Memahami Kerusakan dan Perkuat Optimisme
A
A
A
Bambang SoesatyoKetua MPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia MASIH berselimut gelisah dan cemas oleh pandemi virus korona, masyarakat jangan lagi diteror dengan dramatisasi atas fakta memburuknya kinerja perekonomian negara. Sebaliknya, optimisme bersama harus dibangun dan terus diperkuat dengan keyakinan bahwa masa-masa sulit seperti sekarang akan bisa dilalui pada waktunya.
Bukan hanya masyarakat Indonesia, komunitas global pun tahu dan sedang merasakan ragam kerusakan akibat wabah virus korona (nCoV-19) yang telah berstatus pandemi global itu. Semua orang, di mana pun di dunia ini, merasa takut. Hingga pekan kedua Maret 2020, wabah nCoV-19 penyebab sakit Covid-19 telah mewabah di 160 negara. Jumlah pasien yang terkonfirmasi positif terinfeksi Covid-19 diperkirakan 250.000 orang. Jumlah yang meninggal mencapai lebih dari 10.000 pasien. Sementara ini, Italia tercatat sebagai negara dengan jumlah pasien meninggal tertinggi, mencapai 3.405 pasien per Kamis (19/3).
Di Indonesia pun, jumlah pasien positif Covid 19 terus bertambah. Sebagaimana data resmi pemerintah, disebutkan bahwa sejak Jumat (20/3) hingga Sabtu (21/3) siang, ada penambahan pasien positif Covid-19 sebanyak 81 orang. Dengan begitu, total pasien Covid-19 pada hari itu bertambah pula menjadi 450 pasien dan tersebar di 16 provinsi. Untuk memperkecil akses penularan, beberapa provinsi dan kota sudah meningkatkan pembatasan mobilitas bagi warga. Tidak hanya meliburkan sekolah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan meminta perusahaan menutup kantor dan membiarkan karyawan bekerja di rumah. Juga meniadakan sementara ibadah bersama di rumah-rumah ibadah.
Tidak kurang dari sembilan daerah sudah menetapkan darurat korona. Melengkapi dan memperkuat inisiatif sejumlah pemerintah daerah itu, Kepolisian RI pun mengeluarkan maklumat. Dalam maklumat itu, Polri mengimbau agar kegiatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri, untuk sementara ini ditiadakan. Maklumat dengan kode Mak/2/III/2020 ini ditandatangani Kapolri Jenderal Idham Azis Idham pada Kamis (19/3). Negara tampak telah all out mereduksi dampak wabah nCov-19. Selain menyiapkan obat avigan dan klorokuin untuk pasien Covid-19, juga menyemprot cairan disinfektan di lima wilayah kota Provinsi DKI Jakarta, serta menyiapkan Wisma Atlet Kemayoran di Jakarta menjadi rumah sakit darurat dan rumah isolasi pasien.
Negara lain, dan kota besar lain di berbagai belahan dunia, pun melakukan hal yang sama. Bahkan, ada yang langkahnya terkesan cukup ekstrem. Misalnya di Amerika Serikat (AS). Setelah California, New York pun di-lockdown dalam upaya mengatasi pandemi nCoV-19. Di Inggris, opsi lockdown Kota London terus dipertimbangkan sambil menunggu kepatuhan warga menerapkan kehati-hatian. Bahkan, pemerintah Prancis resmi mengisolasi negara itu. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengambil langkah lockdown untuk memutus rantai penyebaran virus korona di negara itu. Malaysia pun memilih lockdown.
Orang awam sekalipun tahu bahwa pembatasan mobilitas warga yang terus dieskalasi, apalagi sampai pada tahapan lockdown sebuah kota atau negara, akan menimbulkan kerusakan di sana-sini, termasuk kerusakan di sektor ekonomi, seperti perdagangan dan kegiatan bisnis lainnya. Produktivitas para pekerja menurun. Ada pabrik yang harus ditutup sementara sehingga volume produksi merosot. Permintaan melemah, mata rantai pasokan dan distribusi barang tidak lancar. Bahkan hingga potensi lonjakan harga dan panik beli. Lihat saja, beberapa saat setelah Malaysia di-lockdown , panic buying melanda Kuala Lumpur. Memang, dalam situasi seperti sekarang yang dihantui oleh ancaman tertular nCov-19 di ruang publik, sungguh tidak mudah mengelola dan menjaga ketertiban umum.
