.
Keenam, komisioner KPK terlalu sering melakukan pertemuan yang berpotensi mengikis nilai-nilai independesi dan etika pejabat KPK. Terhitung sejak Januari hingga Februari 2020, Komisioner KPK telah mendatangi 17 instansi negara. Tiga di antaranya kunjungan ke DPR RI.
Dan catatan kontroversi terakhir, komisioner KPK mengumumkan kepada publik terkait penghentian 36 perkara di tingkat penyelidikan. Tentu publikasi semacam ini tidak lazim dan belum pernah terjadi di KPK.
"Sebab, keseluruhan perkara tersebut masih dimungkinkan dilanjutkan ke tingkat penyidikan jika di kemudian hari ditemukan bukti tambahan. Selain itu dalam UU KPK, UU Tipikor, bahkan KUHAP sekali pun memang tidak pernah mengenal istilah publikasi penghentian di tingkat penyelidikan."
(zik)