Menilai Efektivitas Kebijakan Kesehatan
A
A
A
Prof Tikki Pangestu
Visiting Professor at Lee Kuan Yew School of Public Policy,
National University of Singapore
NEGARA-negara berpendapatan rendah dan menengah (Low and Middle Income Countries/LMICs) harus berjuang memberikan layanan kesehatan berkualitas di tengah keterbatasan sumber daya dan infrastruktur. Ironisnya, berbagai bukti ilmiah yang mendukung perbaikan sistem kesehatan kerap diabaikan.
Di sebagian besar LMICs, penggunaan bukti ilmiah dalam penyusunan kebijakan kesehatan nasional masih belum menjadi pertimbangan utama. Sering kali opini, nilai, kepercayaan, tradisi, bahkan ideologi mengalahkan fakta, kebenaran, dan bukti ilmiah.
Lantas, kenapa hal ini terjadi? Ada beberapa alasan.Pertama, kurangnya bukti ilmiah yang mendalam dan relevan. Jika pun ada, jumlahnya terbatas, kurang komprehensif, dan tidak sesuai dengan kebutuhan pembuat kebijakan serta kerap kali tidak tersedia di waktu yang tepat.
Seorang pembuat kebijakan senior pernah berkata, “Agar bermanfaat, penelitian harus dapat menjawab tiga pertanyaan. Apakah bisa diaplikasikan? Apakah akan efektif bagi masyarakat setempat? Dan, apakah manfaatnya sepadan dengan biaya yang akan ditimbulkan?” Pertanyaan seperti itu sering kali tidak dapat dijawab oleh penelitian secara akademis saja.
Kedua, keterbatasan literasi ilmiah di antara para pembuat kebijakan karena mereka tidak memiliki latar belakang sains. Akibatnya, mereka mungkin meremehkan peran bukti ilmiah dalam perumusan dan implementasi kebijakan.
Adalah benar yang dikatakan John Maynard Keynes bahwa "Hal yang paling tidak disukai politikus ialah terlalu banyak informasi sehingga pembuatan kebijakan menjadi rumit dan kompleks.”
Ketiga, walaupun mungkin tidak ada pembuat kebijakan yang ingin membuat suatu kebijakan yang buruk, kenyataannya, bukti ilmiah hanya menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan. Mereka juga harus bersaing dengan tekanan politik, keterbatasan sumber daya, kepercayaan dan nilai-nilai masyarakat setempat, media serta yang terpenting para pendukungnya.
Lepas dari nada sinis Keynes,SirMichael Marmot mengungkapkan bahwa: “Temuan ilmiah tidak bisa mengubah pikiran kosong menjadi sebuah keputusan absolut karena ilmu pengetahuan selalu berinteraksi dengan pikiran yang selalu berputar, yang memiliki pandangan kuat tentang berbagai hal dan bagaimana hal-hal tersebut sejatinya."
Sayangnya, racun populisme nasional, berita palsu, dan penolakan terhadap sains telah menurunkan dan meremehkan peran penting bukti ilmiah dalam wacana dan pembentukan kebijakan. Yuval Noah Harari berkata, “Manusia mengetahui lebih banyak kebenaran daripada spesies apa pun di bumi. Namun, kita juga memercayai lebih banyak kepalsuan.”
Lingkungan antisains yang mudah berubah, tidak pasti, kompleks, dan ambigu ini telah melahirkan dua “bencana” dalam masalah kesehatan global baru-baru ini.
Bencana pertama terjadi di Filipina. Informasi yang salah, kurangnya penekanan terhadap bukti ilmiah, dan faktor-faktor politik mengakibatkan penarikan vaksin yang telah lama ditunggu-tunggu untuk mencegah demam berdarah.
Lebih mengkhawatirkan lagi, penampikan ini menyebabkan penurunan atas kepercayaan dalam vaksinasi anak. Mengurangi tingkat vaksinasi menghasilkan 35.000 kasus campak dengan 477 kematian pada 2019 dan kemunculan kembali polio setelah 20 tahun punah.
Organisasi Kesehatan Dunia mencatat campak telah menginfeksi hampir 10 juta orang pada 2018 dan telah membunuh 140.000 sebagian besar anak-anak ketika wabah penyakit virus yang parah melanda setiap wilayah di dunia.
Kekerasan terhadap petugas kesehatan di Republik Demokratik Kongo telah mengakibatkan keterlambatan penerimaan vaksin yang sangat dibutuhkan terhadap virus Ebola. Fenomena "keraguan vaksin" ini telah menyebar secara global ke banyak negara, kaya maupun miskin. Hal ini telah menyebarkan wabah penyakit serius yang sebenarnya dapat dicegah dengan vaksin.
Hal sebaliknya tercermin oleh bagaimana Pemerintah Republik Rakyat China menangani wabah pneumonia coronavirus di Wuhan. Virus korona yang berasal dari China ini menyebar karena peningkatan migrasi penduduk menjelang perayaan Tahun Baru Imlek.
