Geliat Pilkada Jalur Perseorangan
A
A
A
Dayanto
Peneliti Hukum, Tim Asistensi Bawaslu RI
MENGACU pada kalender Pilkada 2020, momentum 16-23 Februari untuk pilkada provinsi dan 19-26 Februari untuk pilkada kabupaten/kota menjadi momen penting untuk mencermati kehadiran calon perseorangan dalam kontestasi Pilkada 2020. Momentum ini merupakan tahap awal penyerahan dan pengecekan syarat jumlah dukungan dan sebaran bakal pasangan calon perseorangan kepada KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.
Pada tahapan selanjutnya akan diikuti dengan verifikasi administrasi dan kegandaan dokumen dukungan yang disusul dengan verifikasi faktual serta verifikasi syarat calon yang nantinya berujung pada penetapan pasangan calon pada 8 Juli 2020.
Dinamika Pengaturan
Konsep pilkada jalur perseorangan telah menjadi diskursus politik hukum yang aktual sejak muncul gagasan untuk merevisi UU Nomor 22/1999 sebagaimana yang terbaca dalam draf awal naskah RUU revisi atas UU Nomor 22/1999 baik yang dimiliki oleh pemerintah (Depdagri) maupun yang disiapkan oleh Badan Legislasi DPR. Begitu juga gagasan tentang perlunya calon perseorangan tertuang dalam naskah RUU revisi atas UU Nomor 22/1999 versi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Namun, seperti yang telah diketahui, pada akhirnya konsep pilkada jalur perseorangan di luar jalur partai politik ini tidak menemukan artikulasi yang memadai dalam pembahasan RUU oleh Panitia Khusus DPR. Akibatnya, kehadiran UU Nomor 32/2004 sebagai undang-undang pengganti UU Nomor 22/1999 tidak menyediakan ruang akomodasi yang maksimal terhadap eksistensi pilkada jalur perseorangan. Hal yang terjadi justru pengakuan "malu-malu" dalam pengaturan UU Nomor 32/2004.
Dominasi rezim parpol dalam pencalonan kepala daerah inilah yang melatari dilakukannya judicial review terhadap UU Nomor 32/2004 sebagaimana yang termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007. Pada pokoknya, putusan Mahkamah Konstitusi ini menyatakan tidak hanya partai politik atau gabungan partai politik saja yang dapat mengajukan calon kepala/wakil kepala daerah, tetapi juga membuka peluang bagi perseorangan untuk mengajukan diri melalui jalur perseorangan tanpa melalui jalur partai politik. Pokok Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 kemudian dituangkan dalam UU Nomor 12/2008 sebagai UU Perubahan (Kedua) UU Nomor 32/2004.
Raison d’etre
Akomodasi jalur perseorangan dalam pencalonan kepala daerah dalam sistem pilkada saat ini merupakan salah satu kemajuan penting konsolidasi demokrasi di Indonesia. Jika direfleksikan, salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang mendasari akomodasi jalur perseorangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berkaitan dengan perlindungan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Dengan demikian, aspek demokratisasi dalam pilkada menjadi semakin luas karena adanya kesamaan peluang bagi semua warga negara dewasa untuk menggunakan hak right to vote and to be candidate.
Keuntungan yang lain dari dibukanya rezim calon perseorangan di samping rezim parpol dalam pencalonan kepala daerah ialah, pertama, memungkinkan terjadinya otokritik terhadap partai politik untuk semakin serius melakukan fungsi rekrutmen politik secara transparan dan demokratis. Alasannya, selama ini rekrutmen kepala daerah melalui jalur partai politik dilakukan secara sentralistik dan minim aksesibilitas publik.
Dengan adanya jalur perseorangan, parpol memiliki sparing partner yang baik dalam mekanisme pencalonan maupun keseluruhan proses kontestasi pengisian jabatan kepala daerah. Karena itu, dengan dibukanya pintu jalur perseorangan bukannya untuk melembagakan semangat deparpolisasi, tetapi sebaliknya merupakan trigger bagi parpol untuk membangun akuntabilitasnya dalam hal rekrutmen pimpinan-pimpinan eksekutif di daerah.
