Virus Korona dan Stigma yang (Bisa) Timbul
A
A
A
Wiwin Is Effendi
MahasiswaGraduate School of Medicine, Kobe University,Jepang,
Staf Pengajar Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi-FK Unair Surabaya
"Coronaviruses do not discriminate. Neither should We".
Dampak akibat pengumuman WNI positif terinfeksi virus korona oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) begitu hebat. Masyarakat, yang mungkin berharap cemas jika virus korona terdeteksi di Indonesia, menyikapinya dengan beragam sikap. Selang beberapa saat, masker dan tisu di beberapa lokasi mulai langka dan harganya melonjak. Entah karena kurangnya koordinasi atau kebijakan yang belum berjalan dengan benar, informasi terkait data identitas pasien begitu cepat tersebar luas di media massa dan media sosial. Tanpa disadari, privasi pasien telah terbuka ke area publik dan ini bisa memberikan tekanan psikologis.
Sejak pertama dilaporkan oleh Pemerintah China pada 31 Desember 2019 sebagai kasus pneumonia atau radang paru yang belum diketahui penyebabnya, saat ini telah tercatat lebih 110.000 kasus terkonfirmasi positif dengan korban meninggal mencapai lebih dari 3.800 jiwa di seluruh dunia. WHO mengidentifikasi penyebab pneumonia sebagaiCoronaviruses(CoV) jenis SARS-CoV-2 dan memutuskan perubahan istilah penyakit dariNovel Coronavirus(2019-nCoV) menjadi COVID-19.
Mispersepsi
Permasalahan lain yang rentan muncul akibat Covid-19 adalah isu-isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tentang virus dan pasien. Sebagai antisipasi awal, WHO sebenarnya telah menegaskan bahwa istilah COVID-19 sebagai suatu penyakit memang tidak berhubungan secara spesifik terhadap lokasi geografis, individu, hewan, atau kelompok orang tertentu. Selain itu, penamaan baru ini juga akan menjadi format standar yang akan mencegah penggunaan nama lain yang tidak akurat dan stigmatisasi.
Stigma, menurut Erving Goffman, seorang sosiologis dari Kanada, adalah ''atribut yang sangat mendiskreditkan'' hingga merusak identitas sosial dan kepercayaan diri. Individu atau kelompok yang didiskreditkan memang terlihat jelas hal yang dipermasalahkan atau kekurangannya secara kasatmata tidak tampak (Fitzpatrick, 2008).
Menjadi sebuah ironi jika ada orang dengan gejala-gejala COVID-19 enggan memeriksakan diri ke rumah sakit karena takut dengan stigmatisasi yang mungkin akan diterima. Jika ini terjadi, justru akan memudahkan penyebaran virus korona di masyarakat.
Perlu diketahui bahwa salah satu bentuk penularan dari manusia ke manusia terjadi melaluidropletatau cairan yang mengandung partikel berukuran <5 μm (droplet transmission) saat pasien batuk, bersin, dan bicara dalam jarak dekat (< 1m) dan bukan melaluiairborne infection/transmission. Oleh karena itu, mencuci tangan memakai sabun atausanitizerberbasis alkohol (hand hygiene) dancontact precautiondianggap lebih efektif dalam mencegah penularan penyakit COVID-19.
Stigma menyebabkan stres, yang berarti sumber masalah baru. Setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan mencari reseptor ideal di paru untuk bereplikasi hingga timbul infeksi di saluran pernapasan. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar sitokin proinflamasi atau molekul yang dikeluarkan oleh sistem imunitas tubuh sebagai pertahanan terhadap virus. Dalam keadaan stres, tubuh cenderung melepaskan sitokin yang bisa memicu inflamasi atau keradangan. Dengan demikian, pasien COVID-19 yang stres akibat stigma bisa menjadi lebih berat derajat sakitnya.
Upaya Bersama
Dengan ditemukannya kasusconfirmedvirus korona di Indonesia, maka semua pihak wajib menyikapinya dengan bijak dan tidak berlebihan dalam bersikap. Stigma bisa muncul karena faktor pengetahuan dan pengalaman yang kurang memadai. Dalam melawan stigma dan kontroversi terkait COVID-19, setidaknya ada tiga strategi yang perlu diutamakan, yaitu kesadaran masyarakat, advokasi pemerintah, dan aksi nyata semua pihak.