Namun, pemerintah negara tersebut secara tanggap mengaplikasikan pembuktian ilmiah serta pembelajaran yang didapatkan saat menangani wabah SARS pada 2003. Meskipun ada beberapa insiden politik internal dan tekanan dari negara lain, para pembuat kebijakan dinilai cukup efektif dan cepat dalam menangani penyebaran virus.
Bencana kedua terkait keberadaan satu miliar perokok di dunia. Enam hingga tujuh juta orang meninggal setiap tahun karena penyakit yang berhubungan dengan merokok, sebagian besar di LMICs. Sebagai contoh, Indonesia saat ini memiliki lebih dari 60 juta perokok 68% di antaranya pria dengan hampir 200.000 kematian setiap tahun karena penyakit terkait merokok.
Ada bukti kuat bahwa pendekatan pengurangan bahaya(harm reduction)dengan produk tembakau alternatif yang memiliki 90 hingga 95% pengurangan kadar zat kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya daripada rokok. Namun, banyak bukti yang diabaikan dan kebijakan represif untuk melarang produk tersebut, pemberian denda, bahkan pemenjaraan pengguna telah diterapkan atau sedang dipertimbangkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Padahal, pendekatan semacam itu, pada dasarnya, akan menyangkal hak perokok atas produk yang lebih baik bagi kesehatan mereka.
Jadi bagaimana kita mengatasi tantangan ini?
Pertama, meningkatkan literasi ilmiah di antara para pembuat kebijakan.Kedua, meningkatkan akuntabilitas proses pengambilan keputusan untuk memastikan bahwa bukti yang ada akan diperhitungkan.Ketiga, memfasilitasi dan melembagakan terjemahan pengetahuan dan komunikasi antara ilmuwan, pembuat kebijakan, konsumen, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk masyarakat sipil.Keempat, bukti dan data harus dikombinasikan dengan pendekatan yang lebih humanistis agar kebijakan dan praktiknya berjalan efektif.
Kendati penting membedakan pendapat dan fakta, yang lebih penting adalah memastikan bahwa fakta dipakai untuk membentuk kebijakan yang memperbaiki bukan hanya kualitas kesehatan, tetapi juga kesetaraan kesehatan, terutama di negara berkembang. Dan, pada akhirnya, semua ini bermuara pada seberapa besar kita menilai pentingnya sebuah penelitian ilmiah.
Visiting Professor at Lee Kuan Yew School of Public Policy,
National University of Singapore
NEGARA-negara berpendapatan rendah dan menengah (Low and Middle Income Countries/LMICs) harus berjuang memberikan layanan kesehatan berkualitas di tengah keterbatasan sumber daya dan infrastruktur. Ironisnya, berbagai bukti ilmiah yang mendukung perbaikan sistem kesehatan kerap diabaikan.
Di sebagian besar LMICs, penggunaan bukti ilmiah dalam penyusunan kebijakan kesehatan nasional masih belum menjadi pertimbangan utama. Sering kali opini, nilai, kepercayaan, tradisi, bahkan ideologi mengalahkan fakta, kebenaran, dan bukti ilmiah.
Lantas, kenapa hal ini terjadi? Ada beberapa alasan.Pertama, kurangnya bukti ilmiah yang mendalam dan relevan. Jika pun ada, jumlahnya terbatas, kurang komprehensif, dan tidak sesuai dengan kebutuhan pembuat kebijakan serta kerap kali tidak tersedia di waktu yang tepat.
Seorang pembuat kebijakan senior pernah berkata, “Agar bermanfaat, penelitian harus dapat menjawab tiga pertanyaan. Apakah bisa diaplikasikan? Apakah akan efektif bagi masyarakat setempat? Dan, apakah manfaatnya sepadan dengan biaya yang akan ditimbulkan?” Pertanyaan seperti itu sering kali tidak dapat dijawab oleh penelitian secara akademis saja.
Kedua, keterbatasan literasi ilmiah di antara para pembuat kebijakan karena mereka tidak memiliki latar belakang sains. Akibatnya, mereka mungkin meremehkan peran bukti ilmiah dalam perumusan dan implementasi kebijakan.
Adalah benar yang dikatakan John Maynard Keynes bahwa "Hal yang paling tidak disukai politikus ialah terlalu banyak informasi sehingga pembuatan kebijakan menjadi rumit dan kompleks.”
Ketiga, walaupun mungkin tidak ada pembuat kebijakan yang ingin membuat suatu kebijakan yang buruk, kenyataannya, bukti ilmiah hanya menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan. Mereka juga harus bersaing dengan tekanan politik, keterbatasan sumber daya, kepercayaan dan nilai-nilai masyarakat setempat, media serta yang terpenting para pendukungnya.
