Informasi yang Bikin Panik
A
A
A
MESKIPUN hampir semua media massa memberitakan isu korona dengan konten imbauan tidak perlu panik, masyarakat tetap saja panik. Beberapa jam setelah pengumuman oleh pemerintah soal dua warga Depok, Jawa Barat positif virus korona, masyarakat di beberapa lokasi memborong kebutuhan makanan. Beberapa supermarket seolah mendapat durian runtuh terhadap peristiwa ini. Masker dan hand sanitizer pun ludes. Jika ada, harganya melambung. Ternyata tidak hanya di Jabodetabek, beberapa kota di Indonesia juga mengalami hal yang sama meskipun tidak semasif beberapa masyarakat di Jabodetabek.
Beberapa faktor melandasi kepanikan beberapa masyarakat. Ketika arus informasi begitu deras dan tanpa ada penyaring, masyarakat seperti dipaksa menerima mentah-mentah informasi. Media sosial ataupun grup WA adalah penyumbang percepatan dan banyaknya informasi yang diterima masyarakat. Bagi sebagian masyarakat, apa yang disampaikan tersebut seolah menjadi kebenaran yang pantas diyakini. Ketika arus informasi begitu deras tanpa ada penyaring, masyarakat menerima isu virus korona seperti hantu. Awalnya, bagi masyarakat Indonesia menjadi sedikit tenang karena wabah ini terjadi di China. Ketika arus informasi di era digital sekarang nyaris tanpa sekat, masyarakat Indonesia juga mudah menerimanya. Jarak yang jauh sedikit menenangkan. Namun ketika isu virus korona mendekat maka kepanikan akan muncul.
Media massa juga mempunyai peran. Sebagian media massa masih mengedepankan bad news is good news . Dengan memberikan berita yang bombastis ataupun sedikit bombastis tentang isu korona ini maka akan mengakibatkan rasa takut dari masyarakat. Media massa yang menggunakan pola ini seolah menguatkan derasnya informasi yang tersebar di media sosial. Apalagi, media massa kadang menampilkan jurnalis mereka menggunakan peralatan masker dalam melakukan reportase. Seolah menandakan bahwa terjadi kegentingan. Dua hantaman informasi dari dua jenis media ini tampaknya memang cukup mengena ke masyarakat. Masyarakat menjadi sangat khawatir jika virus korona ini mendekati mereka atau menghampiri mereka.
Pemerintah juga mempunyai peran dalam hal ini. Meskipun mencoba menyaring informasi yang diperoleh untuk disampaikan ke masyarakat, pemerintah belum mampu membendung kepanikan masyarakat. Peristiwa di Pulau Natuna menjadi contoh jelas. Meskipun ratusan WNI yang dievakuasi dari China belum positif terkena virus korona, masyarakat di Pulau Natuna sudah panik. Begitu juga ketika pemerintah mengumumkan adanya warga Depok yang terkena virus korona, bahkan terkesan menyalahkan media massa karena dianggap menyebarkan identitas dua pasien tersebut. Padahal, pernyataan itu muncul dari pemerintah juga. Antisipasi pemerintah terhadap panic buying juga tidak berjalan. Pemerintah baru bereaksi setelah peristiwa terjadi.
Faktor lain adalah masyarakat sendiri. Masyarakat kita dengan mudah menerima mentah-mentah informasi tanpa mencoba mencari informasi lain sebagai pembanding. Penggunaan masker salah satunya. Masker hanya digunakan bagi mereka yang terkena virus, bukan hanya virus korona. Informasi tentang jumlah yang sembuh setelah terserang virus korona juga tidak dipahami baik oleh masyarakat. Padahal beberapa negara, termasuk China, mencatat tingkat kesembuhan yang tinggi. Bahkan, Vietnam mengklaim berhasil 100% menyembuhkan pasien yang terkena virus korona.
Tentu saat ini bukan waktunya saling menyalahkan. Namun, semua pihak di atas bisa mengontrol agar masyarakat tetap tenang dengan kewaspadaan. Tentu tak perlu panik bukan lantas tidak waspada. Mengatur pola hidup dengan makan teratur, istirahat teratur, dan berolahraga agar imunitas tubuh meningkat. Aktivitas di luar yang bertemu banyak orang untuk sementara dihindari dahulu. Jika memang merasakan demam dan batuk, lebih baik kontrol ke dokter karena serangan virus ini bisa disembuhkan. Media massa juga telah sepakat untuk memberikan informasi yang menenangkan. Harapannya, masyarakat tidak perlu panik namun tetap waspada.
