Kekuatan Doa
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
BAGI sementara orang, barangkali berdoa itu hanya menarik dilakukan ketika dalam situasi duka dan memiliki masalah. Barangkali pula sebagian besar muatan doa kita lebih banyak mengeluh dan meminta ketimbang bersyukur.Jika berdoa dan sikap keberagamaan hanyalah merupakan medium menyalurkan keluh kesah dan pengakuan dosa di hadapan Tuhan, wajar bila agama kehilangan perannya bagi upaya meningkatkan kualitas hidup dan peradaban.
Salahkah menjumpai Tuhan dan berdoa di kala duka dengan membawa setumpuk masalah ? Tentu saja tidak.
Tuhan tidak mengenal birokrasi. Kapan pun, di mana pun, dan dalam kondisi apa pun setiap pribadi berhak mengadu kepada Tuhan.
Siapa pun bebas menjumpai Tuhan sebagaimana mereka juga bebas untuk berpaling dari Tuhan, bahkan mengingkari Tuhan dengan konsekuensi masing-masing. Di sinilah keunikan beragama dan di sini pula keluhuran serta kesucian kualitas manusia akan teruji.
Dalam menghayati iman dan cinta kepada Tuhan, sesungguhnya seseorang tengah mengaktualisasi kemerdekaannya yang paling tinggi dan tengah membebaskan diri dari dominasi egonya lalu berserah diri pada Tuhan, semoga mendapatkan berkah dan bimbingan-Nya. Dalam berdoa juga tersimpan harapan agar terjadi proses internalisasi sifat Ilahi ke dalam diri seorang muslim. Inilah barangkali yang tersirat dalam doa, datanglah Kerajaan-Mu di hati ini dan berlakulah Kerajaan-Mu di muka bumi.
Bagaimana menghayati iman sebagai pembebasan diri? Karena pilihan untuk mencinta serta pasrah kepada Tuhan sebagai sumber segala kebaikan, maka merupakan pilihan bebas bagi seseorang apakah mau beriman atau tidak beriman.
Oleh karena itu saat berdialog kepada Tuhan sesungguhnya pada waktu yang sama seseorang juga melakukan dialog dengan diri sendiri. Adakah dialog itu dijiwai rasa syukur, rasa penyesalan, penuh permintaan, ataukah datar-datar saja, semuanya itu akan berpulang pada kesadaran dan situasi batin seseorang.
Dengan demikian, ketika seseorang berdoa atau tengah melakukan pengakuan dosa, semestinya juga disertai keinginan kuat untuk melakukan perbaikan diri karena kehendak dan karya Tuhan hanya berlaku kepada mereka yang membuka dirinya bagi kehadiran Tuhan.
Ketika makna dan fungsi agama dipahami dan dihayati tak lebih sebagai himpunan dogma tentang surga-neraka atau ketika ritual agama diyakini hanya sebagai ritus pemutihan dosa, bisa dipastikan agama akan kehilangan etos dan spiritnya bagi pembinaan pribadi dan perilaku sosial yang mendukung bagi terwujudnya peradaban unggul. Doa-doa lalu berubah bagaikan mantra-mantra untuk memperoleh kekebalan, untuk mengejar pangkat, untuk mengawetkan jabatan, dan semacamnya.
Jika itu yang terjadi, ritual agama telah bergeser menjadi magis, yaitu suatu upaya memperoleh tambahan kekuatan supranatural untuk memuaskan ego duniawi, bukan sikap kepasrahan kekuatan iman kepada Tuhan. Dalam kaitan ini, benarlah sinyalemen kalangan psikiater Indonesia bahwa para pejabat tinggi negara lebih senang berkonsultasi kepada dukun ketimbang kepada psikiater atau ulama.
Kalaupun kepada ulama atau kiai, bisa jadi sikap batinnya tak beda dari ketika menghadap kepada dukun untuk minta tambahan kekebalan diri. Dalam situasi panik menghadapi penyebaran virus korona, doa mohon keselamatan dan kekuatan kepada Tuhan sudah tentu akan memberikan ketenangan dan penguatan diri. Kapan seseorang tiba ajalnya, hal itu merupakan rahasia Ilahi sembari kita berusaha menjaga kesehatan.
