Covid-19 dan Masalah Transparansi
A
A
A
Dinna Prapto Raharja PhD
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@dinna_PR
TIDAK ada negara yang siap seratus persen menghadapi sebuah bencana. Bencana yang berkali-kali terjadi pun seperti gempa, banjir, atau demam berdarah tidak membuat pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih sigap. Kepanikan, termasuk dalam hal jumlah korban jiwa maupun materi, masih ada walaupun akan berkurang bila ditangani oleh birokrasi yang lebih berpengalaman dan berpihak kepada korban.
Pemerintah, terutama pusat, akan berusaha untuk menyanggah (deniable) sebelum mengambil tindakan yang sangat ekstrem dari menjaga jarak (social distancing) hingga menutup akses di seluruh perbatasan (lockdown) di beberapa negara. Pemerintah umumnya berusaha untuk menyembunyikan fakta yang terjadi sambil memikirkan alternatif kebijakan yang harus diambil.
Hal ini terjadi di banyak negara terutama mereka yang menganggap kepentingan ekonomi adalah segala-galanya di atas kepentingan lainnya. Ini terjadi di Indonesia, China, Amerika Serikat (AS), Italia, dan banyak negara lainnya. China yang saat ini dianggap sukses melawan virus Covid-19 juga berusaha untuk menyembunyikan fakta yang terjadi sebelum akhirnya fakta tersebut tidak bisa lagi disembunyikan oleh media sosial.Pendapat saya tiga minggu lalu di harian ini menceritakan bagaimana kasus di Hong Kong menjadi salah satu penyebab pemerintah China akhirnya mulai membuka diri dan segera melancarkan strategi untuk mengurangi penyebaran virus ini. China mengambil langkah yang ekstrem dengan melakukan lockdown dan membangun fasilitas kesehatan raksasa dalam waktu yang cepat.
Amerika Serikat, musuh dagang China, malah secara terang-terangan menyatakan Covid-19 ini sebagai hoaks. Presiden AS Donald Trump dalam pidato di depan pendukungnya di North Charleston, SC mengatakan “Sekarang, orang-orang Partai Demokrat memolitisasi coronavirus, Anda tahu itu kan? Coronavirus. Salah satu staf mendatangi saya dan berkata, ‘Mr Presiden, mereka mencoba mengalahkan Anda lewat kasus Rusia, Rusia, Rusia. Hasilnya tidak sesuai harapan. Mereka kini mencoba hoaks pemakzulan. Hasilnya mereka kalah. Dan perhatikanlah, ini hoaks baru mereka.”
Indonesia juga tidak berbeda dengan China dan AS. Pemerintah berusaha meyakinkan masyarakat bahwa virus Covid-19 tidak akan menyebar ke Indonesia karena beberapa alasan. Sebut saja seperti karena memiliki alam tropis, selalu mengonsumsi rempah-rempah hingga karena suka makan nasi kucing, walaupun disampaikan dalam konteks bercanda.
Mereka yang berusaha mengkritisi kebijakan pemerintah dalam menghadapi virus ini juga mengalami perlawanan. China segera mengontrol media sosial WeChat, Weibo, QQ, Toutiao, Douyin, Zhihu, dan Tieba. Misalnya pemerintah China mulai mengontrol YY, sebuah platform streaming langsung di China, dengan menyensor kata kunci yang terkait dengan wabah coronavirus pada 31 Desember 2019. Satu hari setelah beberapa dokter, termasuk almarhum Dr. Li Wenliang, mencoba memperingatkan masyarakat tentang virus yang saat itu tidak diketahui.
Di AS, Trump selalu mendikotomikan mereka yang mengkritik lambatnya pemerintah dalam menghadapi penyebaran virus sebagai kelompok oposisi dari Partai Demokrat, seperti yang diuraikan di atas. Sementara di Indonesia, beberapa aktivis media sosial yang mendukung pemerintah bahkan mematikan diskusi tentang seberapa besar kemungkinan penyebaran terjadi di Indonesia.
Caranya, dengan menuduh lawan bicara mereka sengaja ingin menciptakan kepanikan yang bertujuan menggoyang pemerintahan yang berkuasa. Fakta bahwa ada sebagian negara berupaya menyembunyikan fakta penyebaran virus Covid-19 dari masyarakat umum adalah dilema yang dihadapi dalam era post truth saat ini.
