Memahami Pidana Persaingan Usaha RUU Cipta Kerja

Rabu, 18 Maret 2020 - 05:45 WIB
Memahami Pidana Persaingan...
Memahami Pidana Persaingan Usaha RUU Cipta Kerja
A A A
Teddy Anggoro

Pengajar Hukum Persaingan Usaha FHUI

SALAHsatu undang-undang yang terdampak dalam RUU Cipta Kerja adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam RUU Cipta Kerja, pasal 118 mengubah ketentuan pasal 47 yang mengatur sanksi tindakan administratif, dan pasal 48 yang mengatur sanksi pidana, serta menghapus pasal 49 yang mengatur sanksi pidana tambahan dalam Undang-Undang Persaingan Usaha. Draf tersebut menjadi polemik karena banyak pihak menyimpulkan hapusnya sanksi pidana persaingan usaha merupakan bentuk pelemahan dan kemunduran penegakan hukum persaingan usaha.

Pemikiran ini tidak sepenuhnya salah karena ada yang berpendapat suatu undang-undang akan menjadi kuat dan mengikat dengan adanya ketentuan pidana di dalamnya. Pemikiran ini diterima dengan baik oleh legislator di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan hampir seluruh undang-undang yang dihasilkan memuat ketentuan pidana, bahkan dalam undang-undang yang mengatur urusan privat.

Pemikiran tersebut bisa berbeda dalam undang-undang yang mengatur masalah keperdataan dan ekonomi. Sebagai contoh adalah Undang-Undang Persaingan Usaha. Sebelum adanya undang-undang ini, perilaku kolusi dalam perdagangan dan bisnis dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena dianggap sejalan dengan nilai gotong royong dan kerja sama, apalagi perekonomian Indonesia sejak awal kemerdekaan sangat ditopang oleh peran negara, salah satunya melalui BUMN dalam memenuhi kebutuhan rakyat, artinya peran swasta nasional itu kecil.

Kondisi perekonomian Indonesia ini idealnya dipahami oleh pembuat undang-undang dengan membuat undang-undang persaingan usaha yang mendorong bertumbuh dan berkembangnya pelaku usaha swasta nasional. Bagi pengusaha, keberadaan ancaman pidana adalah hal yang mengerikan. Hal ini juga seiring dengan fakta reformasi penegak hukum yang dianggap banyak kalangan belum selesai karena masih menyisakan masalah integritas dan korupsi di tubuh institusi dan aparat penegak hukum.

Belajar dari Amerika Serikat

Amerika Serikat sebagai negara yang memperkenalkan hukum persaingan usaha dapat dijadikan contoh pengaturan sanksi pidana. Amerika Serikat memiliki tiga fase pembentukan undang-undang persaingan usaha. Fase pertama, tahun 1890, Amerika Serikat mengundangkan hukum persaingan usaha yang pertama, disebut dengan Sherman Act. Undang-undang ini melarang suatu kontrak, kombinasi atau konspirasi yang menghambat perdagangan, serta monopolisasi, upaya monopolisasi dan konspirasi untuk memonopoli. Dalam bentuk perbuatan spesifik, Sherman Act ini melarang praktik penetapan harga, pembagian pasar, dan juga tender kolutif. Seluruh pelanggaran terhadap Sherman Act diancam dengan sanksi pidana.

Fase kedua, Amerika Serikat mengundangkan Federal Trade Commission Act dan Clayton Act pada 1914. Pada fase kedua ini, terjadi transformasi pengenaan sanksi atas pelanggaran persaingan usaha. Undang-undang ini memberikan kewenangan lembaga baru, yaitu Federal Trade Commission (FTC) untuk menegakkan hukum persaingan usaha, yang berbeda dengan Department of Justice dalam pelanggaran Sherman Act. Hal ini menunjukkan Amerika Serikat mengubah wajah penegakan hukum persaingan usaha, dari yang sebelumnya penegakan hukum pidana menjadi penegakan hukum yang baru. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Mahkamah Agung Amerika Serikat, yang menyatakan semua pelanggaran Sherman Act juga pelanggaran FTC Act. Artinya, penegakan hukum pidana persaingan usaha dapat dikenakan sanksi yang dalam hukum Indonesia disebut sanksi tindakan administratif.

Fase ketiga, penyempurnaan Clayton Act yang mengatur merger dan akuisisi, serta kolusi antarpelaku usaha, melalui Robinson-Patman Act pada 1936. Terakhir, Hart-Scott-Rodino Antitrust Improvement Act pada 1976 yang mengatur kewajiban pra-notifikasi pelaku usaha besar yang akan melakukan merger dan akuisisi. Kewajiban-kewajiban yang diatur adalah kewajiban administratif sehingga pelanggarannya bukan pelanggaran pidana.

Memahami Persaingan di Indonesia

Indonesia sebagai negara yang sedang mengejar kemajuan ekonomi dengan latar belakang sejarah perekonomian yang mana peran negara sangat kuat dalam pasar. Selain meningkatkan investasi asing, wajib meningkatkan investasi domestik dengan menciptakan pelaku usaha lokal yang kompetitif yaitu dengan penguatan pelaku usaha yang sudah ada, dan melahirkan pelaku-pelaku usaha baru.

Mengubah hukum persaingan usaha yang sebelumnya terdapat penegakan pidana menjadi seutuhnya penegakan administratif, merupakan salah satu jalan untuk melahirkan pelaku usaha lokal yang kompetitif. Hal itu dilakukan dengan menghilangkan fobia atau ketakutan setiap pelaku usaha dalam berusaha, yaitu ancaman pidana dengan perangkat penegak hukumnya.

Hal ini jika dipelajari lebih dalam maka tidak menyebabkan penegakan hukum persaingan usaha menjadi lemah, karena sanksi tindakan administrasi berupa denda di dalam RUU Cipta Kerja ditingkatkan dari sebelumnya dalam rentang Rp1 miliar sampai Rp25 miliar, menjadi maksimal Rp100 miliar. Hal ini masih mungkin bertambah karena sebelumnya dalam Amendemen RUU Persaingan Usaha telah dibahas di DPR, dengan besaran denda adalah 10% dari nilai penjualan.

Artinya, sangat mungkin pelaku usaha yang melakukan tindakan antipersaingan akan dirampas seluruh keuntungan yang berasal dari tindakan antipersaingan yang dilakukan. Akhirnya, dari perubahan yang diusulkan pemerintah, tentu kita harapkan memberikan kesejahteraan pada rakyat Indonesia.
(jon)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0712 seconds (0.1#10.140)