Pancasila untuk Dunia
A
A
A
Prof Rokhmin Dahuri, PhD
Ketua DPP PDI Perjuangan
SEJAK revolusi industri pertama pada 1750-an sampai sekarang, kapitalisme menjadi ideologi dan sekaligus paradigma ekonomi utama yang dianut oleh hampir semua bangsa di dunia. Secara makroekonomi, kapitalisme telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi global rata-rata 3,5% per tahun.
Capaian itu mampu meningkatkan PDB dunia dari sekitar 0,45 triliun dolar AS pada 1753 menjadi 90 triliun dolar AS pada 2015 (Sach, 2015). Kapitalisme pun sukses menciptakan ekosistem kondusif bagi inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang telah melahirkan empat gelombang revolusi industri.
Sejak 2000 dunia memasuki revolusi industri keempat yang berbasis pada artificial intelligence , internet of things , big data , robotics , new materials , dan bioteknologi. Pesatnya kemajuan iptek telah membuat ekonomi dunia semakin berkembang, produktif, efisien, dan kompetitif. Kehidupan keseharian manusia pun semakin sehat, mudah, murah, cepat, dan nyaman.
Namun, hingga kini belum semua negara-bangsa di dunia maju dan makmur (high-income country ) dengan PDB per kapita di atas 11.750 dolar AS. Dari 194 negara di dunia, baru 55 negara (28%) yang telah maju dan makmur, 103 negara (53%) berstatus sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income country ) dengan PDB per kapita antara 2.000-1.750 dolar AS, dan 36 negara (19%) masih miskin (poor country ) dengan PDB per kapita lebih kecil dari 2.000 dolar AS (UNDP, 2018). Pada 2019, PDB per kapita Indonesia baru mencapai 4.000 dolar AS.
Hal yang lebih menyedihkan, saat ini sekitar 1 miliar (14%) penduduk dunia masih fakir (miskin absolut) dengan pengeluaran kurang dari 1,25 dolar AS per hari, dan sekitar 3 miliar warga dunia (41%) masih miskin dengan pengeluaran kurang dari 2 dolar AS per hari. Sekitar 1,3 miliar warga dunia hidup di kawasan permukiman yang tidak teraliri jaringan listrik; 900 juta orang tidak mendapatkan air bersih; dan 2,6 miliar orang hidup di permukiman dengan sanitasi buruk (UNDP, 2018).
Kapitalisme juga telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi semakin lebar. Pada 1800 perbedaan total PDB antara negara-negara kaya (Eropa) dengan negara-negara miskin di dunia sebesar 90%. Pada 2000 perbedaan tersebut meningkat secara dramatis menjadi 750%, sekitar 8 kali lipat. Kemudian pada 2010, 388 orang terkaya di dunia memiliki total kekayaan sama dengan total kekayaan dari 50% penduduk dunia yang termiskin. Pada 2017 jumlah orang terkaya dengan total kekayaan sama dengan yang dimiliki oleh 50% penduduk dunia termiskin berkurang menjadi hanya 8 orang (Oxfam International, 2018).
Fakta lain yang menunjukkan betapa timpangnya kondisi sosial-ekonomi global adalah laju konsumsi energi antarbangsa di dunia. Dewasa ini negara-negara industri maju (OECD) dengan total penduduk hanya 18% dari total penduduk dunia mengonsumsi sekitar 70% dari total konsumsi energi dunia, dan 87% dari energi yang mereka gunakan berupa energi fosil. Inilah "biang kerok " dari terjadinya pemanasan global (IPCC, 2019).
Kapitalisme juga telah menimbulkan pencemaran lingkungan, degradasi ekosistem alam, terkikisnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim global, dan berbagai jenis kerusakan lingkungan lain. Intensitas kerusakan lingkungan tersebut sudah pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan ekosistem bumi dalam mendukung pembangunan ekonomi, dan bahkan kehidupan umat manusia itu sendiri (Al Gore, 2017).
