Fokus Kesehatan, First
A
A
A
Prof Candra Fajri Ananda, PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
Indonesia kian terancam. Persebaran virus Covid-19 di Indonesia semakin luas. Kasus positif Covid-19 terus melonjak hari demi hari. Hingga Sabtu, 21 Maret 2020, jumlah kasus meningkat menjadi 450 orang. Bahkan, dari jumlah tersebut, 38 orang dinyatakan meninggal dunia. Ironisnya jumlah kematian akibat virus corona ini di Indonesia mencatatkan angka tertinggi di Asia Tenggara. Indonesia disebut sebagai negara dengan persentase kematian tertinggi yang mencapai angka 8%.
Rasio tersebut melampaui sejumlah negara lain yang turut terdampak virus corona seperti Italia, Iran, China. Kenyataan ini kian membuat pemerintah dan masyarakat terpukul di tengah upaya memerangi virus corona.
Tak dapat dimungkiri, dinamika perubahan angka kasus corona di Indonesia yang meningkat pesat membawa kondisi ekonomi Indonesia perlu perhatian secara mendalam. Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 menjadi 4,2–4,6% dari sebelumnya 5,0–5,4%. Pemangkasan tersebut seiring dengan tantangan persebaran virus corona bagi pertumbuhan ekonomi domestik. Selain itu BI juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2020 hanya 2,5% di mana angka tersebut lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi 2019 yang sebesar 2,9% dan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 3%.
Sejumlah ekonom sepakat persebaran virus corona sukses menyebabkan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan secara signifikan. Perdagangan IHSG pada Jumat, 20 Maret 2020, tercatat telah meninggalkan level 4.000. IHSG dibuka di level 4.104 dan mengalami titik terendah pada level 3.918. Begitu pula dengan yang terpantau di pasar spot, rupiah sempat menembus level Rp16.037 per dolar AS.
Ironisnya angka IHSG dan rupiah tersebut mencatatkan rekor terendah sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo memerintah. Pelemahan IHSG dan nilai tukar rupiah tersebut tak lain karena semakin meningkatnya kekhawatiran pelaku pasar yang selanjutnya mendorong mereka untuk keluar dari pasar keuangan di negara-negara yang berisiko tinggi sehingga investor saat ini cenderung mencari instrumen keuangan di negara safe haven. Hingga kini wabah corona di Indonesia belum terlihat akan terkontrol dalam waktu dekat sehingga potensi tekanan dan dampak terhadap ekonomi nasional yang lebih luas dan lebih dalam bila dibandingkan dengan saat ini masih sangat terbuka.
Dilema Kesehatan vs Ekonomi
Kini pemerintah telah menyatakan Indonesia dalam kondisi tanggap darurat bencana nonalam. Hal tersebut menandakan bahwa situasi yang terjadi saat ini lebih serius bila dibandingkan dengan Keadaan Luar Biasa (KLB) yang sebelumnya dinyatakan sejumlah pemerintah daerah seperti Kota Solo dan Provinsi Banten. Melihat kondisi tersebut, pemerintah perlu mengedepankan kesehatan dan keselamatan masyarakat dan mengesampingkan prinsip efisiensi mengingat Indonesia sedang dihadapkan pada kondisi genting dan tak normal.
Kehancuran ekonomi merupakan keniscayaan di tengah serangan virus corona. China, negara yang menjadi sumber virus corona, selama berperang melawan virus telah mengalami kerugian ekonomi yang mendalam. Virus corona telah menyebabkan dana sebesar USD445 miliar atau setara Rp6.112 triliun (asumsi Rp13.728 per USD) kabur dari pasar modal China.
Selain itu sejumlah perjalanan melalui udara turun 41,6%, perjalanan kereta api turun 41,5%, dan transportasi darat di jalan raya menurun 25%. Tak hanya itu, sejumlah aktivitas perdagangan di dalam negeri China maupun ekspor impor China juga dihentikan sementara karena persebaran virus corona. Alhasil China kekurangan pemasukan dalam negeri.
Jakarta yang kini sudah menjadi episentrum corona karena jumlah kasusnya paling banyak sempat memberlakukan pembatasan sarana transportasi. Seruan untuk menutup sebagian wilayah atau bahkan seluruh Indonesia nyaring disuarakan di media sosial. Hal tersebut merujuk pada kebijakan negara seperti China yang memberlakukan lockdown di Wuhan dan beberapa kota lain atau memberlakukan lockdown total seperti di Italia dan negara Eropa lainnya. Lockdown merupakan kebijakan paling ekstrem untuk mencegah persebaran virus ketika transmisi lokal sudah merebak luas di tengah masyarakat. Kebijakan menutup total wilayah-wilayah terdampak tentu jauh lebih efektif daripada sebatas imbauan jaga jarak sosial (social distancing). Sayangnya konsekuensi mengisolasi kota di Indonesia terhalang dengan konsekuensi berat yang harus dihadapi. Kebijakan lockdown secara langsung akan berdampak pada perekonomian, khususnya yang berada di sektor informal.