Kedua, dengan dibukanya pilkada jalur perseorangan maka sumber daya figur daerah yang memiliki kemampuan kepemimpinan dan akar sosial yang kuat di masyarakat namun tidak meminati proses birokratis dalam pencalonan melalui partai politik tetap memiliki kanal prosedural dalam pencalonan sebagai calon kepala daerah. Dalam konteks ini, aspek right to be candidate tidak mengalami reduksi seperti yang terjadi sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007.
Ketiga, melalui pilkada jalur perseorangan masyarakat pemilik hak pilih di daerah yang melaksanakan pilkada dimungkinkan untuk memiliki opsi atau alternatif calon kepala daerah yang lebih variatif tidak sekadar terkungkung oleh pencalonan berdasarkan dominasi rezim partai politik. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dan kuantitas partisipasi masyarakat dalam proses pilkada.
Geliat Kontestasi
Dalam keterangan pers (27/2), KPU menyebutkan dari total 270 daerah yang melaksanakan pilkada pada 2020, terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, KPU telah menerima syarat dukungan untuk 149 bakal pasangan calon perseorangan pada Pilkada 2020. Dari 149 bakal pasangan calon perseorangan itu, 147 di antaranya mencalonkan diri sebagai bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota. Sisanya, dua bakal pasangan calon perseorangan mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur. Berdasarkan sebarannya terdapat 147 bakal pasangan calon perseorangan di 104 kabupaten/kota, sedangkan 2 bakal pasangan calon perseorangan yang lain masing-masing mencalonkan diri di Provinsi Kalimantan Utara dan Provinsi Sumatera Barat. Adapun 54 bakal pasangan calon perseorangan yang tidak diterima syarat dukungannya.
Sementara itu, Bawaslu dalam keterangan pers (17/3) menyebutkan pada tahap pengecekan syarat jumlah dukungan dan sebaran terdapat 29 bakal pasangan calon perseorangan pilkada kabupaten/kota yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke Bawaslu kabupaten/kota akibat dokumen persyaratan jumlah dukungan dan sebaran ditolak oleh KPU kabupaten/kota.
Dalam proses penanganan penyelesaian sengketa, dari 29 permohonan penyelesaian sengketa yang diajukan oleh bakal pasangan calon perseorangan tersebut, Bawaslu kabupaten/kota menetapkan dan memutuskan dua permohonan dinyatakan tidak diterima, dua permohonan tidak dapat diregister, dua permohonan terjadi kesepakatan, tiga permohonan dikabulkan seluruhnya, sembilan permohonan ditolak, dan 11 permohonan dikabulkan sebagian.
Fakta di atas mengisyaratkan bahwa di tengah rangkaian prosedur persyaratan pencalonan jalur perseorangan yang tidak mudah, jumlah bakal pasangan calon perseorangan dan upaya hukum melalui sarana penyelesaian sengketa pemilihan di Bawaslu kabupaten/kota yang dilakukan oleh para bakal pasangan calon perseorangan yang dokumen persyaratan jumlah dukungan dan sebarannya ditolak oleh KPU kabupaten/kota memperlihatkan terdapat geliat kontestasi Pilkada 2020 yang dinamis dan menarik untuk dicermati.
Sebab, UU Pemilihan mensyaratkan calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon wali kota dan wakil wali kota apabila mengantongi dukungan 6,5-10% jumlah penduduk. Penduduk tersebut tentunya telah mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan serta tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi untuk pilkada provinsi dan lebih dari 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota untuk pilkada kabupaten/kota.
Berikutnya, upaya hukum melalui sarana penyelesaian sengketa pemilihan di Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota sendiri merupakan sarana administratif yang disediakan oleh ketentuan hukum pilkada bagi peserta pemilihan. Tentu saja kita berharap kehadiran para bakal pasangan calon perseorangan tidak saja semata-mata menambah hiruk-pikuk kontestasi Pilkada 2020 dalam arti formal, tetapi lebih jauh memperkuat mutu Pilkada 2020 dalam arti substansial. Sebab, dalam arti kehadiran substansial inilah kontestasi pilkada dapat kita selenggarakan sebagai ajang adu mutu tentang siapa kontestan terbaik dalam hal rekam jejak dan tawaran-tawaran programatik untuk memajukan daerah.