Di bidang sosial-budaya, kapitalisme telah menimbulkan beragam kriminalitas dan penyakit sosial. Di seluruh dunia, khususnya di kawasan perkotaan, kehidupan warganya menderita depresi yang semakin dalam. Mabuk minuman keras, narkoba, perzinahan, HIV/AIDS, perampokan, frustrasi, dan bunuh diri merebak di mana-mana. Perasaan saling curiga, distrust , hoax , hipokrit, dan permusuhan juga kian masif.
Pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan telah mengakibatkan kecemburuan sosial, demonstrasi anarkis, radikalisme, bahkan terorisme. Gelombang migrasi manusia dari negara-negara miskin atau dilanda perang, seperti Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Amerika Latin ke negara-negara industri maju (Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia) semakin tak terbendung.
Sementara itu, menguatnya gerakan rasisme, populisme, dan proteksionisme di negara-negara maju, terutama sejak era Brexit dan kepemimpinan Presiden Donald Trump, membuat semakin banyak negara maju yang menolak kedatangan para imigran yang bernasib malang tersebut.
Dunia kapitalistik di mana kekayaan hanya dikuasai oleh segelintir orang juga telah membuat semakin terkonsentrasinya kekuatan politik pada sekelompok elite yang menggunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Ketika ketimpangan ekonomi dan konsentrasi kekuasaan politik semakin tajam, maka rasa saling percaya di tengah kehidupan masyarakat memudar. Sebaliknya, fragmentasi sosial dan kebencian akan memuncak yang berujung pada konflik bersenjata alias perang.
Cacat Bawaan Kapitalisme
Singkatnya, kapitalisme secara kasatmata telah gagal mengantarkan umat manusia kepada tujuan kemanusiaan yang hakiki, yakni kehidupan dunia yang berkemajuan, sejahtera, adil, damai, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Kegagalan itu disebabkan karena kapitalisme sejatinya memiliki kelemahan secara paradigmatik maupun pada cara kerjanya.
Dalam kapitalisme, secara ontologis manusia diasumsikan memiliki karakter egoistis (selfish ), sehingga moralitasnya adalah kebebasan hidup (liberalisme). Selain itu, kapitalisme juga menganggap bahwa kehidupan manusia itu hanya di dunia ini saja, tidak percaya adanya akhirat. Maka, wajar bila moralitas para kapitalis sangat konsumtif, hedonis, dan bernafsu untuk mengeksploitasi orang lain (homo homini lupus ).
Pada tataran praksis, orientasi kerja kapitalisme adalah bagaimana meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat mungkin, tanpa mengindahkan kepentingan bersama (orang lain), dan tak peduli halal atau haram. Di bidang ekonomi, penetapan harga, produksi, konsumsi, dan distribusi barang dan jasa (goods and services ) semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar dengan "invisible hand "-nya. Tidak boleh ada campur tangan pemerintah (negara).
Hasil survei yang selama dua dekade terakhir dilakukan oleh the Edelman Trust Barometer (2020) di 28 negara maju dan berkembang dengan 34.000 responden menunjukkan bahwa mayoritas (60%) penduduk dunia menganggap bahwa kapitalisme lebih banyak memberi mudarat ketimbang maslahat.
Pancasila sebagai Alternatif
Untuk mencegah dunia dari kehancuran, masyarakat dunia harus memperbaiki sistem kapitalisme secara fundamental atau mencari alternatif paradigma pembangunan yang mampu mengatasi sejumlah permasalahan kemanusiaan di atas. Karena paradigma pembangunan utama lainnya, komunisme, telah mati sejak 1989 bersamaan dengan runtuhnya imperium Uni Soviet, Pancasila dapat menjadi paradigma alternatif menuju dunia yang lebih baik, sejahtera, berkeadilan, damai, dan berkelanjutan.