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
BAGI sementara orang, barangkali berdoa itu hanya menarik dilakukan ketika dalam situasi duka dan memiliki masalah. Barangkali pula sebagian besar muatan doa kita lebih banyak mengeluh dan meminta ketimbang bersyukur.Jika berdoa dan sikap keberagamaan hanyalah merupakan medium menyalurkan keluh kesah dan pengakuan dosa di hadapan Tuhan, wajar bila agama kehilangan perannya bagi upaya meningkatkan kualitas hidup dan peradaban.
Salahkah menjumpai Tuhan dan berdoa di kala duka dengan membawa setumpuk masalah ? Tentu saja tidak.
Tuhan tidak mengenal birokrasi. Kapan pun, di mana pun, dan dalam kondisi apa pun setiap pribadi berhak mengadu kepada Tuhan.
Siapa pun bebas menjumpai Tuhan sebagaimana mereka juga bebas untuk berpaling dari Tuhan, bahkan mengingkari Tuhan dengan konsekuensi masing-masing. Di sinilah keunikan beragama dan di sini pula keluhuran serta kesucian kualitas manusia akan teruji.
Dalam menghayati iman dan cinta kepada Tuhan, sesungguhnya seseorang tengah mengaktualisasi kemerdekaannya yang paling tinggi dan tengah membebaskan diri dari dominasi egonya lalu berserah diri pada Tuhan, semoga mendapatkan berkah dan bimbingan-Nya. Dalam berdoa juga tersimpan harapan agar terjadi proses internalisasi sifat Ilahi ke dalam diri seorang muslim. Inilah barangkali yang tersirat dalam doa, datanglah Kerajaan-Mu di hati ini dan berlakulah Kerajaan-Mu di muka bumi.
Bagaimana menghayati iman sebagai pembebasan diri? Karena pilihan untuk mencinta serta pasrah kepada Tuhan sebagai sumber segala kebaikan, maka merupakan pilihan bebas bagi seseorang apakah mau beriman atau tidak beriman.
Oleh karena itu saat berdialog kepada Tuhan sesungguhnya pada waktu yang sama seseorang juga melakukan dialog dengan diri sendiri. Adakah dialog itu dijiwai rasa syukur, rasa penyesalan, penuh permintaan, ataukah datar-datar saja, semuanya itu akan berpulang pada kesadaran dan situasi batin seseorang.
Dengan demikian, ketika seseorang berdoa atau tengah melakukan pengakuan dosa, semestinya juga disertai keinginan kuat untuk melakukan perbaikan diri karena kehendak dan karya Tuhan hanya berlaku kepada mereka yang membuka dirinya bagi kehadiran Tuhan.
Ketika makna dan fungsi agama dipahami dan dihayati tak lebih sebagai himpunan dogma tentang surga-neraka atau ketika ritual agama diyakini hanya sebagai ritus pemutihan dosa, bisa dipastikan agama akan kehilangan etos dan spiritnya bagi pembinaan pribadi dan perilaku sosial yang mendukung bagi terwujudnya peradaban unggul. Doa-doa lalu berubah bagaikan mantra-mantra untuk memperoleh kekebalan, untuk mengejar pangkat, untuk mengawetkan jabatan, dan semacamnya.
Jika itu yang terjadi, ritual agama telah bergeser menjadi magis, yaitu suatu upaya memperoleh tambahan kekuatan supranatural untuk memuaskan ego duniawi, bukan sikap kepasrahan kekuatan iman kepada Tuhan. Dalam kaitan ini, benarlah sinyalemen kalangan psikiater Indonesia bahwa para pejabat tinggi negara lebih senang berkonsultasi kepada dukun ketimbang kepada psikiater atau ulama.
Kalaupun kepada ulama atau kiai, bisa jadi sikap batinnya tak beda dari ketika menghadap kepada dukun untuk minta tambahan kekebalan diri. Dalam situasi panik menghadapi penyebaran virus korona, doa mohon keselamatan dan kekuatan kepada Tuhan sudah tentu akan memberikan ketenangan dan penguatan diri. Kapan seseorang tiba ajalnya, hal itu merupakan rahasia Ilahi sembari kita berusaha menjaga kesehatan.
(poe)