Peneliti Hukum, Tim Asistensi Bawaslu RI
MENGACU pada kalender Pilkada 2020, momentum 16-23 Februari untuk pilkada provinsi dan 19-26 Februari untuk pilkada kabupaten/kota menjadi momen penting untuk mencermati kehadiran calon perseorangan dalam kontestasi Pilkada 2020. Momentum ini merupakan tahap awal penyerahan dan pengecekan syarat jumlah dukungan dan sebaran bakal pasangan calon perseorangan kepada KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.
Pada tahapan selanjutnya akan diikuti dengan verifikasi administrasi dan kegandaan dokumen dukungan yang disusul dengan verifikasi faktual serta verifikasi syarat calon yang nantinya berujung pada penetapan pasangan calon pada 8 Juli 2020.
Dinamika Pengaturan
Konsep pilkada jalur perseorangan telah menjadi diskursus politik hukum yang aktual sejak muncul gagasan untuk merevisi UU Nomor 22/1999 sebagaimana yang terbaca dalam draf awal naskah RUU revisi atas UU Nomor 22/1999 baik yang dimiliki oleh pemerintah (Depdagri) maupun yang disiapkan oleh Badan Legislasi DPR. Begitu juga gagasan tentang perlunya calon perseorangan tertuang dalam naskah RUU revisi atas UU Nomor 22/1999 versi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Namun, seperti yang telah diketahui, pada akhirnya konsep pilkada jalur perseorangan di luar jalur partai politik ini tidak menemukan artikulasi yang memadai dalam pembahasan RUU oleh Panitia Khusus DPR. Akibatnya, kehadiran UU Nomor 32/2004 sebagai undang-undang pengganti UU Nomor 22/1999 tidak menyediakan ruang akomodasi yang maksimal terhadap eksistensi pilkada jalur perseorangan. Hal yang terjadi justru pengakuan "malu-malu" dalam pengaturan UU Nomor 32/2004.
Dominasi rezim parpol dalam pencalonan kepala daerah inilah yang melatari dilakukannya judicial review terhadap UU Nomor 32/2004 sebagaimana yang termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007. Pada pokoknya, putusan Mahkamah Konstitusi ini menyatakan tidak hanya partai politik atau gabungan partai politik saja yang dapat mengajukan calon kepala/wakil kepala daerah, tetapi juga membuka peluang bagi perseorangan untuk mengajukan diri melalui jalur perseorangan tanpa melalui jalur partai politik. Pokok Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 kemudian dituangkan dalam UU Nomor 12/2008 sebagai UU Perubahan (Kedua) UU Nomor 32/2004.
Raison d’etre
Akomodasi jalur perseorangan dalam pencalonan kepala daerah dalam sistem pilkada saat ini merupakan salah satu kemajuan penting konsolidasi demokrasi di Indonesia. Jika direfleksikan, salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang mendasari akomodasi jalur perseorangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berkaitan dengan perlindungan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Dengan demikian, aspek demokratisasi dalam pilkada menjadi semakin luas karena adanya kesamaan peluang bagi semua warga negara dewasa untuk menggunakan hak right to vote and to be candidate.
Keuntungan yang lain dari dibukanya rezim calon perseorangan di samping rezim parpol dalam pencalonan kepala daerah ialah, pertama, memungkinkan terjadinya otokritik terhadap partai politik untuk semakin serius melakukan fungsi rekrutmen politik secara transparan dan demokratis. Alasannya, selama ini rekrutmen kepala daerah melalui jalur partai politik dilakukan secara sentralistik dan minim aksesibilitas publik.
Dengan adanya jalur perseorangan, parpol memiliki sparing partner yang baik dalam mekanisme pencalonan maupun keseluruhan proses kontestasi pengisian jabatan kepala daerah. Karena itu, dengan dibukanya pintu jalur perseorangan bukannya untuk melembagakan semangat deparpolisasi, tetapi sebaliknya merupakan trigger bagi parpol untuk membangun akuntabilitasnya dalam hal rekrutmen pimpinan-pimpinan eksekutif di daerah.