Berbeda dengan negara-negara maju, sayangnya Indonesia masih didominasi pekerja sektor informal yang akan sangat terpukul jika kebijakan lockdown dilakukan.
Fokus dan Solidaritas Melawan Corona
Melalui anggaran yang ada, masyarakat menanti kesigapan Pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi Covid-19 yang tengah menggurita. APBN bersumber dari rakyat, harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan rakyat. Dalam kondisi genting saat ini sudah saatnya pemerintah pusat memanfaatkan anggaran yang tersedia untuk menuntaskan masalah pandemi Covid-19 ini. APBN sebagai alat kebijakan tidak semestinya hanya memperhatikan pembangunan ekonomi. Di tengah ancaman Covid-19, politik anggaran harus lebih berpihak pada kesehatan warga negara. Pemerintah sebagai penguasa dan pengambil keputusan terakhir perlu bersikap dengan segala risikonya.
Saat ini Indonesia tengah menghadapi dua tekanan besar, yakni ancaman Covid-19 yang telah di depan mata dan tekanan ekonomi. Tentu ini bisa saja sebagai kausalitas, tetapi keduanya memerlukan penanganan masing-masing karena risikonya pun berbeda. Kondisi yang terjadi kini memaksa pemerintah untuk mendahulukan penyelamatan nyawa rakyat.
Menyelamatkan nyawa rakyat juga telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa hak untuk hidup adalah hak setiap orang dan negara wajib melindunginya. Kehancuran ekonomi lazim terjadi di negara-negara terdampak corona, tetapi ekonomi dapat dibangun kembali, sedangkan nyawa tak bisa dikembalikan lagi.
Jika pemerintah memilih fokus pada kesehatan sebagai hal yang utama, filosofi APBN/D yang menurut fungsinya digunakan sebagai sumber pendanaan dan pembiayaan bagi pelaksanaan pembangunan harus digeser pada penyelamatan umat manusia. Meskipun pengorbanan ini menitikberatkan pada manusia, kita berharap ekonomi tetap bisa berjalan dan menghasilkan nilai tambah.
Kini solidaritas kemanusiaan di seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan. Seluruh komponen bangsa, pemerintah, pengusaha, akademisi, pimpinan ormas mesti bersatu padu bekerja sama untuk mencegah, menyembuhkan, dan mengantisipasi seluruh dampak yang muncul akibat serangan Covid-19 ini.
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
Indonesia kian terancam. Persebaran virus Covid-19 di Indonesia semakin luas. Kasus positif Covid-19 terus melonjak hari demi hari. Hingga Sabtu, 21 Maret 2020, jumlah kasus meningkat menjadi 450 orang. Bahkan, dari jumlah tersebut, 38 orang dinyatakan meninggal dunia. Ironisnya jumlah kematian akibat virus corona ini di Indonesia mencatatkan angka tertinggi di Asia Tenggara. Indonesia disebut sebagai negara dengan persentase kematian tertinggi yang mencapai angka 8%.
Rasio tersebut melampaui sejumlah negara lain yang turut terdampak virus corona seperti Italia, Iran, China. Kenyataan ini kian membuat pemerintah dan masyarakat terpukul di tengah upaya memerangi virus corona.
Tak dapat dimungkiri, dinamika perubahan angka kasus corona di Indonesia yang meningkat pesat membawa kondisi ekonomi Indonesia perlu perhatian secara mendalam. Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 menjadi 4,2–4,6% dari sebelumnya 5,0–5,4%. Pemangkasan tersebut seiring dengan tantangan persebaran virus corona bagi pertumbuhan ekonomi domestik. Selain itu BI juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2020 hanya 2,5% di mana angka tersebut lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi 2019 yang sebesar 2,9% dan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 3%.
Sejumlah ekonom sepakat persebaran virus corona sukses menyebabkan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan secara signifikan. Perdagangan IHSG pada Jumat, 20 Maret 2020, tercatat telah meninggalkan level 4.000. IHSG dibuka di level 4.104 dan mengalami titik terendah pada level 3.918. Begitu pula dengan yang terpantau di pasar spot, rupiah sempat menembus level Rp16.037 per dolar AS.
Ironisnya angka IHSG dan rupiah tersebut mencatatkan rekor terendah sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo memerintah. Pelemahan IHSG dan nilai tukar rupiah tersebut tak lain karena semakin meningkatnya kekhawatiran pelaku pasar yang selanjutnya mendorong mereka untuk keluar dari pasar keuangan di negara-negara yang berisiko tinggi sehingga investor saat ini cenderung mencari instrumen keuangan di negara safe haven. Hingga kini wabah corona di Indonesia belum terlihat akan terkontrol dalam waktu dekat sehingga potensi tekanan dan dampak terhadap ekonomi nasional yang lebih luas dan lebih dalam bila dibandingkan dengan saat ini masih sangat terbuka.