Dalam perspektif Pancasila, manusia dan alam semesta adalah makhluk ciptaan Tuhan YME. Selain homo sapiens dan homo economicus (makhluk ekonomi), manusia juga homo religiosa (makhluk beragama). Manusia tidak hanya tersusun oleh jasad-fisik (jasmani), tetapi juga oleh roh (rohani). Maka, kepuasan dan kebahagiaan insan Pancasilais tidak hanya berupa terpenuhinya kebutuhan jasmani, harta, jabatan, popularitas, dan atribut-atribut duniawi lain, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan spiritual.
Seorang Pancasilais juga mengimani bahwa kehidupan di dunia ini sifatnya sementara. Setelah kematian manusia akan meninggalkan dunia yang fana menuju kehidupan akhirat yang sebenarnya dan abadi. Semua harta dan benda, jabatan, istri dan anak keturunan yang dicintainya tidak menyertainya ke alam kubur dan akhirat. Hanya selembar kain kafan dan amal perbuatannya yang setia menemaninya ke alam akhirat untuk menghadap Tuhan yang menciptakannya. Bergantung pada iman dan amal-salehnya, manusia akan menggapai kebahagiaan (surga) atau siksaan (neraka) di akhirat kelak.
Dengan world view di atas, seorang Pancasilais dalam menjalankan kehidupan, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat (bangsa) pasti akan dilandasi keimanan dan niat ikhlas karena Tuhan YME. Berperilaku adil dan beradab baik untuk bangsanya sendiri maupun masyarakat dunia. Mengutamakan persaudaraan, toleransi dan persatuan, ketimbang perpecahan, apalagi perang.
Mengedepankan asas musyawarah-mufakat yang dilandasi oleh hikmah dan kebijaksanaan di dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan voting dan pemilihan langsung. Dan, dia pasti akan berbagi kelebihan (harta, iptek, dan kekuasaan) kepada sesama yang membutuhkan secara berkeadilan.
Bila Indonesia mampu menjadi negara-bangsa maju, adil dan makmur, berdaulat, serta berperan aktif dan signifikan dalam menjaga perdamaian dunia sesuai nilai-nilai Pancasila, maka ia akan menjadi a role model dan Pancasila sebagai paradigma pembangunan ekonomi dunia adalah sebuah keniscayaan.
Ketua DPP PDI Perjuangan
SEJAK revolusi industri pertama pada 1750-an sampai sekarang, kapitalisme menjadi ideologi dan sekaligus paradigma ekonomi utama yang dianut oleh hampir semua bangsa di dunia. Secara makroekonomi, kapitalisme telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi global rata-rata 3,5% per tahun.
Capaian itu mampu meningkatkan PDB dunia dari sekitar 0,45 triliun dolar AS pada 1753 menjadi 90 triliun dolar AS pada 2015 (Sach, 2015). Kapitalisme pun sukses menciptakan ekosistem kondusif bagi inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang telah melahirkan empat gelombang revolusi industri.
Sejak 2000 dunia memasuki revolusi industri keempat yang berbasis pada artificial intelligence , internet of things , big data , robotics , new materials , dan bioteknologi. Pesatnya kemajuan iptek telah membuat ekonomi dunia semakin berkembang, produktif, efisien, dan kompetitif. Kehidupan keseharian manusia pun semakin sehat, mudah, murah, cepat, dan nyaman.
Namun, hingga kini belum semua negara-bangsa di dunia maju dan makmur (high-income country ) dengan PDB per kapita di atas 11.750 dolar AS. Dari 194 negara di dunia, baru 55 negara (28%) yang telah maju dan makmur, 103 negara (53%) berstatus sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income country ) dengan PDB per kapita antara 2.000-1.750 dolar AS, dan 36 negara (19%) masih miskin (poor country ) dengan PDB per kapita lebih kecil dari 2.000 dolar AS (UNDP, 2018). Pada 2019, PDB per kapita Indonesia baru mencapai 4.000 dolar AS.
