Gus Sholah, NU, dan Sindrom Peter Pan
A
A
A
Anwar Sadad Wakil Ketua DPRD Jatim,
Kader Nahdlatul Ulama (NU)
KEPERGIAN Gus Sholah untuk selamanya menyadarkan kita bahwa akan makin banyak ruang kosong yang tak mudah diisi kembali, yaitu ruang bagi sosok tokoh yang fasih bicara platform Nahdlatul Ulama (NU) dalam bingkai pergaulan sosial dan intelektual yang plural. Itulah ruang yang dulu ditinggalkan oleh mendiang Gus Dur, kemudian diisi oleh Pak Hasyim Muzadi, lalu Gus Sholah. Kini mereka telah pergi.
Alam pasti akan melahirkan para pengganti. Mungkin pengganti itu sudah ada, hanya masih di-back stage , belum naik panggung utama. Saat panggung masih belum siap, lampu belum dinyalakan, tirai belum disingkap, ada baiknya kita memikirkan suatu hal secara agak kontemplatif.
Dari tiga tokoh itu kita telah belajar banyak hal bahwa NU telah melampaui kodratnya sebagai organisasi biasa, mereka menggambarkan NU sebagai suatu "cara pandang", bahkan dapat juga berupa "sistem nilai", sanggup mendamaikan isu agama dan kebangsaan. Isu yang sempat akan "membelah" Indonesia di awal kelahirannya.
Dalam tradisi intelektual di pesantren—basis utama NU—hampir tak ditemukan konsepsi negara yang dibangun di atas fondasi kebangsaan. Itulah sebabnya nation-state sebagai suatu kenyataan sejarah, bagi sebagian umat Islam, menimbulkan shock. Dinamika ini tergambar dengan jelas dalam perdebatan-perdebatan para founding fathers menjelang berdirinya negara kita.
NU sebagai sistem nilai nyatanya bisa mengurai "benang kusut" itu sejak kekisruhan ideologi golongan agama dan golongan nasionalis pada masa awal pembentukan negara. Lalu, NU berperan sebagai formula jitu menghalau komunisme yang merongrong NKRI. Kini NU menyediakan dirinya menjadi benteng pertahanan menghadapi ideologi transnasional kaum jihadis salafi, kaum radikal, dan kawan-kawannya.
Para tokoh ini, di era kini, melakukan sofistikasi. Membawa nilai-nilai ke-NU-an ke dalam masyarakat yang majemuk dengan segala kekayaan ;atau kerumitan; budaya, tradisi, adat-istiadat di bumi Nusantara ini bukanlah perkara mudah. Tak banyak orang, atau gerakan, yang melakukannya dengan baik. Gus Sholah bisa melakukannya, tergambar dari heterogenitas "dunia" yang dimasukinya: pesantren, aktivis HAM, kelompok profesional, teknokrat, dan tentu saja politisi.
Inilah yang makin lama, makin sedikit orang yang dapat melakukannya. Menciptakan panggung sendiri untuk menunjukkan betapa platform NU adalah adaptasi yang nyaris sempurna sebagai suatu sintesis dari kedalaman pemahaman agama, tafaqquh fi al-diin, dengan realitas kemajemukan bangsa Indonesia yang berkelindan dengan modernitas. Sungguh tak mudah.
Anak-anak muda NU di masa kini dengan segala kerendahan hati saya juga menyebutkan banyak tokoh NU di struktur kepengurusan gagap dalam menampilkan wajah NU sesuai dengan fitrahnya. Alih-alih menciptakan panggung sendiri, bahkan tanpa sadar dipanggungkan oleh kelompok lain untuk motif pragmatis. Tagar nderek kyai, gondelan sarung kyai, secara menakjubkan kembali dilambungkan sebagai semacam penegasan untuk kukuh pada tradisi. Tema itu diabstraksikan tanpa konsepsi sehingga ditangkap secara harfiah. Sarung kiai adalah sarung secara letterlijk, tidak dinalar sebagai suatu konsepsi tentang sistem nilai. Saya tak ragu menyebutnya sebagai sindrom Peter Pan.
Kaidah fikih yang dalam berbagai kronik perjalanan sejarah di masa lalu melandasi pilihan dan putusan penting kebangsaan oleh NU kini nyaris hilang, tergerus pragmatisme politik. Elastisitas dan moderatisme terkadang diterapkan kurang tepat pada sasaran yang salah.