Kita menghadapi dilema tentang sumber informasi apa yang dapat dipercaya. Media sosial dan media daring lebih banyak mengejar click-bait dengan menuliskan judul-judul yang mengundang emosi dan menurunkan berita-berita yang belum terkonfirmasi atau berita-berita hoaks.
Hal ini bertambah buruk ketika kompetisi politik di antara politisi semakin menyuburkan praktik-praktik tersebut. Kepentingan politik dari kelompok-kelompok yang saling bersaing sama-sama menggunakan media sosial untuk membungkam sebuah diskusi warga yang sebetulnya beyond dari kepentingan politik mereka sendiri.
Masyarakat, tidak hanya di Indonesia tetapi juga sebagian besar negara, juga tidak memiliki alternatif sumber berita yang dapat diandalkan karena mereka juga mulai meragukan kredibilitas media-media konvensional. Banyak kasus yang terjadi di mana media konvensional juga melakukan kesalahan seperti yang dilakukan oleh media sosial. Bahkan tidak sedikit, media konvensional menyadur beritanya dari media-media sosial.
Oleh sebab itu, saya sendiri mengambil sikap kritis terkait penanganan virus Covid-19 oleh pemerintah China, walaupun mengagumi lompatan (leap frog) yang diambil seperti pembangunan rumah sakit dalam waktu dua minggu. Bersikap kritis terhadap informasi dari China menjadi perlu karena pemerintah China adalah pemerintahan yang tertutup di mana seluruh informasi yang masuk dan keluar tentang apa yang terjadi di China sudah melalui proses penyaringan yang ketat.
China adalah negara besar dengan penduduk lebih dari satu miliar jiwa, sehingga kontrol atas informasi publik menjadi syarat negara itu bisa berdiri utuh. Artinya, persepsi kita tentang China adalah produk dari konstruksi kenyataan yang dikembangkan oleh pemerintah yang berkuasa.
Meski demikian, kita juga tidak bisa bersikap relatif dengan membenarkan otoritas mengontrol diskusi publik atau menutupi fakta atas nama kestabilan politik karena khawatir terjadinya kepanikan atau kegaduhan massal. Kita tidak bisa mengikuti langkah China karena langkah penyensoran seperti di China mensyaratkan adanya kesadaran di antara warganya bahwa ketidakbebasan politik dan berpendapat sebagai hal yang normal dalam kehidupan sehari-hari.
Seberapa pun mereka kritis terhadap pemerintah, mereka menyadari sikap kritis itu harus diredam sejak dalam pikiran sebagai imbal-balik (trade-off) untuk kepentingan ekonomi tertentu yang mereka inginkan.
Di sisi lain, kita juga tidak bisa membiarkan menyebarnya berita atau informasi yang berpotensi hoaks dan rumor hanya atas nama kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat dalam demokrasi saat ini lebih banyak digunakan oleh kelompok-kelompok politik untuk mendominasi wacana publik dengan informasi yang menguntungkan mereka dan melakukan disinformasi untuk mengurangi wacana publik yang merugikan kepentingan politik mereka.
Salah satu cara yang harus kita lakukan untuk menyelesaikan dilema itu adalah dengan memperkuat atau mengembalikan kepercayaan terhadap negara sebagai institusi yang mewakili nilai-nilai kebersamaan lebih dari kepentingan kelompok baik kelompok agama, ras, suku, ideologi politik, maupun kelas. Pandemik virus Covid-19 harus kita lihat sebagai kesempatan untuk menekan kebiasaan politik yang tidak benar di masa lalu. Negara di sini bukan hanya politisi yang berkuasa di eksekutif, melainkan juga legislatif.
Para politisi di wilayah tersebut harus berani menarik garis batas yang tegas antara tindakan, pemikiran, pendapat yang dapat menguatkan dengan yang dapat menyebabkan lunturnya nilai-nilai kebersamaan itu. Para politisi harus tebal iman untuk tidak mengeluarkan kebijakan selama krisis sebagai jalan untuk mendulang popularitas pribadi tetapi menjadikannya manfaat untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan tersebut meskipun ia tidak terlihat populer. Meskipun terdengar klise, langkah kecil ini bisa menjadi inspirasi untuk para politisi saat ini atau pun politisi mendatang.