Hal yang lebih menyedihkan, saat ini sekitar 1 miliar (14%) penduduk dunia masih fakir (miskin absolut) dengan pengeluaran kurang dari 1,25 dolar AS per hari, dan sekitar 3 miliar warga dunia (41%) masih miskin dengan pengeluaran kurang dari 2 dolar AS per hari. Sekitar 1,3 miliar warga dunia hidup di kawasan permukiman yang tidak teraliri jaringan listrik; 900 juta orang tidak mendapatkan air bersih; dan 2,6 miliar orang hidup di permukiman dengan sanitasi buruk (UNDP, 2018).
Kapitalisme juga telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi semakin lebar. Pada 1800 perbedaan total PDB antara negara-negara kaya (Eropa) dengan negara-negara miskin di dunia sebesar 90%. Pada 2000 perbedaan tersebut meningkat secara dramatis menjadi 750%, sekitar 8 kali lipat. Kemudian pada 2010, 388 orang terkaya di dunia memiliki total kekayaan sama dengan total kekayaan dari 50% penduduk dunia yang termiskin. Pada 2017 jumlah orang terkaya dengan total kekayaan sama dengan yang dimiliki oleh 50% penduduk dunia termiskin berkurang menjadi hanya 8 orang (Oxfam International, 2018).
Fakta lain yang menunjukkan betapa timpangnya kondisi sosial-ekonomi global adalah laju konsumsi energi antarbangsa di dunia. Dewasa ini negara-negara industri maju (OECD) dengan total penduduk hanya 18% dari total penduduk dunia mengonsumsi sekitar 70% dari total konsumsi energi dunia, dan 87% dari energi yang mereka gunakan berupa energi fosil. Inilah "biang kerok " dari terjadinya pemanasan global (IPCC, 2019).
Kapitalisme juga telah menimbulkan pencemaran lingkungan, degradasi ekosistem alam, terkikisnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim global, dan berbagai jenis kerusakan lingkungan lain. Intensitas kerusakan lingkungan tersebut sudah pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan ekosistem bumi dalam mendukung pembangunan ekonomi, dan bahkan kehidupan umat manusia itu sendiri (Al Gore, 2017).
Di bidang sosial-budaya, kapitalisme telah menimbulkan beragam kriminalitas dan penyakit sosial. Di seluruh dunia, khususnya di kawasan perkotaan, kehidupan warganya menderita depresi yang semakin dalam. Mabuk minuman keras, narkoba, perzinahan, HIV/AIDS, perampokan, frustrasi, dan bunuh diri merebak di mana-mana. Perasaan saling curiga, distrust , hoax , hipokrit, dan permusuhan juga kian masif.
Pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan telah mengakibatkan kecemburuan sosial, demonstrasi anarkis, radikalisme, bahkan terorisme. Gelombang migrasi manusia dari negara-negara miskin atau dilanda perang, seperti Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Amerika Latin ke negara-negara industri maju (Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia) semakin tak terbendung.
Sementara itu, menguatnya gerakan rasisme, populisme, dan proteksionisme di negara-negara maju, terutama sejak era Brexit dan kepemimpinan Presiden Donald Trump, membuat semakin banyak negara maju yang menolak kedatangan para imigran yang bernasib malang tersebut.
Dunia kapitalistik di mana kekayaan hanya dikuasai oleh segelintir orang juga telah membuat semakin terkonsentrasinya kekuatan politik pada sekelompok elite yang menggunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Ketika ketimpangan ekonomi dan konsentrasi kekuasaan politik semakin tajam, maka rasa saling percaya di tengah kehidupan masyarakat memudar. Sebaliknya, fragmentasi sosial dan kebencian akan memuncak yang berujung pada konflik bersenjata alias perang.
Cacat Bawaan Kapitalisme
Singkatnya, kapitalisme secara kasatmata telah gagal mengantarkan umat manusia kepada tujuan kemanusiaan yang hakiki, yakni kehidupan dunia yang berkemajuan, sejahtera, adil, damai, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Kegagalan itu disebabkan karena kapitalisme sejatinya memiliki kelemahan secara paradigmatik maupun pada cara kerjanya.