Sebagai tahap awal, keluarga dan masyarakat wajib diberikan pemahaman yang benar tentang penularan virus korona dan langkah pencegahan penyakit. Peran tenaga kesehatan sangat dibutuhkan untuk menjembatani kesenjangan informasi kesehatan di masyarakat. Selain itu, pasien juga perlu mendapatkan kepastian dan jaminan kerahasiaan terkait penyakit yang diderita. Tersebarnya data pribadi dua pasien menjadi konsumsi masyarakat menunjukkan ada ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi persebaran virus korona.
Yang kedua adalah advokasi dan perlindungan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dengan mengadopsi langkah strategis yang sudah dibuat oleh WHO. Tersedianya akses kesehatan yang mudah dijangkau dan alur diagnosis yang tidak berbelit menjadi sebuah kewajiban. Saat ini ketersediaan lembaga atau laboratorium untuk mendiagnosis penyakit dan kemampuan rumah sakit merawat pasien COVID-19 belum tersebar merata. Koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah harus sinergis dalam menyiapkan alur tata laksana penyakit.
Pemerintah juga harus transparan dalam menyusun langkah strategis dan komunikasi efektif dengan tetap mempertahankan batas-batas kepentingan publik dan pribadi. Penunjukan juru bicara khusus dari Kementrian Kesehatan menjadi langkah yang patut diapresiasi dalam meredam kepanikan masyarakat. Pemerintah dituntut untuk bisa meyakinkan masyarakat bahwa persiapan optimal benar-benar telah disiapkan dalam waktu 2-3 bulan terakhir sejak merebaknya kasus ini.
Media pun selayaknya lebih berhati-hati dalam mengutip pernyataan tentang virus korona yang berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat. Meski benar bahwa virus ini termasuk kelompok penyebab flu, dan flu bisa sembuh sendiri (self-limiting diseases), namun ada banyak pertimbangan dan alasan yang menjadikan kasus COVID-19 perlu ditangani lebih dari sekadar flu biasa.
Langkah terakhir adalah aksi nyata dari semua pihak bahwa hanya dengan kerja sama yang berkelanjutan, maka stigma dan kontroversi tentang virus korona bisa dihilangkan. Efek stigma dapat melampaui beban sosial dan emosional serta berpotensi menciptakan stres baru yang melemahkan daya tahan tubuh. Pada akhirnya stigma akan memperparah kondisi pasien secara psikis dan fisik. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa stigma adalah fenomena yang berlawanan dengan sifat kemanusiaan itu sendiri.
"Humans can be immunized with vaccines against diseases.But they cannot be immunized to fight against stigma"
MahasiswaGraduate School of Medicine, Kobe University,Jepang,
Staf Pengajar Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi-FK Unair Surabaya
"Coronaviruses do not discriminate. Neither should We".
Dampak akibat pengumuman WNI positif terinfeksi virus korona oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) begitu hebat. Masyarakat, yang mungkin berharap cemas jika virus korona terdeteksi di Indonesia, menyikapinya dengan beragam sikap. Selang beberapa saat, masker dan tisu di beberapa lokasi mulai langka dan harganya melonjak. Entah karena kurangnya koordinasi atau kebijakan yang belum berjalan dengan benar, informasi terkait data identitas pasien begitu cepat tersebar luas di media massa dan media sosial. Tanpa disadari, privasi pasien telah terbuka ke area publik dan ini bisa memberikan tekanan psikologis.
Sejak pertama dilaporkan oleh Pemerintah China pada 31 Desember 2019 sebagai kasus pneumonia atau radang paru yang belum diketahui penyebabnya, saat ini telah tercatat lebih 110.000 kasus terkonfirmasi positif dengan korban meninggal mencapai lebih dari 3.800 jiwa di seluruh dunia. WHO mengidentifikasi penyebab pneumonia sebagaiCoronaviruses(CoV) jenis SARS-CoV-2 dan memutuskan perubahan istilah penyakit dariNovel Coronavirus(2019-nCoV) menjadi COVID-19.
Mispersepsi
Permasalahan lain yang rentan muncul akibat Covid-19 adalah isu-isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tentang virus dan pasien. Sebagai antisipasi awal, WHO sebenarnya telah menegaskan bahwa istilah COVID-19 sebagai suatu penyakit memang tidak berhubungan secara spesifik terhadap lokasi geografis, individu, hewan, atau kelompok orang tertentu. Selain itu, penamaan baru ini juga akan menjadi format standar yang akan mencegah penggunaan nama lain yang tidak akurat dan stigmatisasi.
Stigma, menurut Erving Goffman, seorang sosiologis dari Kanada, adalah ''atribut yang sangat mendiskreditkan'' hingga merusak identitas sosial dan kepercayaan diri. Individu atau kelompok yang didiskreditkan memang terlihat jelas hal yang dipermasalahkan atau kekurangannya secara kasatmata tidak tampak (Fitzpatrick, 2008).