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@dinna_PR
TIDAK ada negara yang siap seratus persen menghadapi sebuah bencana. Bencana yang berkali-kali terjadi pun seperti gempa, banjir, atau demam berdarah tidak membuat pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih sigap. Kepanikan, termasuk dalam hal jumlah korban jiwa maupun materi, masih ada walaupun akan berkurang bila ditangani oleh birokrasi yang lebih berpengalaman dan berpihak kepada korban.
Pemerintah, terutama pusat, akan berusaha untuk menyanggah (deniable) sebelum mengambil tindakan yang sangat ekstrem dari menjaga jarak (social distancing) hingga menutup akses di seluruh perbatasan (lockdown) di beberapa negara. Pemerintah umumnya berusaha untuk menyembunyikan fakta yang terjadi sambil memikirkan alternatif kebijakan yang harus diambil.
Hal ini terjadi di banyak negara terutama mereka yang menganggap kepentingan ekonomi adalah segala-galanya di atas kepentingan lainnya. Ini terjadi di Indonesia, China, Amerika Serikat (AS), Italia, dan banyak negara lainnya. China yang saat ini dianggap sukses melawan virus Covid-19 juga berusaha untuk menyembunyikan fakta yang terjadi sebelum akhirnya fakta tersebut tidak bisa lagi disembunyikan oleh media sosial.Pendapat saya tiga minggu lalu di harian ini menceritakan bagaimana kasus di Hong Kong menjadi salah satu penyebab pemerintah China akhirnya mulai membuka diri dan segera melancarkan strategi untuk mengurangi penyebaran virus ini. China mengambil langkah yang ekstrem dengan melakukan lockdown dan membangun fasilitas kesehatan raksasa dalam waktu yang cepat.
Amerika Serikat, musuh dagang China, malah secara terang-terangan menyatakan Covid-19 ini sebagai hoaks. Presiden AS Donald Trump dalam pidato di depan pendukungnya di North Charleston, SC mengatakan “Sekarang, orang-orang Partai Demokrat memolitisasi coronavirus, Anda tahu itu kan? Coronavirus. Salah satu staf mendatangi saya dan berkata, ‘Mr Presiden, mereka mencoba mengalahkan Anda lewat kasus Rusia, Rusia, Rusia. Hasilnya tidak sesuai harapan. Mereka kini mencoba hoaks pemakzulan. Hasilnya mereka kalah. Dan perhatikanlah, ini hoaks baru mereka.”
Indonesia juga tidak berbeda dengan China dan AS. Pemerintah berusaha meyakinkan masyarakat bahwa virus Covid-19 tidak akan menyebar ke Indonesia karena beberapa alasan. Sebut saja seperti karena memiliki alam tropis, selalu mengonsumsi rempah-rempah hingga karena suka makan nasi kucing, walaupun disampaikan dalam konteks bercanda.
Mereka yang berusaha mengkritisi kebijakan pemerintah dalam menghadapi virus ini juga mengalami perlawanan. China segera mengontrol media sosial WeChat, Weibo, QQ, Toutiao, Douyin, Zhihu, dan Tieba. Misalnya pemerintah China mulai mengontrol YY, sebuah platform streaming langsung di China, dengan menyensor kata kunci yang terkait dengan wabah coronavirus pada 31 Desember 2019. Satu hari setelah beberapa dokter, termasuk almarhum Dr. Li Wenliang, mencoba memperingatkan masyarakat tentang virus yang saat itu tidak diketahui.
Di AS, Trump selalu mendikotomikan mereka yang mengkritik lambatnya pemerintah dalam menghadapi penyebaran virus sebagai kelompok oposisi dari Partai Demokrat, seperti yang diuraikan di atas. Sementara di Indonesia, beberapa aktivis media sosial yang mendukung pemerintah bahkan mematikan diskusi tentang seberapa besar kemungkinan penyebaran terjadi di Indonesia.
Caranya, dengan menuduh lawan bicara mereka sengaja ingin menciptakan kepanikan yang bertujuan menggoyang pemerintahan yang berkuasa. Fakta bahwa ada sebagian negara berupaya menyembunyikan fakta penyebaran virus Covid-19 dari masyarakat umum adalah dilema yang dihadapi dalam era post truth saat ini.