Lepas dari nada sinis Keynes,SirMichael Marmot mengungkapkan bahwa: “Temuan ilmiah tidak bisa mengubah pikiran kosong menjadi sebuah keputusan absolut karena ilmu pengetahuan selalu berinteraksi dengan pikiran yang selalu berputar, yang memiliki pandangan kuat tentang berbagai hal dan bagaimana hal-hal tersebut sejatinya."
Sayangnya, racun populisme nasional, berita palsu, dan penolakan terhadap sains telah menurunkan dan meremehkan peran penting bukti ilmiah dalam wacana dan pembentukan kebijakan. Yuval Noah Harari berkata, “Manusia mengetahui lebih banyak kebenaran daripada spesies apa pun di bumi. Namun, kita juga memercayai lebih banyak kepalsuan.”
Lingkungan antisains yang mudah berubah, tidak pasti, kompleks, dan ambigu ini telah melahirkan dua “bencana” dalam masalah kesehatan global baru-baru ini.
Bencana pertama terjadi di Filipina. Informasi yang salah, kurangnya penekanan terhadap bukti ilmiah, dan faktor-faktor politik mengakibatkan penarikan vaksin yang telah lama ditunggu-tunggu untuk mencegah demam berdarah.
Lebih mengkhawatirkan lagi, penampikan ini menyebabkan penurunan atas kepercayaan dalam vaksinasi anak. Mengurangi tingkat vaksinasi menghasilkan 35.000 kasus campak dengan 477 kematian pada 2019 dan kemunculan kembali polio setelah 20 tahun punah.
Organisasi Kesehatan Dunia mencatat campak telah menginfeksi hampir 10 juta orang pada 2018 dan telah membunuh 140.000 sebagian besar anak-anak ketika wabah penyakit virus yang parah melanda setiap wilayah di dunia.
Kekerasan terhadap petugas kesehatan di Republik Demokratik Kongo telah mengakibatkan keterlambatan penerimaan vaksin yang sangat dibutuhkan terhadap virus Ebola. Fenomena "keraguan vaksin" ini telah menyebar secara global ke banyak negara, kaya maupun miskin. Hal ini telah menyebarkan wabah penyakit serius yang sebenarnya dapat dicegah dengan vaksin.
Hal sebaliknya tercermin oleh bagaimana Pemerintah Republik Rakyat China menangani wabah pneumonia coronavirus di Wuhan. Virus korona yang berasal dari China ini menyebar karena peningkatan migrasi penduduk menjelang perayaan Tahun Baru Imlek.
Namun, pemerintah negara tersebut secara tanggap mengaplikasikan pembuktian ilmiah serta pembelajaran yang didapatkan saat menangani wabah SARS pada 2003. Meskipun ada beberapa insiden politik internal dan tekanan dari negara lain, para pembuat kebijakan dinilai cukup efektif dan cepat dalam menangani penyebaran virus.
Bencana kedua terkait keberadaan satu miliar perokok di dunia. Enam hingga tujuh juta orang meninggal setiap tahun karena penyakit yang berhubungan dengan merokok, sebagian besar di LMICs. Sebagai contoh, Indonesia saat ini memiliki lebih dari 60 juta perokok 68% di antaranya pria dengan hampir 200.000 kematian setiap tahun karena penyakit terkait merokok.
Ada bukti kuat bahwa pendekatan pengurangan bahaya(harm reduction)dengan produk tembakau alternatif yang memiliki 90 hingga 95% pengurangan kadar zat kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya daripada rokok. Namun, banyak bukti yang diabaikan dan kebijakan represif untuk melarang produk tersebut, pemberian denda, bahkan pemenjaraan pengguna telah diterapkan atau sedang dipertimbangkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Padahal, pendekatan semacam itu, pada dasarnya, akan menyangkal hak perokok atas produk yang lebih baik bagi kesehatan mereka.
Jadi bagaimana kita mengatasi tantangan ini?
Pertama, meningkatkan literasi ilmiah di antara para pembuat kebijakan.Kedua, meningkatkan akuntabilitas proses pengambilan keputusan untuk memastikan bahwa bukti yang ada akan diperhitungkan.Ketiga, memfasilitasi dan melembagakan terjemahan pengetahuan dan komunikasi antara ilmuwan, pembuat kebijakan, konsumen, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk masyarakat sipil.Keempat, bukti dan data harus dikombinasikan dengan pendekatan yang lebih humanistis agar kebijakan dan praktiknya berjalan efektif.
Kendati penting membedakan pendapat dan fakta, yang lebih penting adalah memastikan bahwa fakta dipakai untuk membentuk kebijakan yang memperbaiki bukan hanya kualitas kesehatan, tetapi juga kesetaraan kesehatan, terutama di negara berkembang. Dan, pada akhirnya, semua ini bermuara pada seberapa besar kita menilai pentingnya sebuah penelitian ilmiah.
(nag)