Melindungi MasyarakatDengan begitu, mudah untuk dipahami bersama kalau ancaman penyebaran virus korona tak hanya merusak kesehatan manusia, tapi juga memorakporandakan bangunan ekonomi, baik ekonomi skala nasional maupun ekonomi skala global. Kerusakan di sektor ekonomi menjadi sebuah konsekuensi logis, predictable dan sekaligus menjadi kecenderungan yang mudah untuk dipahami bersama pula. Pada saat-saat seperti ini, setiap komunitas dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah karena harus ada yang dikorbankan. Kerja keras membatasi penyebarluasan wabah nCoV-19 otomatis menuntut pengorbanan dari sektor lain, termasuk sektor ekonomi dan semua subsektornya.
Saat ini banyak negara, termasuk Indonesia, tidak hanya melakukan pembatasan atau lockdown , tetapi juga harus mengeluarkan anggaran ekstra—yang tidak diprediksi atau dialokasikan sebelumnya—semata-mata untuk melindungi semua warga negara dari kemungkinan tertular nCoV-19.
Tak hanya alokasi anggaran, bahkan waktu, tenaga serta pikiran seluruhnya fokus pada upaya cegah tangkal penyebarluasan wabah nCoV-19. Dan, sudah terbukti bahwa upaya komprehensif untuk cegah tangkal itu ternyata sangat tidak mudah. Lihatlah buktinya. Hanya dalam hitungan dua-tiga minggu sejak kasus pasien positif Covid-19 terdeteksi di Depok, total pasien Covid-19 di dalam negeri pada pekan kedua Maret 2020 sudah berjumlah 450 pasien dan tersebar di 16 provinsi.
Pada saat yang sama, semua kepala pemerintahan bersama jajaran menteri ekonomi juga bekerja ekstrakeras agar kinerja perekonomian negara tidak lumpuh. Alih-alih memacu pertumbuhan ekonomi sesuai target yang telah diproyeksikan, mencegah kerusakan di sejumlah sektor pun menjadi pekerjaan tidak mudah. Kerusakan di sektor pariwisata, jasa penerbangan dan hotel sangat nyata. Begitu juga di sektor perdagangan antarnegara (ekspor-impor). Kerusakan di sektor ekonomi saat ini bahkan sudah memunculkan perkiraan tentang potensi resesi ekonomi global. Dalam situasi seperti sekarang, yang bisa dilakukan setiap negara adalah menerapkan sejumlah kebijakan stimulus agar perekonomiannya tidak mengalami kerusakan yang terlalu serius. Langkah yang sama juga dilakukan Indonesia.
Sejumlah pihak sering menggambarkan kerusakan ekonomi Indonesia dari gambaran fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Kalau nilai tukar saat ini sudah menyentuh level Rp16.000 per dolar AS, depresiasi rupiah seperti itu sejatinya predictable , karena para pengelola dana (fund manager ) menggeser penempatan dana ke negara-negara yang perekonomiannya relatif belum mengalami kerusakan akibat wabah nCoV-19. Sangat disayangkan karena ada saja pihak yang terus mendramatisasi fluktuasi nilai tukar valuta. Padahal, dramatisasi seperti itu berpotensi menambah rasa takut masyarakat. Hal-hal seperti ini tak patut dilakukan ketika sebagian besar masyarakat masih diselimuti gelisah dan cemas oleh pandemi virus korona.
Sejumlah indikator ekonomi, seperti nilai tukar valuta, indeks harga saham gabungan, hingga harga energi seperti minyak dan gas, memang harus dipublikasikan secara berkelanjutan untuk diketahui publik. Namun, publikasi indikator-indikator ekonomi itu hendaknya tidak didramatisasi untuk tujuan membuat publik takut. Jangan lupa bahwa dalam konteks gejolak ekonomi, situasi seperti sekarang bukan pengalaman pertama bagi Indonesia. Beberapa dekade lalu, Indonesia juga pernah menghadapi gejolak dan krisis ekonomi. Namun, sudah terbukti bahwa perekonomian negara tidak hancur. Dengan kebersamaan dan kerja keras, perekonomian Indonesia bisa pulih.
Kerusakan di sektor ekonomi akibat wabah nCoV-19 yang terjadi sekarang jangan sampai membuat bangsa Indonesia pesimistis. Sebaliknya, optimisme bersama harus dibangun dan terus diperkuat dengan keyakinan bahwa masa-masa sulit sekarang akan bisa dilalui pada waktunya.
Di pengujung pekan ketiga Maret 2020, Otoritas Kota Wuhan di China melaporkan tidak adanya kasus baru Covid-19 selama tiga hari berturut-turut. Wuhan dikenal karena di kota inilah pasien positif Covid-19 pertama terdeteksi. Kalau penularan wabah nCoV-19 di Wuhan bisa direduksi atau terhenti, hal yang sama bisa terjadi di negara lain, termasuk di Indonesia. Karena itu, tetaplah optimistis.
