Orang Tua Harus Mengawasi Perilaku Anak

Senin, 09 Maret 2020 - 05:30 WIB
Orang Tua Harus Mengawasi Perilaku Anak
Orang Tua Harus Mengawasi Perilaku Anak
A A A
KASUS pembunuhan yang dilakukan remaja 15 tahun terhadap bocah 5 tahun di Sawah Besar, Jakarta Pusat, menggemparkan publik. Peristiwa pidana ini tergolong sangat langka, bahkan bisa jadi baru pertama kalinya terjadi di Indonesia. Pelaku berinisial N menghabisi nyawa korban berinisial A dan menyimpan jenazahnya di dalam lemari. Keesokan harinya N tanpa rasa bersalah melaporkan sendiri pembunuhan sadis yang dilakukannya kepada polisi. Sebelumnya N sempat menulis di akun media sosialnya mengenai peristiwa pembunuhan yang ia lakukan dan rencananya untuk melapor ke polisi.

Saat polisi melakukan penggeledahan ditemukan banyak sketsa Slenderman pada buku milik pelaku. Tak hanya sketsa, buku tersebut juga berisi banyak tulisan. Slenderman adalah karakter fiksi yang berasal dari meme internet. Figur ini sering kali digunakan untuk menggambarkan karakter yang sering menguntit, menculik, dan menyerang orang, terutama anak-anak. Pelaku N mengaku tergerak membunuh korbannya karena terinspirasi sebuah film horor dan sadis yang pernah ditontonnya.

Apakah N mengalami gangguan kejiwaan? Sejauh ini masih dilakukan pemeriksaan terhadap kondisi psikologis gadis remaja tersebut. Polisi juga masih mendalami motif yang mendorong pelaku menjalankan perbuatannya.

Dari peristiwa ini banyak pelajaran penting yang bisa dipetik. Pelajaran tersebut bagian dari upaya untuk mencegah kejadian serupa tidak terulang. Dari sini terlihat betapa pentingnya setiap orang tua mengenali perilaku anaknya. Jangan sampai ada anak yang dalam kesehariannya menunjukkan agresivitas tinggi, tetapi lolos dari pengamatan orang tua. Berdasarkan keterangan polisi, sebelum melakukan pembunuhan, tersangka N ini diketahui sering menunjukkan perilaku agresif.

Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, sejak kecil pelaku senang memelihara binatang seperti kucing, tetapi ia tak segan membunuhnya tanpa alasan. Jika perilaku tidak wajar seperti ini disadari keluarga atau orang tua sejak awal, masih mungkin dilakukan upaya pencegahan agar sang anak terhindar dari perbuatan destruktif.

Orang tua juga sangat penting mengawasi setiap bacaan dan tontonan anak. Harus dipastikan apa yang dibaca dan ditonton tersebut sesuai dengan usia anak serta tidak mengandung muatan kekerasan atau hal yang bersifat sadistis. Di sini sangat penting orang tua membangun hubungan atau komunikasi yang baik dengan anak.

Jangan karena kesibukan orang tua dalam bekerja anak lantas lolos dari pengawasan dan dibiarkan mengonsumsi konten berbahaya. Jika seorang anak sampai mengidolakan figur atau karakter jahat dari sebuah film, sebagaimana halnya dalam kasus N, itu sebuah alarm bahaya yang harus disadari setiap orang tua.

Setiap orang tua seyogianya mampu mendidik anak dan merawatnya hingga tumbuh menjadi pribadi yang baik dan bertanggung jawab, baik terhadap diri sendiri maupun keluarga dan lingkungannya. Maka itu sejak kecil anak penting diajari untuk bersosialisasi. Dari pergaulan yang baik anak bisa belajar tentang nilai-nilai positif seperti toleransi, solidaritas, keterbukaan, dan sikap saling menghargai.

Hal ini sangat penting diajarkan kepada anak sejak usia dini. Selain itu nilai-nilai agama juga penting ditanamkan, sebab dari sana anak-anak akan berkembang menjadi pribadi yang memiliki kelembutan, rasa cinta, dan kasih sayang. Penanaman nilai-nilai positif ini tak hanya tanggung jawab orang tua, melainkan juga guru di sekolah.

Atas peristiwa pembunuhan ini tentu hukum harus ditegakkan seadil-adilnya. Pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain. Namun terlepas dari perbuatan yang dilakukan, harus pula dilihat bahwa pelaku N ini masih tergolong anak-anak sehingga harus diadili menurut sistem peradilan pidana anak. Dalam proses penyidikan pun dia seyogianya didampingi psikiater dan kuasa hukum.

Penegakan hukum dalam kasus pidana dengan pelaku anak-anak harus berorientasi pada pembinaan sehingga tidak sepantasnya dilakukan "penghakiman" oleh publik. Penghakiman terhadap sang anak hanya akan melahirkan stigma negatif yang berpotensi menjadikan dirinya tidak berubah dan berpotensi berbuat hal yang sama di kemudian hari. Penegakan hukum haruslah berorientasi pada pembinaan sehingga sang anak kelak akan menyadari perbuatannya yang salah sehingga tidak akan mengulanginya. Semoga ke depan kejadian seperti ini tidak terulang.
(jon)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6081 seconds (0.1#10.140)