Kadang secara tak sadar kita terjebak untuk melakukan glorifikasi peristiwa sejarah di masa lalu. Sultan Al-Fatih dielu-elukan sebagai penakluk Konstantinopel di abad ke-15. Sebagian orang mengandaikan masa itu akan tiba kembali, tapi kita melupakan bahkan meninggalkan spiritnya.
Kepergian Gus Sholah meninggalkan pekerjaan rumah yang tak mudah. Anak-anak muda NU, sudah pasti termasuk para Gus, musti dilepaskan dari sindrom Peter Pan agar keluar dari "rumah kebesaran" yang penuh glorifikasi. Umat yang dihadapi sekarang bukan umat yang dihadapi Hadratus Syekh dan Mbah Wahab, dan para ulama lainnya di masa lalu, struktur sosial dan politik sudah berubah secara drastis. Sains dan teknologi tinggi mengubah banyak hal, termasuk standar moral dan etika. Inilah tantangan besar, membawa NU dalam perjalanan kebangsaan di era sekarang musti dengan cara sophisticated.
Yang juga tak kalah pentingnya adalah mengenalkan NU kepada generasi milenial, di mana jumlah mereka mendekati 30% dari total populasi penduduk Indonesia. Generasi milenial generasi yang kritis terhadap fenomena sosial karena mereka aktif di dunia maya dengan gawai yang tak pernah lepas dari tangannya. Mereka hanya mau menerima suatu informasi yang terverifikasi dan pikiran yang argumentatif. Maka cara dan pendekatan para aktivis NU harus berubah sesuai dengan selera zaman.
Saya sama sekali tak ragu, kaum intelektual yang tergabung di dalam PBNU dan PWNU dapat merumuskan suatu NU Way di forum Mukernas dan Munas Alim Ulama, atau di muktamar yang akan datang sebagai tanggung jawab moral menjaga NU sebagai jamaah dan jamiah yang sholihun likulli zamanin wa makanin. Bangunan itu telah ditinggalkan oleh para pendahulu. Kita hanya perlu menangkapnya dengan cara yang tepat, seperti kata Bung Karno, menangkap spiritnya, bukan abunya.
Kader Nahdlatul Ulama (NU)
KEPERGIAN Gus Sholah untuk selamanya menyadarkan kita bahwa akan makin banyak ruang kosong yang tak mudah diisi kembali, yaitu ruang bagi sosok tokoh yang fasih bicara platform Nahdlatul Ulama (NU) dalam bingkai pergaulan sosial dan intelektual yang plural. Itulah ruang yang dulu ditinggalkan oleh mendiang Gus Dur, kemudian diisi oleh Pak Hasyim Muzadi, lalu Gus Sholah. Kini mereka telah pergi.
Alam pasti akan melahirkan para pengganti. Mungkin pengganti itu sudah ada, hanya masih di-back stage , belum naik panggung utama. Saat panggung masih belum siap, lampu belum dinyalakan, tirai belum disingkap, ada baiknya kita memikirkan suatu hal secara agak kontemplatif.
Dari tiga tokoh itu kita telah belajar banyak hal bahwa NU telah melampaui kodratnya sebagai organisasi biasa, mereka menggambarkan NU sebagai suatu "cara pandang", bahkan dapat juga berupa "sistem nilai", sanggup mendamaikan isu agama dan kebangsaan. Isu yang sempat akan "membelah" Indonesia di awal kelahirannya.
Dalam tradisi intelektual di pesantren—basis utama NU—hampir tak ditemukan konsepsi negara yang dibangun di atas fondasi kebangsaan. Itulah sebabnya nation-state sebagai suatu kenyataan sejarah, bagi sebagian umat Islam, menimbulkan shock. Dinamika ini tergambar dengan jelas dalam perdebatan-perdebatan para founding fathers menjelang berdirinya negara kita.
NU sebagai sistem nilai nyatanya bisa mengurai "benang kusut" itu sejak kekisruhan ideologi golongan agama dan golongan nasionalis pada masa awal pembentukan negara. Lalu, NU berperan sebagai formula jitu menghalau komunisme yang merongrong NKRI. Kini NU menyediakan dirinya menjadi benteng pertahanan menghadapi ideologi transnasional kaum jihadis salafi, kaum radikal, dan kawan-kawannya.