Bukan hanya masyarakat Indonesia, komunitas global pun tahu dan sedang merasakan ragam kerusakan akibat wabah virus korona (nCoV-19) yang telah berstatus pandemi global itu. Semua orang, di mana pun di dunia ini, merasa takut. Hingga pekan kedua Maret 2020, wabah nCoV-19 penyebab sakit Covid-19 telah mewabah di 160 negara. Jumlah pasien yang terkonfirmasi positif terinfeksi Covid-19 diperkirakan 250.000 orang. Jumlah yang meninggal mencapai lebih dari 10.000 pasien. Sementara ini, Italia tercatat sebagai negara dengan jumlah pasien meninggal tertinggi, mencapai 3.405 pasien per Kamis (19/3).
Di Indonesia pun, jumlah pasien positif Covid 19 terus bertambah. Sebagaimana data resmi pemerintah, disebutkan bahwa sejak Jumat (20/3) hingga Sabtu (21/3) siang, ada penambahan pasien positif Covid-19 sebanyak 81 orang. Dengan begitu, total pasien Covid-19 pada hari itu bertambah pula menjadi 450 pasien dan tersebar di 16 provinsi. Untuk memperkecil akses penularan, beberapa provinsi dan kota sudah meningkatkan pembatasan mobilitas bagi warga. Tidak hanya meliburkan sekolah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan meminta perusahaan menutup kantor dan membiarkan karyawan bekerja di rumah. Juga meniadakan sementara ibadah bersama di rumah-rumah ibadah.
Tidak kurang dari sembilan daerah sudah menetapkan darurat korona. Melengkapi dan memperkuat inisiatif sejumlah pemerintah daerah itu, Kepolisian RI pun mengeluarkan maklumat. Dalam maklumat itu, Polri mengimbau agar kegiatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri, untuk sementara ini ditiadakan. Maklumat dengan kode Mak/2/III/2020 ini ditandatangani Kapolri Jenderal Idham Azis Idham pada Kamis (19/3). Negara tampak telah all out mereduksi dampak wabah nCov-19. Selain menyiapkan obat avigan dan klorokuin untuk pasien Covid-19, juga menyemprot cairan disinfektan di lima wilayah kota Provinsi DKI Jakarta, serta menyiapkan Wisma Atlet Kemayoran di Jakarta menjadi rumah sakit darurat dan rumah isolasi pasien.
Negara lain, dan kota besar lain di berbagai belahan dunia, pun melakukan hal yang sama. Bahkan, ada yang langkahnya terkesan cukup ekstrem. Misalnya di Amerika Serikat (AS). Setelah California, New York pun di-lockdown dalam upaya mengatasi pandemi nCoV-19. Di Inggris, opsi lockdown Kota London terus dipertimbangkan sambil menunggu kepatuhan warga menerapkan kehati-hatian. Bahkan, pemerintah Prancis resmi mengisolasi negara itu. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengambil langkah lockdown untuk memutus rantai penyebaran virus korona di negara itu. Malaysia pun memilih lockdown.
Orang awam sekalipun tahu bahwa pembatasan mobilitas warga yang terus dieskalasi, apalagi sampai pada tahapan lockdown sebuah kota atau negara, akan menimbulkan kerusakan di sana-sini, termasuk kerusakan di sektor ekonomi, seperti perdagangan dan kegiatan bisnis lainnya. Produktivitas para pekerja menurun. Ada pabrik yang harus ditutup sementara sehingga volume produksi merosot. Permintaan melemah, mata rantai pasokan dan distribusi barang tidak lancar. Bahkan hingga potensi lonjakan harga dan panik beli. Lihat saja, beberapa saat setelah Malaysia di-lockdown , panic buying melanda Kuala Lumpur. Memang, dalam situasi seperti sekarang yang dihantui oleh ancaman tertular nCov-19 di ruang publik, sungguh tidak mudah mengelola dan menjaga ketertiban umum.
Melindungi MasyarakatDengan begitu, mudah untuk dipahami bersama kalau ancaman penyebaran virus korona tak hanya merusak kesehatan manusia, tapi juga memorakporandakan bangunan ekonomi, baik ekonomi skala nasional maupun ekonomi skala global. Kerusakan di sektor ekonomi menjadi sebuah konsekuensi logis, predictable dan sekaligus menjadi kecenderungan yang mudah untuk dipahami bersama pula. Pada saat-saat seperti ini, setiap komunitas dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah karena harus ada yang dikorbankan. Kerja keras membatasi penyebarluasan wabah nCoV-19 otomatis menuntut pengorbanan dari sektor lain, termasuk sektor ekonomi dan semua subsektornya.