Beberapa faktor melandasi kepanikan beberapa masyarakat. Ketika arus informasi begitu deras dan tanpa ada penyaring, masyarakat seperti dipaksa menerima mentah-mentah informasi. Media sosial ataupun grup WA adalah penyumbang percepatan dan banyaknya informasi yang diterima masyarakat. Bagi sebagian masyarakat, apa yang disampaikan tersebut seolah menjadi kebenaran yang pantas diyakini. Ketika arus informasi begitu deras tanpa ada penyaring, masyarakat menerima isu virus korona seperti hantu. Awalnya, bagi masyarakat Indonesia menjadi sedikit tenang karena wabah ini terjadi di China. Ketika arus informasi di era digital sekarang nyaris tanpa sekat, masyarakat Indonesia juga mudah menerimanya. Jarak yang jauh sedikit menenangkan. Namun ketika isu virus korona mendekat maka kepanikan akan muncul.
Media massa juga mempunyai peran. Sebagian media massa masih mengedepankan bad news is good news . Dengan memberikan berita yang bombastis ataupun sedikit bombastis tentang isu korona ini maka akan mengakibatkan rasa takut dari masyarakat. Media massa yang menggunakan pola ini seolah menguatkan derasnya informasi yang tersebar di media sosial. Apalagi, media massa kadang menampilkan jurnalis mereka menggunakan peralatan masker dalam melakukan reportase. Seolah menandakan bahwa terjadi kegentingan. Dua hantaman informasi dari dua jenis media ini tampaknya memang cukup mengena ke masyarakat. Masyarakat menjadi sangat khawatir jika virus korona ini mendekati mereka atau menghampiri mereka.
Pemerintah juga mempunyai peran dalam hal ini. Meskipun mencoba menyaring informasi yang diperoleh untuk disampaikan ke masyarakat, pemerintah belum mampu membendung kepanikan masyarakat. Peristiwa di Pulau Natuna menjadi contoh jelas. Meskipun ratusan WNI yang dievakuasi dari China belum positif terkena virus korona, masyarakat di Pulau Natuna sudah panik. Begitu juga ketika pemerintah mengumumkan adanya warga Depok yang terkena virus korona, bahkan terkesan menyalahkan media massa karena dianggap menyebarkan identitas dua pasien tersebut. Padahal, pernyataan itu muncul dari pemerintah juga. Antisipasi pemerintah terhadap panic buying juga tidak berjalan. Pemerintah baru bereaksi setelah peristiwa terjadi.
Faktor lain adalah masyarakat sendiri. Masyarakat kita dengan mudah menerima mentah-mentah informasi tanpa mencoba mencari informasi lain sebagai pembanding. Penggunaan masker salah satunya. Masker hanya digunakan bagi mereka yang terkena virus, bukan hanya virus korona. Informasi tentang jumlah yang sembuh setelah terserang virus korona juga tidak dipahami baik oleh masyarakat. Padahal beberapa negara, termasuk China, mencatat tingkat kesembuhan yang tinggi. Bahkan, Vietnam mengklaim berhasil 100% menyembuhkan pasien yang terkena virus korona.
Tentu saat ini bukan waktunya saling menyalahkan. Namun, semua pihak di atas bisa mengontrol agar masyarakat tetap tenang dengan kewaspadaan. Tentu tak perlu panik bukan lantas tidak waspada. Mengatur pola hidup dengan makan teratur, istirahat teratur, dan berolahraga agar imunitas tubuh meningkat. Aktivitas di luar yang bertemu banyak orang untuk sementara dihindari dahulu. Jika memang merasakan demam dan batuk, lebih baik kontrol ke dokter karena serangan virus ini bisa disembuhkan. Media massa juga telah sepakat untuk memberikan informasi yang menenangkan. Harapannya, masyarakat tidak perlu panik namun tetap waspada.
(cip)