Kedua, dengan dibukanya pilkada jalur perseorangan maka sumber daya figur daerah yang memiliki kemampuan kepemimpinan dan akar sosial yang kuat di masyarakat namun tidak meminati proses birokratis dalam pencalonan melalui partai politik tetap memiliki kanal prosedural dalam pencalonan sebagai calon kepala daerah. Dalam konteks ini, aspek right to be candidate tidak mengalami reduksi seperti yang terjadi sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007.
Ketiga, melalui pilkada jalur perseorangan masyarakat pemilik hak pilih di daerah yang melaksanakan pilkada dimungkinkan untuk memiliki opsi atau alternatif calon kepala daerah yang lebih variatif tidak sekadar terkungkung oleh pencalonan berdasarkan dominasi rezim partai politik. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dan kuantitas partisipasi masyarakat dalam proses pilkada.
Geliat Kontestasi
Dalam keterangan pers (27/2), KPU menyebutkan dari total 270 daerah yang melaksanakan pilkada pada 2020, terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, KPU telah menerima syarat dukungan untuk 149 bakal pasangan calon perseorangan pada Pilkada 2020. Dari 149 bakal pasangan calon perseorangan itu, 147 di antaranya mencalonkan diri sebagai bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota. Sisanya, dua bakal pasangan calon perseorangan mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur. Berdasarkan sebarannya terdapat 147 bakal pasangan calon perseorangan di 104 kabupaten/kota, sedangkan 2 bakal pasangan calon perseorangan yang lain masing-masing mencalonkan diri di Provinsi Kalimantan Utara dan Provinsi Sumatera Barat. Adapun 54 bakal pasangan calon perseorangan yang tidak diterima syarat dukungannya.
Sementara itu, Bawaslu dalam keterangan pers (17/3) menyebutkan pada tahap pengecekan syarat jumlah dukungan dan sebaran terdapat 29 bakal pasangan calon perseorangan pilkada kabupaten/kota yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke Bawaslu kabupaten/kota akibat dokumen persyaratan jumlah dukungan dan sebaran ditolak oleh KPU kabupaten/kota.
Dalam proses penanganan penyelesaian sengketa, dari 29 permohonan penyelesaian sengketa yang diajukan oleh bakal pasangan calon perseorangan tersebut, Bawaslu kabupaten/kota menetapkan dan memutuskan dua permohonan dinyatakan tidak diterima, dua permohonan tidak dapat diregister, dua permohonan terjadi kesepakatan, tiga permohonan dikabulkan seluruhnya, sembilan permohonan ditolak, dan 11 permohonan dikabulkan sebagian.
Fakta di atas mengisyaratkan bahwa di tengah rangkaian prosedur persyaratan pencalonan jalur perseorangan yang tidak mudah, jumlah bakal pasangan calon perseorangan dan upaya hukum melalui sarana penyelesaian sengketa pemilihan di Bawaslu kabupaten/kota yang dilakukan oleh para bakal pasangan calon perseorangan yang dokumen persyaratan jumlah dukungan dan sebarannya ditolak oleh KPU kabupaten/kota memperlihatkan terdapat geliat kontestasi Pilkada 2020 yang dinamis dan menarik untuk dicermati.
Sebab, UU Pemilihan mensyaratkan calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon wali kota dan wakil wali kota apabila mengantongi dukungan 6,5-10% jumlah penduduk. Penduduk tersebut tentunya telah mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan serta tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi untuk pilkada provinsi dan lebih dari 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota untuk pilkada kabupaten/kota.
Berikutnya, upaya hukum melalui sarana penyelesaian sengketa pemilihan di Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota sendiri merupakan sarana administratif yang disediakan oleh ketentuan hukum pilkada bagi peserta pemilihan. Tentu saja kita berharap kehadiran para bakal pasangan calon perseorangan tidak saja semata-mata menambah hiruk-pikuk kontestasi Pilkada 2020 dalam arti formal, tetapi lebih jauh memperkuat mutu Pilkada 2020 dalam arti substansial. Sebab, dalam arti kehadiran substansial inilah kontestasi pilkada dapat kita selenggarakan sebagai ajang adu mutu tentang siapa kontestan terbaik dalam hal rekam jejak dan tawaran-tawaran programatik untuk memajukan daerah.
(thm)