Dalam kapitalisme, secara ontologis manusia diasumsikan memiliki karakter egoistis (selfish ), sehingga moralitasnya adalah kebebasan hidup (liberalisme). Selain itu, kapitalisme juga menganggap bahwa kehidupan manusia itu hanya di dunia ini saja, tidak percaya adanya akhirat. Maka, wajar bila moralitas para kapitalis sangat konsumtif, hedonis, dan bernafsu untuk mengeksploitasi orang lain (homo homini lupus ).
Pada tataran praksis, orientasi kerja kapitalisme adalah bagaimana meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat mungkin, tanpa mengindahkan kepentingan bersama (orang lain), dan tak peduli halal atau haram. Di bidang ekonomi, penetapan harga, produksi, konsumsi, dan distribusi barang dan jasa (goods and services ) semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar dengan "invisible hand "-nya. Tidak boleh ada campur tangan pemerintah (negara).
Hasil survei yang selama dua dekade terakhir dilakukan oleh the Edelman Trust Barometer (2020) di 28 negara maju dan berkembang dengan 34.000 responden menunjukkan bahwa mayoritas (60%) penduduk dunia menganggap bahwa kapitalisme lebih banyak memberi mudarat ketimbang maslahat.
Pancasila sebagai Alternatif
Untuk mencegah dunia dari kehancuran, masyarakat dunia harus memperbaiki sistem kapitalisme secara fundamental atau mencari alternatif paradigma pembangunan yang mampu mengatasi sejumlah permasalahan kemanusiaan di atas. Karena paradigma pembangunan utama lainnya, komunisme, telah mati sejak 1989 bersamaan dengan runtuhnya imperium Uni Soviet, Pancasila dapat menjadi paradigma alternatif menuju dunia yang lebih baik, sejahtera, berkeadilan, damai, dan berkelanjutan.
Dalam perspektif Pancasila, manusia dan alam semesta adalah makhluk ciptaan Tuhan YME. Selain homo sapiens dan homo economicus (makhluk ekonomi), manusia juga homo religiosa (makhluk beragama). Manusia tidak hanya tersusun oleh jasad-fisik (jasmani), tetapi juga oleh roh (rohani). Maka, kepuasan dan kebahagiaan insan Pancasilais tidak hanya berupa terpenuhinya kebutuhan jasmani, harta, jabatan, popularitas, dan atribut-atribut duniawi lain, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan spiritual.
Seorang Pancasilais juga mengimani bahwa kehidupan di dunia ini sifatnya sementara. Setelah kematian manusia akan meninggalkan dunia yang fana menuju kehidupan akhirat yang sebenarnya dan abadi. Semua harta dan benda, jabatan, istri dan anak keturunan yang dicintainya tidak menyertainya ke alam kubur dan akhirat. Hanya selembar kain kafan dan amal perbuatannya yang setia menemaninya ke alam akhirat untuk menghadap Tuhan yang menciptakannya. Bergantung pada iman dan amal-salehnya, manusia akan menggapai kebahagiaan (surga) atau siksaan (neraka) di akhirat kelak.
Dengan world view di atas, seorang Pancasilais dalam menjalankan kehidupan, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat (bangsa) pasti akan dilandasi keimanan dan niat ikhlas karena Tuhan YME. Berperilaku adil dan beradab baik untuk bangsanya sendiri maupun masyarakat dunia. Mengutamakan persaudaraan, toleransi dan persatuan, ketimbang perpecahan, apalagi perang.
Mengedepankan asas musyawarah-mufakat yang dilandasi oleh hikmah dan kebijaksanaan di dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan voting dan pemilihan langsung. Dan, dia pasti akan berbagi kelebihan (harta, iptek, dan kekuasaan) kepada sesama yang membutuhkan secara berkeadilan.
Bila Indonesia mampu menjadi negara-bangsa maju, adil dan makmur, berdaulat, serta berperan aktif dan signifikan dalam menjaga perdamaian dunia sesuai nilai-nilai Pancasila, maka ia akan menjadi a role model dan Pancasila sebagai paradigma pembangunan ekonomi dunia adalah sebuah keniscayaan.
(thm)