Saat ini banyak negara, termasuk Indonesia, tidak hanya melakukan pembatasan atau lockdown , tetapi juga harus mengeluarkan anggaran ekstra—yang tidak diprediksi atau dialokasikan sebelumnya—semata-mata untuk melindungi semua warga negara dari kemungkinan tertular nCoV-19.
Tak hanya alokasi anggaran, bahkan waktu, tenaga serta pikiran seluruhnya fokus pada upaya cegah tangkal penyebarluasan wabah nCoV-19. Dan, sudah terbukti bahwa upaya komprehensif untuk cegah tangkal itu ternyata sangat tidak mudah. Lihatlah buktinya. Hanya dalam hitungan dua-tiga minggu sejak kasus pasien positif Covid-19 terdeteksi di Depok, total pasien Covid-19 di dalam negeri pada pekan kedua Maret 2020 sudah berjumlah 450 pasien dan tersebar di 16 provinsi.
Pada saat yang sama, semua kepala pemerintahan bersama jajaran menteri ekonomi juga bekerja ekstrakeras agar kinerja perekonomian negara tidak lumpuh. Alih-alih memacu pertumbuhan ekonomi sesuai target yang telah diproyeksikan, mencegah kerusakan di sejumlah sektor pun menjadi pekerjaan tidak mudah. Kerusakan di sektor pariwisata, jasa penerbangan dan hotel sangat nyata. Begitu juga di sektor perdagangan antarnegara (ekspor-impor). Kerusakan di sektor ekonomi saat ini bahkan sudah memunculkan perkiraan tentang potensi resesi ekonomi global. Dalam situasi seperti sekarang, yang bisa dilakukan setiap negara adalah menerapkan sejumlah kebijakan stimulus agar perekonomiannya tidak mengalami kerusakan yang terlalu serius. Langkah yang sama juga dilakukan Indonesia.
Sejumlah pihak sering menggambarkan kerusakan ekonomi Indonesia dari gambaran fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Kalau nilai tukar saat ini sudah menyentuh level Rp16.000 per dolar AS, depresiasi rupiah seperti itu sejatinya predictable , karena para pengelola dana (fund manager ) menggeser penempatan dana ke negara-negara yang perekonomiannya relatif belum mengalami kerusakan akibat wabah nCoV-19. Sangat disayangkan karena ada saja pihak yang terus mendramatisasi fluktuasi nilai tukar valuta. Padahal, dramatisasi seperti itu berpotensi menambah rasa takut masyarakat. Hal-hal seperti ini tak patut dilakukan ketika sebagian besar masyarakat masih diselimuti gelisah dan cemas oleh pandemi virus korona.
Sejumlah indikator ekonomi, seperti nilai tukar valuta, indeks harga saham gabungan, hingga harga energi seperti minyak dan gas, memang harus dipublikasikan secara berkelanjutan untuk diketahui publik. Namun, publikasi indikator-indikator ekonomi itu hendaknya tidak didramatisasi untuk tujuan membuat publik takut. Jangan lupa bahwa dalam konteks gejolak ekonomi, situasi seperti sekarang bukan pengalaman pertama bagi Indonesia. Beberapa dekade lalu, Indonesia juga pernah menghadapi gejolak dan krisis ekonomi. Namun, sudah terbukti bahwa perekonomian negara tidak hancur. Dengan kebersamaan dan kerja keras, perekonomian Indonesia bisa pulih.
Kerusakan di sektor ekonomi akibat wabah nCoV-19 yang terjadi sekarang jangan sampai membuat bangsa Indonesia pesimistis. Sebaliknya, optimisme bersama harus dibangun dan terus diperkuat dengan keyakinan bahwa masa-masa sulit sekarang akan bisa dilalui pada waktunya.
Di pengujung pekan ketiga Maret 2020, Otoritas Kota Wuhan di China melaporkan tidak adanya kasus baru Covid-19 selama tiga hari berturut-turut. Wuhan dikenal karena di kota inilah pasien positif Covid-19 pertama terdeteksi. Kalau penularan wabah nCoV-19 di Wuhan bisa direduksi atau terhenti, hal yang sama bisa terjadi di negara lain, termasuk di Indonesia. Karena itu, tetaplah optimistis.
(mhd)