Para tokoh ini, di era kini, melakukan sofistikasi. Membawa nilai-nilai ke-NU-an ke dalam masyarakat yang majemuk dengan segala kekayaan ;atau kerumitan; budaya, tradisi, adat-istiadat di bumi Nusantara ini bukanlah perkara mudah. Tak banyak orang, atau gerakan, yang melakukannya dengan baik. Gus Sholah bisa melakukannya, tergambar dari heterogenitas "dunia" yang dimasukinya: pesantren, aktivis HAM, kelompok profesional, teknokrat, dan tentu saja politisi.
Inilah yang makin lama, makin sedikit orang yang dapat melakukannya. Menciptakan panggung sendiri untuk menunjukkan betapa platform NU adalah adaptasi yang nyaris sempurna sebagai suatu sintesis dari kedalaman pemahaman agama, tafaqquh fi al-diin, dengan realitas kemajemukan bangsa Indonesia yang berkelindan dengan modernitas. Sungguh tak mudah.
Anak-anak muda NU di masa kini dengan segala kerendahan hati saya juga menyebutkan banyak tokoh NU di struktur kepengurusan gagap dalam menampilkan wajah NU sesuai dengan fitrahnya. Alih-alih menciptakan panggung sendiri, bahkan tanpa sadar dipanggungkan oleh kelompok lain untuk motif pragmatis. Tagar nderek kyai, gondelan sarung kyai, secara menakjubkan kembali dilambungkan sebagai semacam penegasan untuk kukuh pada tradisi. Tema itu diabstraksikan tanpa konsepsi sehingga ditangkap secara harfiah. Sarung kiai adalah sarung secara letterlijk, tidak dinalar sebagai suatu konsepsi tentang sistem nilai. Saya tak ragu menyebutnya sebagai sindrom Peter Pan.
Kaidah fikih yang dalam berbagai kronik perjalanan sejarah di masa lalu melandasi pilihan dan putusan penting kebangsaan oleh NU kini nyaris hilang, tergerus pragmatisme politik. Elastisitas dan moderatisme terkadang diterapkan kurang tepat pada sasaran yang salah.
Kadang secara tak sadar kita terjebak untuk melakukan glorifikasi peristiwa sejarah di masa lalu. Sultan Al-Fatih dielu-elukan sebagai penakluk Konstantinopel di abad ke-15. Sebagian orang mengandaikan masa itu akan tiba kembali, tapi kita melupakan bahkan meninggalkan spiritnya.
Kepergian Gus Sholah meninggalkan pekerjaan rumah yang tak mudah. Anak-anak muda NU, sudah pasti termasuk para Gus, musti dilepaskan dari sindrom Peter Pan agar keluar dari "rumah kebesaran" yang penuh glorifikasi. Umat yang dihadapi sekarang bukan umat yang dihadapi Hadratus Syekh dan Mbah Wahab, dan para ulama lainnya di masa lalu, struktur sosial dan politik sudah berubah secara drastis. Sains dan teknologi tinggi mengubah banyak hal, termasuk standar moral dan etika. Inilah tantangan besar, membawa NU dalam perjalanan kebangsaan di era sekarang musti dengan cara sophisticated.
Yang juga tak kalah pentingnya adalah mengenalkan NU kepada generasi milenial, di mana jumlah mereka mendekati 30% dari total populasi penduduk Indonesia. Generasi milenial generasi yang kritis terhadap fenomena sosial karena mereka aktif di dunia maya dengan gawai yang tak pernah lepas dari tangannya. Mereka hanya mau menerima suatu informasi yang terverifikasi dan pikiran yang argumentatif. Maka cara dan pendekatan para aktivis NU harus berubah sesuai dengan selera zaman.
Saya sama sekali tak ragu, kaum intelektual yang tergabung di dalam PBNU dan PWNU dapat merumuskan suatu NU Way di forum Mukernas dan Munas Alim Ulama, atau di muktamar yang akan datang sebagai tanggung jawab moral menjaga NU sebagai jamaah dan jamiah yang sholihun likulli zamanin wa makanin. Bangunan itu telah ditinggalkan oleh para pendahulu. Kita hanya perlu menangkapnya dengan cara yang tepat, seperti kata Bung Karno, menangkap spiritnya, bukan abunya.
(kri)