Polemik Lockdown

Kamis, 19 Maret 2020 - 06:35 WIB
Polemik Lockdown
Polemik Lockdown
A A A
Dr. Rio Christiawan SH MHum MKn Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

BEBERAPA hari belakangan ini tagar (#) lockdown menjadi trending di berbagai media sosial dan elektronik. Bahkan pro-kontra lockdown menjadi persoalan ketika pemerintah daerah dan pemerintah pusat belum memiliki kesepahaman mengenai kebijakan lockdown yang akan diambil dalam rangka penanganan dan pencegahan persebaran Covid-19. Contohnya, kebijakan lockdown sempat telah ditetapkan di Kota Malang (meskipun dibatalkan kemudian). Di Jakarta juga telah menerapkan partial lockdown, misalnya penutupan sekolah dan berbagai tempat fasilitas umum untuk sementara waktu.

Alman Daughery (2006) mendefinisikan lockdown sebagai tindakan darurat, atau kondisi di saat orang-orang untuk sementara waktu dicegah memasuki atau meninggalkan suatu area selama ancaman bahaya masih berlangsung. China dan Italia sebagai negara dengan korban Covid-19 terbesar, turut memengaruhi negara lain untuk menerapkan kebijakan ini. Termasuk negara tetangga yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Indonesia, misalnya Malaysia dan Singapura yang telah memberlakukan kebijakan tersebut.

Meskipun jumlah masyarakat yang terinfeksi Covid-19 terus bertambah termasuk korban jiwa, Presiden Joko Widodo telah menegaskan bahwa lockdown bukan merupakan opsi yang akan diambil pemerintah. Jika dilihat dari jumlahnya, dalam hal ini memang Indonesia belum separah China dan Italia. Namun bila dilihat dari peningkatan jumlah masyarakat yang terinfeksi Covid-19 dan persebaran area terdampak, Indonesia sebenarnya telah masuk pada tahap yang sangat serius.

Tampaknya lockdown hingga saat ini bukan menjadi opsi yang dipilih pemerintah mengingat pertimbangan utama pemerintah adalah persoalan nonmedis. Pertimbangan utama pemerintah adalah dampak sosial dan ekonomi yang akan terjadi jika opsi lockdown diputuskan. Memang lockdown selama ini tidak diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dalam hal ini perlu ada kesepahaman antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait hal tersebut. Jeff Gregory (2014), seorang pakar hukum federal dan desentralisasi, menyatakan idealnya lockdown bukan menjadi kewenangan pemerintah daerah karena dampak dari lockdown bersifat lintas wilayah.

Pro-Kontra

Kebijakan lockdown pada dasarnya tidak sepenuhnya tepat maupun tidak tepat, akan sangat bergantung pada tingkat keseriusan ancaman pandemi dan kesiapan suatu negara tersebut menghadapi kondisi lockdown. Melakukan lockdown atau tidak melakukan lockdown, idealnya opsi tersebut diambil setelah gugus tugas yang dibentuk presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, melaksanakan tugasnya.

Kebijakan tidak mengambil opsi lockdown di satu sisi terkesan prematur dan spekulatif, mengingat kebijakan tersebut diambil sebelum gugus tugas yang dibentuk menjalankan tugas dan memberikan rekomendasi. Jika berorientasi pada menjaga dampak ekonomi dan sosial akibat Covid-19 maka bisa jadi opsi tidak melakukan lockdown adalah opsi yang tepat. Hal itu berdasarkan ekonomi yang sedang lesu, indeks harga saham gabungan (IHSG) terus melemah, dan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah sudah menyentuh Rp15.000. Jika diberlakukan kebijakan lockdown maka yang dikhawatirkan pemerintah justru akan berpotensi menimbulkan krisis.

Sebaliknya, jika pemerintah berorientasi dan berfokus penuh pada penanganan dan pencegahan persebaran Covid-19 maka lockdown bisa jadi merupakan keputusan yang tepat. Beijing Today, salah satu surat kabar di China, pada edisi pembongkaran rumah sakit darurat Corona (edisi 16/3), menyebutkan salah satu kunci keberhasilan China mengendalikan Covid-19 yang telah menjadi pandemi adalah kebijakan lockdown total, terutama di wilayah Wuhan. Dalam hal ini, esensi lockdown adalah membatasi area persebaran virus dengan membatasi migrasi dan pergerakan masyarakat sehingga area terdampak tidak meluas.

Dalam hal ini, pemerintah perlu menentukan fokus dalam penanganan pandemi Covid-19, secara konstitusional dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia sehingga meskipun dampak ekonomi juga merupakan hal yang penting, pandemi Covid-19 harus bisa diatasi terlebih dahulu. Kesehatan dan keselamatan warga negara harus menjadi prioritas pemerintah saat ini, mengingat ancaman terhadap kesehatan juga merupakan ancaman terhadap produktivitas.

Artinya kini jika pemerintah tidak memilih opsi lockdown maka pemerintah harus memberikan opsi penanganan dan pencegahan terhadap persebaran Covid-19. Ini dimaksudkan untuk mengakhiri pandemi Covid-19 secepatnya dan menekan jumlah masyarakat yang terinfeksi. Jika pandemi Covid-19 diklasifikasikan sebagai bencana dan kejadian luar biasa, sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, fokus pemerintah harus pada penanganan bencana dan pemulihan bencana tersebut.

Dampak ekonomi dan sosial adalah dampak dari adanya bencana tersebut sehingga prioritas pemerintah harus pada penanganan bencana dan pemulihan bencana. Artinya, fokus dari kebijakan pemerintah adalah mengakhiri pandemi Covid-19. Jika ternyata lockdown merupakan jalan yang terbaik guna melindungi masyarakat dan mengakhiri pandemi Covid-19, pemerintah perlu mengesampingkan dampak lainnya.

Dalam hal ini mengakhiri pandemi Covid-19 harus menjadi prioritas tanpa terintervensi oleh faktor lainnya seperti kepentingan ekonomi. Fokus menangani dan memulihkan pandemi Covid-19 harus diletakkan di atas semua kepentingan karena pandemi kesehatan akan mengancam peradaban. Jika kini solusi yang ditawarkan pemerintah adalah membuat jarak sosial (social distancing) dengan mengandalkan kecerdasan buatan era Revolusi Industri 4.0, sesungguhnya hal tersebut hanya mengurangi probabilitas di kalangan menengah dan kalangan atas. Sebagaimana diketahui, aktifitas yang bisa dilakukan dengan jarak sosial dan kecerdasan buatan adalah aktivitas kelompok ekonomi menengah. Sebaliknya, solusi tersebut tidak dapat diimplementasikan bagi kelompok sosial-ekonomi menengah ke bawah yang masih mengandalkan kendaraan umum dan pasar tradisional.

Demikian juga dari jenis pekerjaan. Kini pemerintah tanpa mengambil opsi lockdown, namun mengampanyekan work from home WFH), kembali membuat kondisi ini justru akan merugikan masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah yang secara pekerjaan harus dilakukan tanpa jarak sosial dan tidak dapat dilakukan di rumah. Misalnya saja kebijakan tersebut hanya dapat diimplementasikan di lingkungan pekerja kantoran, namun tidak dapat diaplikasikan pada buruh bangunan dan para pekerja kelas bawah lainnya. Jika lockdown bukan merupakan pilihan, lantas kini pemerintah harus dengan segera memformulasikan kebijakan yang dapat melindungi segenap masyarakat dari pandemi Covid-19 sesuai kewajiban konstitusional pemerintah pada seluruh warga negaranya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0863 seconds (0.1#10.140)