Dilema Kesehatan vs Ekonomi
Kini pemerintah telah menyatakan Indonesia dalam kondisi tanggap darurat bencana nonalam. Hal tersebut menandakan bahwa situasi yang terjadi saat ini lebih serius bila dibandingkan dengan Keadaan Luar Biasa (KLB) yang sebelumnya dinyatakan sejumlah pemerintah daerah seperti Kota Solo dan Provinsi Banten. Melihat kondisi tersebut, pemerintah perlu mengedepankan kesehatan dan keselamatan masyarakat dan mengesampingkan prinsip efisiensi mengingat Indonesia sedang dihadapkan pada kondisi genting dan tak normal.
Kehancuran ekonomi merupakan keniscayaan di tengah serangan virus corona. China, negara yang menjadi sumber virus corona, selama berperang melawan virus telah mengalami kerugian ekonomi yang mendalam. Virus corona telah menyebabkan dana sebesar USD445 miliar atau setara Rp6.112 triliun (asumsi Rp13.728 per USD) kabur dari pasar modal China.
Selain itu sejumlah perjalanan melalui udara turun 41,6%, perjalanan kereta api turun 41,5%, dan transportasi darat di jalan raya menurun 25%. Tak hanya itu, sejumlah aktivitas perdagangan di dalam negeri China maupun ekspor impor China juga dihentikan sementara karena persebaran virus corona. Alhasil China kekurangan pemasukan dalam negeri.
Jakarta yang kini sudah menjadi episentrum corona karena jumlah kasusnya paling banyak sempat memberlakukan pembatasan sarana transportasi. Seruan untuk menutup sebagian wilayah atau bahkan seluruh Indonesia nyaring disuarakan di media sosial. Hal tersebut merujuk pada kebijakan negara seperti China yang memberlakukan lockdown di Wuhan dan beberapa kota lain atau memberlakukan lockdown total seperti di Italia dan negara Eropa lainnya. Lockdown merupakan kebijakan paling ekstrem untuk mencegah persebaran virus ketika transmisi lokal sudah merebak luas di tengah masyarakat. Kebijakan menutup total wilayah-wilayah terdampak tentu jauh lebih efektif daripada sebatas imbauan jaga jarak sosial (social distancing). Sayangnya konsekuensi mengisolasi kota di Indonesia terhalang dengan konsekuensi berat yang harus dihadapi. Kebijakan lockdown secara langsung akan berdampak pada perekonomian, khususnya yang berada di sektor informal.
Berbeda dengan negara-negara maju, sayangnya Indonesia masih didominasi pekerja sektor informal yang akan sangat terpukul jika kebijakan lockdown dilakukan.
Fokus dan Solidaritas Melawan Corona
Melalui anggaran yang ada, masyarakat menanti kesigapan Pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi Covid-19 yang tengah menggurita. APBN bersumber dari rakyat, harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan rakyat. Dalam kondisi genting saat ini sudah saatnya pemerintah pusat memanfaatkan anggaran yang tersedia untuk menuntaskan masalah pandemi Covid-19 ini. APBN sebagai alat kebijakan tidak semestinya hanya memperhatikan pembangunan ekonomi. Di tengah ancaman Covid-19, politik anggaran harus lebih berpihak pada kesehatan warga negara. Pemerintah sebagai penguasa dan pengambil keputusan terakhir perlu bersikap dengan segala risikonya.
Saat ini Indonesia tengah menghadapi dua tekanan besar, yakni ancaman Covid-19 yang telah di depan mata dan tekanan ekonomi. Tentu ini bisa saja sebagai kausalitas, tetapi keduanya memerlukan penanganan masing-masing karena risikonya pun berbeda. Kondisi yang terjadi kini memaksa pemerintah untuk mendahulukan penyelamatan nyawa rakyat.
Menyelamatkan nyawa rakyat juga telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa hak untuk hidup adalah hak setiap orang dan negara wajib melindunginya. Kehancuran ekonomi lazim terjadi di negara-negara terdampak corona, tetapi ekonomi dapat dibangun kembali, sedangkan nyawa tak bisa dikembalikan lagi.
Jika pemerintah memilih fokus pada kesehatan sebagai hal yang utama, filosofi APBN/D yang menurut fungsinya digunakan sebagai sumber pendanaan dan pembiayaan bagi pelaksanaan pembangunan harus digeser pada penyelamatan umat manusia. Meskipun pengorbanan ini menitikberatkan pada manusia, kita berharap ekonomi tetap bisa berjalan dan menghasilkan nilai tambah.
Kini solidaritas kemanusiaan di seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan. Seluruh komponen bangsa, pemerintah, pengusaha, akademisi, pimpinan ormas mesti bersatu padu bekerja sama untuk mencegah, menyembuhkan, dan mengantisipasi seluruh dampak yang muncul akibat serangan Covid-19 ini.
(ysw)