Kita menghadapi dilema tentang sumber informasi apa yang dapat dipercaya. Media sosial dan media daring lebih banyak mengejar click-bait dengan menuliskan judul-judul yang mengundang emosi dan menurunkan berita-berita yang belum terkonfirmasi atau berita-berita hoaks.
Hal ini bertambah buruk ketika kompetisi politik di antara politisi semakin menyuburkan praktik-praktik tersebut. Kepentingan politik dari kelompok-kelompok yang saling bersaing sama-sama menggunakan media sosial untuk membungkam sebuah diskusi warga yang sebetulnya beyond dari kepentingan politik mereka sendiri.
Masyarakat, tidak hanya di Indonesia tetapi juga sebagian besar negara, juga tidak memiliki alternatif sumber berita yang dapat diandalkan karena mereka juga mulai meragukan kredibilitas media-media konvensional. Banyak kasus yang terjadi di mana media konvensional juga melakukan kesalahan seperti yang dilakukan oleh media sosial. Bahkan tidak sedikit, media konvensional menyadur beritanya dari media-media sosial.
Oleh sebab itu, saya sendiri mengambil sikap kritis terkait penanganan virus Covid-19 oleh pemerintah China, walaupun mengagumi lompatan (leap frog) yang diambil seperti pembangunan rumah sakit dalam waktu dua minggu. Bersikap kritis terhadap informasi dari China menjadi perlu karena pemerintah China adalah pemerintahan yang tertutup di mana seluruh informasi yang masuk dan keluar tentang apa yang terjadi di China sudah melalui proses penyaringan yang ketat.
China adalah negara besar dengan penduduk lebih dari satu miliar jiwa, sehingga kontrol atas informasi publik menjadi syarat negara itu bisa berdiri utuh. Artinya, persepsi kita tentang China adalah produk dari konstruksi kenyataan yang dikembangkan oleh pemerintah yang berkuasa.
Meski demikian, kita juga tidak bisa bersikap relatif dengan membenarkan otoritas mengontrol diskusi publik atau menutupi fakta atas nama kestabilan politik karena khawatir terjadinya kepanikan atau kegaduhan massal. Kita tidak bisa mengikuti langkah China karena langkah penyensoran seperti di China mensyaratkan adanya kesadaran di antara warganya bahwa ketidakbebasan politik dan berpendapat sebagai hal yang normal dalam kehidupan sehari-hari.
Seberapa pun mereka kritis terhadap pemerintah, mereka menyadari sikap kritis itu harus diredam sejak dalam pikiran sebagai imbal-balik (trade-off) untuk kepentingan ekonomi tertentu yang mereka inginkan.
Di sisi lain, kita juga tidak bisa membiarkan menyebarnya berita atau informasi yang berpotensi hoaks dan rumor hanya atas nama kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat dalam demokrasi saat ini lebih banyak digunakan oleh kelompok-kelompok politik untuk mendominasi wacana publik dengan informasi yang menguntungkan mereka dan melakukan disinformasi untuk mengurangi wacana publik yang merugikan kepentingan politik mereka.
Salah satu cara yang harus kita lakukan untuk menyelesaikan dilema itu adalah dengan memperkuat atau mengembalikan kepercayaan terhadap negara sebagai institusi yang mewakili nilai-nilai kebersamaan lebih dari kepentingan kelompok baik kelompok agama, ras, suku, ideologi politik, maupun kelas. Pandemik virus Covid-19 harus kita lihat sebagai kesempatan untuk menekan kebiasaan politik yang tidak benar di masa lalu. Negara di sini bukan hanya politisi yang berkuasa di eksekutif, melainkan juga legislatif.
Para politisi di wilayah tersebut harus berani menarik garis batas yang tegas antara tindakan, pemikiran, pendapat yang dapat menguatkan dengan yang dapat menyebabkan lunturnya nilai-nilai kebersamaan itu. Para politisi harus tebal iman untuk tidak mengeluarkan kebijakan selama krisis sebagai jalan untuk mendulang popularitas pribadi tetapi menjadikannya manfaat untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan tersebut meskipun ia tidak terlihat populer. Meskipun terdengar klise, langkah kecil ini bisa menjadi inspirasi untuk para politisi saat ini atau pun politisi mendatang.
(poe)