Menjadi sebuah ironi jika ada orang dengan gejala-gejala COVID-19 enggan memeriksakan diri ke rumah sakit karena takut dengan stigmatisasi yang mungkin akan diterima. Jika ini terjadi, justru akan memudahkan penyebaran virus korona di masyarakat.
Perlu diketahui bahwa salah satu bentuk penularan dari manusia ke manusia terjadi melaluidropletatau cairan yang mengandung partikel berukuran <5 μm (droplet transmission) saat pasien batuk, bersin, dan bicara dalam jarak dekat (< 1m) dan bukan melaluiairborne infection/transmission. Oleh karena itu, mencuci tangan memakai sabun atausanitizerberbasis alkohol (hand hygiene) dancontact precautiondianggap lebih efektif dalam mencegah penularan penyakit COVID-19.
Stigma menyebabkan stres, yang berarti sumber masalah baru. Setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan mencari reseptor ideal di paru untuk bereplikasi hingga timbul infeksi di saluran pernapasan. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar sitokin proinflamasi atau molekul yang dikeluarkan oleh sistem imunitas tubuh sebagai pertahanan terhadap virus. Dalam keadaan stres, tubuh cenderung melepaskan sitokin yang bisa memicu inflamasi atau keradangan. Dengan demikian, pasien COVID-19 yang stres akibat stigma bisa menjadi lebih berat derajat sakitnya.
Upaya Bersama
Dengan ditemukannya kasusconfirmedvirus korona di Indonesia, maka semua pihak wajib menyikapinya dengan bijak dan tidak berlebihan dalam bersikap. Stigma bisa muncul karena faktor pengetahuan dan pengalaman yang kurang memadai. Dalam melawan stigma dan kontroversi terkait COVID-19, setidaknya ada tiga strategi yang perlu diutamakan, yaitu kesadaran masyarakat, advokasi pemerintah, dan aksi nyata semua pihak.
Sebagai tahap awal, keluarga dan masyarakat wajib diberikan pemahaman yang benar tentang penularan virus korona dan langkah pencegahan penyakit. Peran tenaga kesehatan sangat dibutuhkan untuk menjembatani kesenjangan informasi kesehatan di masyarakat. Selain itu, pasien juga perlu mendapatkan kepastian dan jaminan kerahasiaan terkait penyakit yang diderita. Tersebarnya data pribadi dua pasien menjadi konsumsi masyarakat menunjukkan ada ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi persebaran virus korona.
Yang kedua adalah advokasi dan perlindungan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dengan mengadopsi langkah strategis yang sudah dibuat oleh WHO. Tersedianya akses kesehatan yang mudah dijangkau dan alur diagnosis yang tidak berbelit menjadi sebuah kewajiban. Saat ini ketersediaan lembaga atau laboratorium untuk mendiagnosis penyakit dan kemampuan rumah sakit merawat pasien COVID-19 belum tersebar merata. Koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah harus sinergis dalam menyiapkan alur tata laksana penyakit.
Pemerintah juga harus transparan dalam menyusun langkah strategis dan komunikasi efektif dengan tetap mempertahankan batas-batas kepentingan publik dan pribadi. Penunjukan juru bicara khusus dari Kementrian Kesehatan menjadi langkah yang patut diapresiasi dalam meredam kepanikan masyarakat. Pemerintah dituntut untuk bisa meyakinkan masyarakat bahwa persiapan optimal benar-benar telah disiapkan dalam waktu 2-3 bulan terakhir sejak merebaknya kasus ini.
Media pun selayaknya lebih berhati-hati dalam mengutip pernyataan tentang virus korona yang berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat. Meski benar bahwa virus ini termasuk kelompok penyebab flu, dan flu bisa sembuh sendiri (self-limiting diseases), namun ada banyak pertimbangan dan alasan yang menjadikan kasus COVID-19 perlu ditangani lebih dari sekadar flu biasa.
Langkah terakhir adalah aksi nyata dari semua pihak bahwa hanya dengan kerja sama yang berkelanjutan, maka stigma dan kontroversi tentang virus korona bisa dihilangkan. Efek stigma dapat melampaui beban sosial dan emosional serta berpotensi menciptakan stres baru yang melemahkan daya tahan tubuh. Pada akhirnya stigma akan memperparah kondisi pasien secara psikis dan fisik. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa stigma adalah fenomena yang berlawanan dengan sifat kemanusiaan itu sendiri.
"Humans can be immunized with vaccines against diseases.But they cannot be immunized to fight against stigma"
(kri)